Oleh : Eko S. Israhayu
“Kapok! Bener aku kapok deh, Yos! Aku nggak mau pacaran lagi. Seribu tahun pun luka di hatiku belum tentu dapat terkatup kembali. Aku benar-benar sakit,” suara Ririt mengandung isak.
Matanya berkaca-kaca.
"Ternyata Bobby menganggapku demikian rendah Aku tak menyangkanya sama sekali,” kali ini tangis Ririt benar-benar meledak.
“Memang kenapa, Ri?” Saya berusaha menanggapinya dengan sabar.
Ini bukan kebiasaan Ririt yang baru. Saya sudah teramat mengenali kebiasaan yang satu ini. Ia datang mengadukan kekecewaan hatinya karena ulah sang pacar. Ya yang noraklah, menyebalkan, play boy, buaya, uh.... pokokya uneg-uneg yang nggak enak tumpah jadi satu.
Biasanya Ririt cerita sambil nangis-nangis. Bilang kalau hatinya terluka. Biar seabad belum tentu bisa sembuh. Kata-kata Ririt yang sentimentil meluncur begitu saja, bak penyair yang terluka. Terus Ririt juga bilang ia sudah nggak mau pacaran lagi. Buat apa pacaran kalau cuma sakit hati yang didapat? Begitu katanya.
Tapi ternyata Ririt tidak pernah konsekuen dengan ucapannya semdiri. Sehari dua hari setelah putus dengan seorang cowok, Ririt memang kelihatan murung. Tapi itu tidak sampai seminggu, Minggu berikutnya, pasti deh Ririt sudah cerah lagi. Dibilangnya, kalau ternyata tidak semua cowok itu play boy, norak, nyebelin, gombal, dan sebagainya. Mulailah Ririt menyanjung-nyanjung cowok yang ditaksirnya. Ya yang romantislah, cakep, simpatik, dandy, menawan, dan berpuluh kata sanjungan yang lain. Kalau mulut Ririt lagi belepotan kata sanjungan untuk cowok yang ditaksirnya. Udah deh, sukar membedakan dia dengan dengan tukang obat. Soalnya nyerocos terus sih…
Dulu waktu baru jadian sama Bobby juga begitu. Ririt cerita, Bobby amat berbeda dengan mantan-mantan cowoknya, Ririt bilang, Bobby itu tipe cowok idaman. Kumisnya bagus, matanya mengandung magnet, penuh perhatian, setia, rambutnya keriting (lho apa hubungannya?), modis, dan sebagainya. Saya cuma mengangguk-angguk saja waktu itu. Pikir saya, Bobby cuma cowok biasa-biasa aja. Kumisnya yang kata Ririt bagus, ternyata lebih mirip kumis Pak Raden di serial si Unyil. Matanya juga nggak mengandung magnet. Buktinya, saya kok nggak merasa ketarik-tarik waktu melihat Bobby. Dan, rambut Bobby yang keriting? Dih, apanya yang menarik? Rambut keriting model bakmi setengah matang gitu disenengin Ririt?
Saya nyaris terpingkal-pingkal waktu itu. Tapi saya tahan di perut, Ririt bisa marah besar kalau sampai saya menertawakan cowok yang ditaksirnya. Dibilangnya saya selera rendah, nggak ngerti cowok cakep, plus macem-macem deh kata-katanya yang pedas. Udah gitu saya nggak jadi ditraktir, malah suruh bayar makanan yang kami pesan. Doo, saya jadi tekor deh....
“Bayangin, Yos,” Ririt mengguncang-ngguncangkan bahu saya dengan suara yang tetap mengandung isak.
Saya terkejut. Lamunan panjang saya putus begitu saja.
“Waktu Bobby aku tanya, apa benar-benar dia mencintaiku, ternyata jawabannya menyakitkan sekali,” Ririt menghapus dua anak sungai yang mengalir di pipi kanan-kirinya.
“Bobby bilang gimana?” Saya menanggapi seadanya.
‘Bobby bilang ia sebenarnya tidak mencintaiku. Ia cuma kepengin coba aja pacaran denganku. Tuh, sadis kan, Yos? Bayangin, dia kepengin nyobain pacaran sama aku. Lho, memangnya aku? Memangnya aku?” Tangis Ririt meledak lebih hebat.
“Sudahlah Ri, lupakan Bobby. Hari-hari masih terbentang panjang di hadapanmu. Di dunia ini cowok nggak cuma Bobby aja. Patah satu tumbuh seribu,” ucap saya berusaha bijak.
Memang hanya kata-kata itulah yang bisa saya sampaikan pada Ririt kalau dia lagi putus dengan cowoknya. Saya kadang sampai bosen. Tapi anehnya, kata-kata itulah yang paling manjur buat Ririt.
Ririt memandang lurus ke arah saya. Kedua tanganya memegang bahu saya.
“Terima kasih, Yos. Kamu memang sahabatku paling baik. Sulit mengukur kebaikanmu dengan rupiah atau benda-benda berharga lainnya. Dengan saranmu tadi, aku merasa ada seribu kekuatan yang mengalir, Yos. Semoga hari-hariku tidak akan kelabu, tetap merah jambu.” Ririt menepuk bahu saya.
Ceille, mulai kumat jadi penyair lagi dia. Benar kan kata-kata saya manjur?
**
Sore itu saya sedang asyik menyirami bunga, ketika Ririt datang ke rumah. Kalau lima hari lalu Ririt datang ke rumah saya dengan wajah memelas karena pakai nangis-nangis segala, sore itu keadaannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Baru sampai pagar halaman saja dia sudah senyum-senyum. Tangannya tampak menenteng sesuatu yang dilapisi kertas koran. Sepertinya sebuah pigura besar.
”Kita buka di dalam yuk! Aku berikan spesial buat kamu. Pasti deh kamu suka,” lanjut Ririt sambil menarik tangan saya.
Saya mengikuti saja ajakan Ririt, masuk ke rumah.
“Buka Yos..,” perintah Ririt begitu kami tiba di ruangan tengah.
Apaan sih isinya? Saya jadi penasaran. Tadi Ririt bilang saya pasti suka dengan pemberiannya itu. Yakin bener dia....
“Kebalik ngeliatnya, Non,” protes Ririt begitu saya berhasil membuka koran yang membungkus benda pemberiannya.
Saya amati lukisan pemberian Ririt. Tampak catnya yang belum kering benar, pertanda lukisan itu belum lama dibuat.
“Suka Yos?”
Saya mencermati lebih seksama lukisan yang saya pegang. Kelihatannya sang si empunya lukisan ingin menggambar wajah seorang gadis. Tapi caranya masih kaku. Lihatlah, hidungnya tidak sepadan dengan gambar mata yang terlalu besar. Jadinya, wajah dalam lukisan itu menampakkan gadis yang berhidung kecil, tapi matanya belor. Dan, ih, telinganya kok gede sebelah? Saya menahan senyum di perut.
“Bagaimana, Yos, bagus ya?” Ririt meminta pendapat saya.
Saya belum menjawab pertanyaan Ririt. Tangan saya kini sibuk mengubah-ubah posisi lukisan untuk saya perhatikan lebih dalam agar bisa menjawab pertanyaan Ririt.
“Aku memang berusaha menggambar sesuai aslinya, Yos. Pasang saja lukisan itu di dinding kamarmu.”
“Lho kok di dinding kamarku?” Saya terkejut. Untuk apa saya memasang lukisan berwajah aneh itu? Cicak ngeliat pun langsung lari ketakutan.
“Ya, pasang di dinding kamar kamu. Gadis yang aku lukis itu kan memang kamu,” jelas Ririt.
Astaganaga, bujubule… ajegille. Saya hampir semaput demi mendengar keterangan Ririt. Gadis berwajah aneh yang hidungnya kecil, matanya belor dan telinganya gede sebelah, dalam lukisan itu adalah gambar saya? Saya rasanya pengin nangis, keki, dongkol, tapi juga geli.
Masa, sih Ririt sesadis itu. Tadi dia bilang melukis sesuai aslinya. Lho, memang hidung saya kecil, mata saya belor, dan aduh, telinga saya cacat begitu?
“Aku bantuin pasang ya, Yos” Dengan semangat empat lima Ririt mengambil lukisan yang saya pegang.
Lincah sekali ia berjalan menuju kamar saya. Kepalanya digoyang-goyang dengan riang, sambil bibir mungilnya menyenandungkan lagu Suka Sama Kamunya Bagindas. Ceile, apakah keriangan Ririt sore ini ada hubungannya dengan lagu yang dinyanyikannya? Saya mulai menebak-nebak.
“Ambil palu, Yos!” Teriak Ririt begitu ia naik ke bed saya. Jika lukisan itu jadi ditempel di sana, jadilah Ia objek utama pandangan saya ketika sedang berbaring. Pinter juga akal Ririt.
“Palunya, Yos!” Ririt teriak lagi
“Hah, ee…. Pakunya?” Saya tergagap
“Paku udah aku siapin dari rumah, tinggal palunya saja yang belum.”
Busyet! Akhirnya, saya turuti juga perintah Ririt. Mengambil palu yang ditaruh di garasi, tempat peralatan mobil.
“Kenapa sih, kamu mendadak jadi pelukis begitu. Ri?” Tanya saya lemas sambil mengerling ke dinding yang sudah ditempelin lukisan gadis berwajah aneh oleh Ririt.
“He, kenapa pertanyaanmu tanpa semangat begitu? Kamu nggak suka aku jadi pelukis? Ini ada sejarahnya, Yos?” wajah Ririt terlihat setengah kecewa.
Ada sejarahnya?” tanya saya tak mengerti.
Ririt mengangguk, lalu tersenyum. Ceriaaa sekali.
“Kemarin, iseng aku nonton pameran lukisan di Balai Budaya. Lukisan yang dipamerkan bagus-bagus. Siiplah. Untuk mengamati satu lukisan yang dipamerkan saja tak cukup waktu satu jam. Bener deh, Yos! Sampai akhirnya aku nemuin sendiri sang pelukis. Habis, ngeliat lukisannya aku merasa langsung jatuh cinta pada sang pelukis,” sejenak Ririt menghentikan kata-katanya. “Ternyata, Yos, pelukis itu amat ramah.Ia senang sekali aku memuji lukisannya. Pelukis itu namanya Wisnu. Orangnya baik deh. Wisnu bilang ia pengin melukis wajahku,” cerita Ririt terhenti lagi.
Saya baru saja membuka bibir saat Ririt mengkoma ceritanya. Tapi buru-buru Ririt memotong keinginan saya, dan melanjutkan ceritanya.
“Jangan memotong ceritaku dulu, Yos!” Ririt memperingatkan. Hmm. “Terus, Wisnu memenuhi janjinya. Wajahku dilukis. Amboii, lukisan Wisnu baguuuus sekali,” cerita Ririt dengan bibir meruncing. “Tadi malam, hmmm, kami sudah ngedate. Kami makan malam bersama di Mang Engking. Tau kan kamu, Yos, gimana suasana di Mang Engking yang sangat romantis di waktu malam? Nah..nah… tadi malam aku menikmatinya bersama Wisnu. Pokoknya, hmm…” Ririt berkata sembari memejamkan mata, bibirnya mengukir senyum.
“Kamu naksir?” tanya saya.
“Bukan cuma naksir, mabok deh!” Ririt berhahahehe.
Saya cuma menggelengkan kepala. Ada-ada saja kamu, Ri.
“Kamu mau kan suatu ketika ikutan jalan bareng sama aku dan Wisnu?” Ririt menawari.
“Kapan-kapan ya, Ri,” ucap saya basa-basi.”
“Pengin kenalan?” sambut Ririt antusias. “Bisa sekarang, Yos” Wisnu masih mengadakan pameran kok. Cepet ganti baju, gih!” perintah Ririt.
Doo, cuma basa-basi kok ditanggapi serius, sih? Saya geleng-geleng kepala.
“Cepetan, Yos. Jangan geleng-geleng gitu, ah. Kayak baru kena ayan aja, kamu. Nanti aku traktir Ice cream di Sri Ratu deh. Habis itu boleh deh kamu bawa oleh-oleh buat pulang.”
Nah, ini penyakit Ririt yang paling suka. Kalau baru kena panah asmara, udah deh dia baik luar biasa. Saya nggak minta jajan apa-apa, dia maksa-maksain.
Menuruti ajakan Ririt, akhirnya mau juga saya diajak ke Balai Budaya untuk ketemu Wisnu, sang pelukis yang telah membuat Ririt mabok cinta. Wih, saya bayangin gimana Wisnu-nya Ririt kali ini. Mungkin nggak beda jauh sama Tengku Wisnu artis yang ganteng itu. Beruntung deh, Ririt punya pacar ganteng begitu. Moga-moga aja setelah punya pacar ganteng Ririt nggak ngelupain saya.
“Yang mana?” tanya saya begitu memasuki ruang pameran. Nggak sabar rasanya pengin lihat pacar Ririt yang kayak artis.
Ririt menarik tangan saya. Menembus kerumunan orang yang sedang melihat pameran.
“Kenalin nih temen saya,” kata Ririt begitu kami berdiri di hadapan seorang cowok.
Cowok di hadapan saya tertawa menyeringai. Saya berkedap-kedip tak percaya menatapnya. Benarkah ini Wisnu? Saya mengamati lebih seksama cowok di muka saya. Baju dan celananya komprang, rambutnya gondrong kusam, wajahnya panen jerawat, seterusnya saya nggak berani menilai lebih jauh. Bayangan wajah Wisnu yang semula saya pikir bagai artis, ternyata benar. Maksudnya, artis film horor!
“Bagaimana menurut penilaian kamu, Si Wisnu itu?” tanya Ririt begitu kami pulang nontol pameran.
Saya tak berkomentar. Bingung musti ngomong apa. Kok selera Ririt jadi parah begitu?
“Aku suka Wisnu karena penampilan dia yang apa adanya, Yos,” kata Ririt kemudian.
Saya cuma mengangguk. Ririt benar, penampilan Wisnu memang apa adanya. Hanya dalam hati saya, kuat berapa hari Ririt pacaran dengan Wisnu? Dulu, Gigih-Anto-Doni-Pras –Bobby, dan entah siapa lagi nama mantan pacar Ririt yang penampilannya lumayan saja, nggak pernah ada yang bisa pacaran sampai lebih tiga bulan.
**
Sepatu-sepatu di Cibaduyut, huuh, mata saya sampai pedas melihatnya. Modelnya macam-macam, harganya murah-murah lagi. Saya memang sengaja ke Cibaduyut sendirian siang itu. Soalnya, kalau beli barang, saya milih-milihnya lama. Jadi waktu tadi tante mau menemani, saya bilang nggak usah. Paling enak pergi sendiri, nggak ada beban harus menghargai perasaan orang lain segala macam. Itulah sebabnya ketika hendak ke Cibaduyut tadi, saya cuma minta kasih tahu jalannya saja sama tante. Kota Bandung kan belum saya hapal benar. Baru dua kali ini saya main ke rumah tante di Bandung.
“Heiii, Yosi, ya?” Seseorang menepuk pundak saya dari belakang ketika saya sedang asyik memilih sepatu.
Saya menoleh.
“Ririt?” Pekik saya terkejut, campur senang.
Sudah lama sekali nggak ketemu Ririt. Tepatnya setelah kami lulus SMA . Ririt juga jahat. Setelah lulus ia tidak memberi tahu di mana rimbanya. Saya hanya dengar kabar Ririt kuliah di Bandung. Hingga kini berarti kurang lebih waktu satu tahun kami tak bertemu.
“Sama siapa ke sini?” tanya Ririt.
“Sendiri,” sahut saya.
“Hei, berani-beraninya. Diculik cowok baru tahu rasa!” Ririt mengacak-ngacak rambut saya. Belum banyak berubah ini anak.
Beberapa penjaga stand di toko sepatu mengamati kami. Mungkin mereka merasa geli melihat kami.
“Kita cari warung, yuk, sambil omong-omong,” tawar Ririt.
Masih belum berubah juga pola pikirnya. Perut melulu yang dipikir.
“He ekh!” Saya mengiyakan.
Kami memesan dua gelas es sari jeruk. Sembari menunggu pesanan kami ngobrol ngalor-ngidul. Benar, Ririt memang masih belum berubah. Masih seperti dulu. Gayanya berkotek-kotek masih saja nyerocos. Bahkan, Riritlah yang banyak memborong cerita dalam pertemuan kami siang itu.
“Siapa cowokmu sekarang?” tanya saya setelah kami asyik ngobrol.
Ririt tersenyum. “Tebak deh” katanya ringan.
Lho memang saya dukun? Ketemu, dapat kabar aja nggak pernah, suruh nebak pacarnya. Batin saya.
“Ya masih tetap yang dulu. Wisnu,” ujar Ririt kemudian
Hah? Saya terperangah. Ririt bisa bertahan satu tahun lebih dengan Wisnu? Ini prestasi luar biasa. Bisa dimasukan ke MURI-nya Jaya Suprana. Saya geleng-geleng kepala.
“Penyakit ayanmu kumat lagi,” cetus Ririt.
“Sialan!” umpat saya keki.
Ririt tertawa-tawa.
“Bisa awet, Ri?” tanya saya tak habis pikir.
Ririt mengangguk. Dari binar matanya saya dapat membaca Ririt merasa dirinya bahagia.
“Aku sudah tunangan dengannya,” Ririt menunjukkan jari manisnya yang sudah dilingkari cincin.
Tanpa kompromi, kali ini saya bego melongo. Kok bisa ya?
“Jodoh, ya namanya memang jodoh.,Yos,” tambah Ririt seperti mengerti pikiran saya.
Saya mengangguk-angguk. “Terus, kamu di sini kuliah di mana?”
“Seni rupa. Wisnu banyak memberiku bimbingan, Yos,” terang Ririt.
Seni rupa? Kali ini saya benar-benar kaget. Seingat saya, Ririt tidak bisa melukis. Ah, saya jadi ingat peristiwa tempo hari. Ketika Ririt memulai karirnya melukis. Waktu itu Ririt memberi saya hadiah sebuah lukisan, gambarnya…
“Kenapa ketawa sendiri?” Ririt mencolek lengan saya.
“Aku jadi ingat pemberian lukisanmu tempo hari, Ri,” kata saya jujur.
“Hei ya, bagaimana lukisanku, masih kau tempel di kamar?” tanya Ririt tanpa dosa.
“Aku taruh di gudang, Ri. Aku nggak bisa tidur kalau ngeliatnya,” jawab saya jujur.
“Doo…?”
Saya lihat bias kecewa di wajah Ririt.
“Tapi nggak papa deh, Yos. Besok biar Wisnu yang melukis wajahmu, pasti siip. Kalau Wisnu yang melukis memang bisa bagus sekali, tutur Ririt mempromosikan nama cowok yang menjadi jodohnya.
Saya mengangguk-angguk. Saya bayangkan Wisnu yang baju dan celananya komprang, rambutnya gondrong kusam, wajahnya yang panen jer… Yah, namanya juga jodoh.
***
(cerpen reka ulang 4 Juli 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H