“Kenapa ketawa sendiri?” Ririt mencolek lengan saya.
“Aku jadi ingat pemberian lukisanmu tempo hari, Ri,” kata saya jujur.
“Hei ya, bagaimana lukisanku, masih kau tempel di kamar?” tanya Ririt tanpa dosa.
“Aku taruh di gudang, Ri. Aku nggak bisa tidur kalau ngeliatnya,” jawab saya jujur.
“Doo…?”
Saya lihat bias kecewa di wajah Ririt.
“Tapi nggak papa deh, Yos. Besok biar Wisnu yang melukis wajahmu, pasti siip. Kalau Wisnu yang melukis memang bisa bagus sekali, tutur Ririt mempromosikan nama cowok yang menjadi jodohnya.
Saya mengangguk-angguk. Saya bayangkan Wisnu yang baju dan celananya komprang, rambutnya gondrong kusam, wajahnya yang panen jer… Yah, namanya juga jodoh.
***
(cerpen reka ulang 4 Juli 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H