Saya terkejut. Lamunan panjang saya putus begitu saja.
“Waktu Bobby aku tanya, apa benar-benar dia mencintaiku, ternyata jawabannya menyakitkan sekali,” Ririt menghapus dua anak sungai yang mengalir di pipi kanan-kirinya.
“Bobby bilang gimana?” Saya menanggapi seadanya.
‘Bobby bilang ia sebenarnya tidak mencintaiku. Ia cuma kepengin coba aja pacaran denganku. Tuh, sadis kan, Yos? Bayangin, dia kepengin nyobain pacaran sama aku. Lho, memangnya aku? Memangnya aku?” Tangis Ririt meledak lebih hebat.
“Sudahlah Ri, lupakan Bobby. Hari-hari masih terbentang panjang di hadapanmu. Di dunia ini cowok nggak cuma Bobby aja. Patah satu tumbuh seribu,” ucap saya berusaha bijak.
Memang hanya kata-kata itulah yang bisa saya sampaikan pada Ririt kalau dia lagi putus dengan cowoknya. Saya kadang sampai bosen. Tapi anehnya, kata-kata itulah yang paling manjur buat Ririt.
Ririt memandang lurus ke arah saya. Kedua tanganya memegang bahu saya.
“Terima kasih, Yos. Kamu memang sahabatku paling baik. Sulit mengukur kebaikanmu dengan rupiah atau benda-benda berharga lainnya. Dengan saranmu tadi, aku merasa ada seribu kekuatan yang mengalir, Yos. Semoga hari-hariku tidak akan kelabu, tetap merah jambu.” Ririt menepuk bahu saya.
Ceille, mulai kumat jadi penyair lagi dia. Benar kan kata-kata saya manjur?
**
Sore itu saya sedang asyik menyirami bunga, ketika Ririt datang ke rumah. Kalau lima hari lalu Ririt datang ke rumah saya dengan wajah memelas karena pakai nangis-nangis segala, sore itu keadaannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Baru sampai pagar halaman saja dia sudah senyum-senyum. Tangannya tampak menenteng sesuatu yang dilapisi kertas koran. Sepertinya sebuah pigura besar.