“Penyakit ayanmu kumat lagi,” cetus Ririt.
“Sialan!” umpat saya keki.
Ririt tertawa-tawa.
“Bisa awet, Ri?” tanya saya tak habis pikir.
Ririt mengangguk. Dari binar matanya saya dapat membaca Ririt merasa dirinya bahagia.
“Aku sudah tunangan dengannya,” Ririt menunjukkan jari manisnya yang sudah dilingkari cincin.
Tanpa kompromi, kali ini saya bego melongo. Kok bisa ya?
“Jodoh, ya namanya memang jodoh.,Yos,” tambah Ririt seperti mengerti pikiran saya.
Saya mengangguk-angguk. “Terus, kamu di sini kuliah di mana?”
“Seni rupa. Wisnu banyak memberiku bimbingan, Yos,” terang Ririt.
Seni rupa? Kali ini saya benar-benar kaget. Seingat saya, Ririt tidak bisa melukis. Ah, saya jadi ingat peristiwa tempo hari. Ketika Ririt memulai karirnya melukis. Waktu itu Ririt memberi saya hadiah sebuah lukisan, gambarnya…