Alisia,
Aku sangat, sangat, sangat, menyukaimu. Aku pikir aku sudah tidak bisa menjadi temanmu, dan aku tahu kalau aku ingin lebih dari teman. Malam nanti aku akan ada diluar asramamu, keluarlah kalau kamu merasakan hal yang sama.
Aku meninggalkan memo itu dan segera pergi dari perpustakaan. Jantungku rasanya tidak berdetak sesuai irama, ia berdetak cepat sekali, terlalu cepat hingga dadaku terasa sakit. Aku segera pergi ke toko bunga dan membeli sebuket mawar merah muda pucat kesukaannya. Aku harap ini akan berakhir baik.
*
Malamnya, aku berdiri di depan asramanya, bergaya rapi dengan kaus abu-abu dan jaket berwarna senada sambil memegang buket mawar itu. Aku berharap aku bisa menghilang dari sana karena mahasiswa lain mulai memperhatikan aku. Aku memejamkan mata agar aku tak perlu melihat mereka. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berlari, dan aku membuka mataku. Alisia berlari menuruni tangga dengan wajah penuh kebahagiaan. Senyumnya lebar sekali dan dia terus berlari ke arahku, hingga akhirnya ia menabrakku.
Aku kaget, dan sekaligus sangat bahagia. Jantungku berdegup kencang tapi rasanya tidak sakit. Gelenyar kebahagiaan menyerangku dan saat ia mundur satu langkah, Alisia mengambil mawar yang kupegang.
“Terima kasih, karena sudah memilihku,” katanya dengan mata berkaca-kaca dan senyum bahagia.
“Dan aku akan memilihmu, seperti kamu memilihku.” Tambahnya lagi.
Aku tidak bisa berkata apa-apa dihadapan wanita yang sangat kucintai ini. Tak ada kata yang tepat untuk mengekspresikan kebahagiaanku. Hari itu, adalah sebuah hari dimana aku merasa lengkap kembali.
*
Aku menyeka air mataku, seolah Alisia masih disini, ia terus membuatku mengingat banyak hal. Aku tidak mengerti apakah ini memang hukumanku, atau bagaimana. Entah apa yang Tuhan rencanakan padaku, tapi satu hal yang pasti, aku masih menderita karena kehilangan Alisia.