“Kapan-kapan ya, Ri,” ucap saya basa-basi.”
“Pengin kenalan?” sambut Ririt antusias. “Bisa sekarang, Yos” Wisnu masih mengadakan pameran kok. Cepet ganti baju, gih!” perintah Ririt.
Doo, cuma basa-basi kok ditanggapi serius, sih? Saya geleng-geleng kepala.
“Cepetan, Yos. Jangan geleng-geleng gitu, ah. Kayak baru kena ayan aja, kamu. Nanti aku traktir Ice cream di Sri Ratu deh. Habis itu boleh deh kamu bawa oleh-oleh buat pulang.”
Nah, ini penyakit Ririt yang paling suka. Kalau baru kena panah asmara, udah deh dia baik luar biasa. Saya nggak minta jajan apa-apa, dia maksa-maksain.
Menuruti ajakan Ririt, akhirnya mau juga saya diajak ke Balai Budaya untuk ketemu Wisnu, sang pelukis yang telah membuat Ririt mabok cinta. Wih, saya bayangin gimana Wisnu-nya Ririt kali ini. Mungkin nggak beda jauh sama Tengku Wisnu artis yang ganteng itu. Beruntung deh, Ririt punya pacar ganteng begitu. Moga-moga aja setelah punya pacar ganteng Ririt nggak ngelupain saya.
“Yang mana?” tanya saya begitu memasuki ruang pameran. Nggak sabar rasanya pengin lihat pacar Ririt yang kayak artis.
Ririt menarik tangan saya. Menembus kerumunan orang yang sedang melihat pameran.
“Kenalin nih temen saya,” kata Ririt begitu kami berdiri di hadapan seorang cowok.
Cowok di hadapan saya tertawa menyeringai. Saya berkedap-kedip tak percaya menatapnya. Benarkah ini Wisnu? Saya mengamati lebih seksama cowok di muka saya. Baju dan celananya komprang, rambutnya gondrong kusam, wajahnya panen jerawat, seterusnya saya nggak berani menilai lebih jauh. Bayangan wajah Wisnu yang semula saya pikir bagai artis, ternyata benar. Maksudnya, artis film horor!
“Bagaimana menurut penilaian kamu, Si Wisnu itu?” tanya Ririt begitu kami pulang nontol pameran.