Kami menghambur ke arah Syahdan. Karena ia tak bernafas sama sekali dan ia terpelanting. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipi Syahdan, aku pegang urat lehernya. Namun sayang aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong. Kami mengigil ketakutan dan Samson mengisyarat agar mengangkat Syahdan. Tiba-tiba kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Rupanya ia hanya berpura-pura tewas.Â
Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan nafas agar kami menyangka ia mati. Lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan, kami pun ikut tertawa. Makin lama tawa kami makin keras, yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang.
Bab 16
Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau
Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Aku mengumpulkan sebuah karangan puisi yang berjudul Aku Bermimpi Melihat Surga. Dengan puisi itu, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar.
Burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, dimana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang menganggap burung itu semacam makhluk gaib. Pelintang pulau adalah kebiasaan burung itu terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintasi pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di puncak dari pohon-pohon yang tinggi.Â
Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang dilihatnya, tetapi yang kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong. Maka, seperti biasa, mengalirkan ejekan untuk Mahar. Sayangnya upaya Mahar untuk meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual.
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul "Kawanan Burung Pelintang Pulau", sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burungg yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Ketika Mahar sudah berpikir tataran imajinasi, simbol, dan substansi Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Karena kecewa sebab karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Mahar agak berkurang sedikit, yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik.
Bab 17
Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu