“Kenapa sih, kamu mendadak jadi pelukis begitu. Ri?” Tanya saya lemas sambil mengerling ke dinding yang sudah ditempelin lukisan gadis berwajah aneh oleh Ririt.
“He, kenapa pertanyaanmu tanpa semangat begitu? Kamu nggak suka aku jadi pelukis? Ini ada sejarahnya, Yos?” wajah Ririt terlihat setengah kecewa.
Ada sejarahnya?” tanya saya tak mengerti.
Ririt mengangguk, lalu tersenyum. Ceriaaa sekali.
“Kemarin, iseng aku nonton pameran lukisan di Balai Budaya. Lukisan yang dipamerkan bagus-bagus. Siiplah. Untuk mengamati satu lukisan yang dipamerkan saja tak cukup waktu satu jam. Bener deh, Yos! Sampai akhirnya aku nemuin sendiri sang pelukis. Habis, ngeliat lukisannya aku merasa langsung jatuh cinta pada sang pelukis,” sejenak Ririt menghentikan kata-katanya. “Ternyata, Yos, pelukis itu amat ramah.Ia senang sekali aku memuji lukisannya. Pelukis itu namanya Wisnu. Orangnya baik deh. Wisnu bilang ia pengin melukis wajahku,” cerita Ririt terhenti lagi.
Saya baru saja membuka bibir saat Ririt mengkoma ceritanya. Tapi buru-buru Ririt memotong keinginan saya, dan melanjutkan ceritanya.
“Jangan memotong ceritaku dulu, Yos!” Ririt memperingatkan. Hmm. “Terus, Wisnu memenuhi janjinya. Wajahku dilukis. Amboii, lukisan Wisnu baguuuus sekali,” cerita Ririt dengan bibir meruncing. “Tadi malam, hmmm, kami sudah ngedate. Kami makan malam bersama di Mang Engking. Tau kan kamu, Yos, gimana suasana di Mang Engking yang sangat romantis di waktu malam? Nah..nah… tadi malam aku menikmatinya bersama Wisnu. Pokoknya, hmm…” Ririt berkata sembari memejamkan mata, bibirnya mengukir senyum.
“Kamu naksir?” tanya saya.
“Bukan cuma naksir, mabok deh!” Ririt berhahahehe.
Saya cuma menggelengkan kepala. Ada-ada saja kamu, Ri.
“Kamu mau kan suatu ketika ikutan jalan bareng sama aku dan Wisnu?” Ririt menawari.