Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut. Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jalan-jaln telah meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah
Bab 21
Rindu
Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos.Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting. Sekarang aku paham, kurampas suratku. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu. Aku duduk sendiri dibawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru ituberisi puisi yang berjudul Rindu dari A Ling. Aku terpaku memandangi kertas itu, tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap.
Bab 22
Early Morning Blue
Malam minggu ini kami akan menginap di Masjid Al-Hikmah karena setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu mendaki gunung. Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana.Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang.
Aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas dari memandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh dibawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman.