“Lho kok di dinding kamarku?” Saya terkejut. Untuk apa saya memasang lukisan berwajah aneh itu? Cicak ngeliat pun langsung lari ketakutan.
“Ya, pasang di dinding kamar kamu. Gadis yang aku lukis itu kan memang kamu,” jelas Ririt.
Astaganaga, bujubule… ajegille. Saya hampir semaput demi mendengar keterangan Ririt. Gadis berwajah aneh yang hidungnya kecil, matanya belor dan telinganya gede sebelah, dalam lukisan itu adalah gambar saya? Saya rasanya pengin nangis, keki, dongkol, tapi juga geli.
Masa, sih Ririt sesadis itu. Tadi dia bilang melukis sesuai aslinya. Lho, memang hidung saya kecil, mata saya belor, dan aduh, telinga saya cacat begitu?
“Aku bantuin pasang ya, Yos” Dengan semangat empat lima Ririt mengambil lukisan yang saya pegang.
Lincah sekali ia berjalan menuju kamar saya. Kepalanya digoyang-goyang dengan riang, sambil bibir mungilnya menyenandungkan lagu Suka Sama Kamunya Bagindas. Ceile, apakah keriangan Ririt sore ini ada hubungannya dengan lagu yang dinyanyikannya? Saya mulai menebak-nebak.
“Ambil palu, Yos!” Teriak Ririt begitu ia naik ke bed saya. Jika lukisan itu jadi ditempel di sana, jadilah Ia objek utama pandangan saya ketika sedang berbaring. Pinter juga akal Ririt.
“Palunya, Yos!” Ririt teriak lagi
“Hah, ee…. Pakunya?” Saya tergagap
“Paku udah aku siapin dari rumah, tinggal palunya saja yang belum.”
Busyet! Akhirnya, saya turuti juga perintah Ririt. Mengambil palu yang ditaruh di garasi, tempat peralatan mobil.