Mohon tunggu...
Yusrina Imaniar
Yusrina Imaniar Mohon Tunggu... QC Supervisor -

If you want to give me feedback or even REPOST my stories, please contact me on : Email : iyusrina30@gmail.com Instagram : @yusrinaimaniar

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Pangeran Hitam, Putri Cahaya, dan Ksatria Putih (Part 2)

11 Februari 2017   10:04 Diperbarui: 11 Februari 2017   10:25 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA

Ryfan P.O.V

Kak Nino pergi ke studio dan aku masuk ke kamarnya diam-diam. Bukan, aku bukan mau mencuri, aku hanya ingin mencari tahu. Tentang Alisia dan apa yang terjadi padanya. Aku membuka laci yang ku tahu disana ada kotak beludru biru berisi cincin. Aku menemukan beberapa lembar foto disana.

Foto pertama adalah foto Alisia sendiri, tersenyum lebar sambil memegang permen kapas dan mengenakan bando minnie mouse. Sepertinya mereka ada di taman bermain. Di balik foto itu kak Nino menulis sesuatu.

14 Juni 2012. Ulang tahun Alisia yang ke 23.

Foto kedua adalah Alisia yang sedang makan burger. Kak Nino menulis :

Alisia dan favoritnya, burger.

Foto ketiga adalah Alisia yang sedang tidur dengan posisi duduk dan menempelkan pipinya ke meja. Latar dari foto itu adalah deretan rak buku.

Dia selalu tidur di perpustakaan.

Foto keempat adalah foto Alisia dan kak Nino. Keduanya tampak gembira.

Aku akan melamarnya besok, di hari ulang tahunnya, 14 Juni 2013.

Ah. Kak Nino pasti sangat mencintai gadis ini, hingga ia memikirkan untuk menjadikan gadis ini sebagai calon istrinya. Aku bisa merasakannya sekarang. Kak Nino pasti sangat memimpikan hidup bersama dengan Alisia. Aku memandangi foto Alisia. Gadis itu cantik, dan kelihatannya baik hati. Segalanya terlihat baik-baik saja dan normal, tapi apa yang terjadi hingga Alisia meninggal?

“Apa yang kamu cari?”

***

Nino P.O.V

Aku mendapati Ryfan memegang lembaran foto Alisia. Entah apa yang aku rasakan, tapi yang pasti aku marah. Anak itu!

“Apa yang kamu cari?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Kenapa kamu membongkar laciku?” aku merebut foto-foto itu dan aku melihat Ryfan menatapku dengan bingung, sedih, dan penasaran.

“Maaf kak, Ryfan...”

“Keluar,” kataku dingin. Ryfan diam tak bergeming didepanku.

“Keluar!” teriakku. Aku benar-benar marah. Ryfan menurut dan keluar dari kamarku.

Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku menyimpan foto-foto Alisia kembali ke laciku dan seperti biasa mengeluarkan kotak beludru yang berisi cincin, cincin yang seharusnya kuberikan kepada Alisia dua tahun lalu. Tak hanya itu, aku mengeluarkan sebuah kotak besar dari bawah ranjang. Kotak kayu putih yang sudah mulai berdebu karena lama tak dibuka. Aku mengeluarkan isinya yang semuanya adalah benda-benda tentang Alisia. Ada jepit rambut berwarna merah muda yang biasa ia gunakan, ada foto-fotonya, ada ponsel terakhir Alisia, dan ada sweater jingga.

Sweater jingga yang berlumuran darah kering.

<<

Aku memarkir mobilku di depan kantor tempat Alisia bekerja. Hari ini adalah hari ulang tahun Alisia, dan aku ingin memberikan kejutan untuknya. Aku memastikan buket bunga mawar merah di bagasi masih segar dan cincinnya ada dalam sakuku. Aku akan merayakan ulang tahun Alisia hari ini, sekaligus melamarnya.

“Nino!” Alisia melambaikan tangannya padaku, tapi tiba-tiba seseorang mengalihkan perhatiannya.

“Alisia, sweatermu ketinggalan di ruanganku,” Aku mengenali sosok itu, Diaz, mantan kekasih Alisia. Aku tidak tahu laki-laki itu bekerja dengan Alisia.

“Oh ya, terima kasih.” Alisia tersenyum manis dan Diaz mengacak rambut Alisia sedikit.

“Dasar pelupa, belum berubah ya?” Diaz tertawa dan saat ia melihatku, laki-laki itu hanya mengangguk singkat dan pergi, tak menyadari kemarahanku.

Alisia menghampiriku dengan wajahnya yang ceria, tak sadar kalau aku sedang benar-benar marah.

“Sejak kapan kamu sekantor dengan Diaz?” tanyaku dengan nada tinggi yang membuat Alisia menyadari kalau aku marah.

“Hmm, sebulan lalu. Dia karyawan baru.”

“Dan kamu nggak cerita apapun tentang dia. Kenapa?”

“Untuk apa? Aku sama Diaz sudah nggak punya hubungan apa-apa. Sekarang aku sama kamu, apalagi yang harus dipermasalahkan?”

“Kenapa sweater kamu ada di ruangannya? Kamu mau apa ke ruangannya sampai sweater ketinggalan?”

“Aku tadi sudah mau pulang, tapi aku harus memberikan contoh laporan ke dia, aku nggak sengaja!”

“Atau kamu mau balik lagi sama dia?” tanyaku gusar.

“Nggak, Nino! Kamu harus percaya sama aku, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Sama sekali nggak!”

Aku masuk mobil dengan marah dan mulai menyalakan mobilku. Alisia masuk ke dalam mobil, dan segera memegang tanganku, sesuatu yang dengan mudahnya membuatku luluh.

“Aku minta maaf kalau aku buat kamu marah. Maafin aku, aku nggak maksud...” aku melihat mata Alisia yang berkaca-kaca.

“Nggak apa-apa.” Kataku, meski aku masih marah, aku bukan orang yang sulit memaafkan.

Alisia tersenyum samar. Aku merasa tidak enak karena bagaimanapun aku jadi merusak suasana. Beberapa saat, kami sama-sama diam, merenungkan entah apa.

“Kita kok masuk tol? Nggak langsung pulang?” Alisia mengernyitkan dahi, menyadari aku mengambil jalur tol.

“Nggak, ini kan hari ulang tahun kamu, jadi harus kita rayakan, ya kan?” aku tersenyum padanya. Mata Alisia berbinar.

“Benarkah? Kamu mau ajak aku kemana?”

“Yang pasti, aku akan buat kamu jadi wanita paling bahagia di dunia,” aku tak pernah menggombal, tapi ini hari ulang tahunnya, jadi aku akan melakukan apa saja untuk membahagiakannya.

“Nino, kalau aku nggak ada, kamu bisa baik-baik saja?” tanya Alisia tiba-tiba.

“Maksudnya?”

“Iya, kalau aku nggak lagi ada disisi kamu, kamu bisa baik-baik saja kan? Kamu bisa menemukan gadis lain, iya kan?”

“Nggak. Aku nggak mau gadis lain,” jawabku cepat.

“Oh ya? Benar? Kamu nggak akan sama gadis lain meskipun aku nggak ada?”

“Ya,” aku menjawab dengan tegas. Alisia tersenyum lebar.

“Aku pegang janji kamu ya,”

Aku tersenyum mendengar Alisia. Hari ini akan jadi hari yang sempurna baginya dan aku. Gadis ini akan kulamar hari ini, apa lagi yang lebih sempurna?

“NINO AWAS!!”

Segalanya terjadi begitu cepat. Sebuah mobil boks hilang keseimbangan dan berguling ke arah mobilku. Aku berusaha menghindar, tapi segalanya terlambat.

*

Suara ambulans menyadarkanku, dan aku baru sadar kalau aku masih dalam mobil yang sepertinya telah hampir hancur ini. Banyak suara yang kudengar, suara-suara orang yang berusaha membuka mobilku. Aku langsung melihat Alisia yang ada disisiku. Tangannya masih menggenggam tanganku erat. Aku bisa melihat darah mengalir dari kepala dan hidungnya, beberapa pecahan kaca kecil menancap di pipinya. Alisia menatapku dengan senyum kecil.

“Kita bertengkar tadi. Aku takut sekarang,” katanya.

“Jangan takut, segalanya akan baik-baik saja.” Aku berusaha menenangkannya.

“Tapi Nino... sepertinya tidak...”

Aku melihat dengan panik dan baru sadar bahwa kaca depan mobil sudah pecah. Ada pecahan besar yang menancap di dada Alisia.

“Tidak, semuanya akan baik-baik saja!” Aku mulai menangis.

“Aku cinta kamu, kamu tahu itu, ya kan?” kata Alisia tersenyum.

Alisia menutup matanya, dan aku mendengar petugas memanggilku, entah bagaimana aku bisa keluar dari mobil, dan semuanya gelap.

**

Ketika aku bangun beberapa jam kemudian, aku telah diberitahu kalau Alisia meninggal dunia. Kedua orangtuanya tidak mau bicara denganku. Mereka marah, aku tahu itu. Semua orang mencintai Alisia, gadis yang baik hati dan ramah pada semua orang. Hingga kini kedua orangtuanya tidak pernah menghubungi atau bertemu denganku. Aku memeluk sweater jingga itu lagi, dan air mata mengalir deras dari pipiku. Aku tak bisa menemukan gadis lain sepertinya.

Karena seperti kataku, aku tak mau gadis lain selain Alisia.

***

Nino P.O.V

Kepalaku masih pening, sepertinya aku kelelahan karena dua hari kemarin aku harus menghadapi banyak model dan kejar deadline. Menyebalkan. Untungnya, tiga hari kedepan aku akan libur, tapi tidak dengan Ryfan. Anak itu sudah menghilang sepagi ini. Mungkin pergi ke rumah sakit, berjaga seperti biasanya. Aku sudah tak aneh kalau aku tak menemukan anak itu di rumah.

Aku membuka lemari es dan menemukan sekotak susu cair disana. Aku juga mengambil beberapa lembar roti gandum di meja makan dan menyalakan televisi. Berita hari ini benar-benar membuatku bosan, acara televisi juga tidak menarik. Kadang aku agak merindukan Ryfan di rumah saat aku juga di rumah. Kami memang tidak seakrab dulu, tapi aku masih menyayanginya. Setidaknya jika ia disini sekarang, ia akan bicara basa-basi dan menceritakan banyak hal meskipun aku tidak pernah menanyakannya.

Aku benci saat seperti ini. Aku memang ingin sendiri, tapi kadang kesendirian itu juga yang berusaha membunuhku. Saat sendiri aku selalu memikirkan kepergian Alisia, dan itu menyakitiku, sangat menyakitiku. Aku tidak pernah menyadari betapa aku mencintainya sebelum akhirnya ia meninggalkanku selamanya.

“Kecelakaan di ruas tol Cipularang memakan seorang korban wanita....”

Aku segera mematikan televisi, aku tak mau mendengarnya lagi. Berita seperti itu juga membuatku merasa bahwa aku seorang pembunuh. Aku telah menghilangkan nyawa gadis yang kucintai. Aku masuk ke kamarku dan menutup pintunya. Aku melihat kalendar di meja tulisku dan melihat bahwa esok adalah tanggal jadiku dengan Alisia. Aku tak bisa melupakan hari itu, sungguh. Hari itu adalah hari yang sangat membuatku bahagia, sebuah langkah menghabiskan tiga tahun bersama.

<<

Alisia memiringkan kepalanya didepan buku tebal untuk tugas kuliahnya dengan wajah yang sangat serius seolah tak ingin ada satupun hal yang mengganggunya. Aku duduk dihadapannya dengan sangat gelisah. Bagaimana tidak, dia gadis yang kusukai selama satu tahun ini, dan aku ingin dia menjadi pasangan hidupku. Aku tidak punya pilihan lain, mengajaknya bicara itu tak mungkin karena ia tidak suka diajak bicara saat membaca buku. Aku meninggalkan sebuah memo di dekat tempat pensilnya, berharap ia akan membacanya nanti.

Alisia,

Aku sangat, sangat, sangat, menyukaimu. Aku pikir aku sudah tidak bisa menjadi temanmu, dan aku tahu kalau aku ingin lebih dari teman. Malam nanti aku akan ada diluar asramamu, keluarlah kalau kamu merasakan hal yang sama.

Aku meninggalkan memo itu dan segera pergi dari perpustakaan. Jantungku rasanya tidak berdetak sesuai irama, ia berdetak cepat sekali, terlalu cepat hingga dadaku terasa sakit. Aku segera pergi ke toko bunga dan membeli sebuket mawar merah muda pucat kesukaannya. Aku harap ini akan berakhir baik.

*

Malamnya, aku berdiri di depan asramanya, bergaya rapi dengan kaus abu-abu dan jaket berwarna senada sambil memegang buket mawar itu. Aku berharap aku bisa menghilang dari sana karena mahasiswa lain mulai memperhatikan aku. Aku memejamkan mata agar aku tak perlu melihat mereka. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berlari, dan aku membuka mataku. Alisia berlari menuruni tangga dengan wajah penuh kebahagiaan. Senyumnya lebar sekali dan dia terus berlari ke arahku, hingga akhirnya ia menabrakku.

Aku kaget, dan sekaligus sangat bahagia. Jantungku berdegup kencang tapi rasanya tidak sakit. Gelenyar kebahagiaan menyerangku dan saat ia mundur satu langkah, Alisia mengambil mawar yang kupegang.

“Terima kasih, karena sudah memilihku,” katanya dengan mata berkaca-kaca dan senyum bahagia.

“Dan aku akan memilihmu, seperti kamu memilihku.” Tambahnya lagi.

Aku tidak bisa berkata apa-apa dihadapan wanita yang sangat kucintai ini. Tak ada kata yang tepat untuk mengekspresikan kebahagiaanku. Hari itu, adalah sebuah hari dimana aku merasa lengkap kembali.

*

Aku menyeka air mataku, seolah Alisia masih disini, ia terus membuatku mengingat banyak hal. Aku tidak mengerti apakah ini memang hukumanku, atau bagaimana. Entah apa yang Tuhan rencanakan padaku, tapi satu hal yang pasti, aku masih menderita karena kehilangan Alisia.

Aku mengerti kalau usia seseorang sudah ada yang menentukan, tapi aku tidak bisa berhenti menyebut diriku bahwa aku yang membunuhnya. Meski tidak langsung oleh tanganku. Aku mengambil lembaran foto Alisia dan menatapnya. Entah berapa lama aku terisak, tapi sebuah kesakitan menghantam kepalaku tiba-tiba, hingga akhirnya aku jatuh tertidur.

***

Ryfan P.O.V

Aku membuka pintu dan mendapati kak Nino tertidur diatas karpet sambil memeluk sweater jingga lusuh dan foto-foto Alisia. Aku bisa menebak dari apa yang kulihat, bahwa kak Nino masih terjebak dalam masa lalunya. Entah apa yang terjadi dua tahun lalu hingga mengubah kak Nino seperti ini. Seingatku kak Nino adalah seorang yang menyenangkan dan kadang terlalu percaya diri. Sejak dulu aku dan kak Nino cukup dikenal dilingkungan rumah dan juga sekolah, kak Nino apalagi, karena ia sangat tampan.

Aku menutup pintu kamarnya perlahan. Kak Nino masih tertidur disana, aku tidak ingin mengganggunya. Aku pikir ia perlu waktu, tapi apakah dua tahun tidak terlalu lama? Aku akan biarkan ia tidur sekarang ini. Hanya saat tidur ia bisa tenang dan melupakan segalanya.

Aku mengerti bagaimana kehilangan Alisia membuat kak Nino melemah. Kehilangan sosok yang dicintai selalu tak mudah, dan ini sudah dua tahun sejak kematian Alisia. Aku hanya penasaran apa yang terjadi sebenarnya. Aku tahu kalau Alisia meninggal akibat kecelakaan mobil dan kak Nino tidak bicara apapun lagi. Ia hanya menangis setiap kali mengingat Alisia. Seolah ia sedang menghukum dirinya, mengunci hati dari setiap perempuan.

Ah, mungkin ia terlalu mencintai Alisia, itu saja.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun