“Untuk apa? Aku sama Diaz sudah nggak punya hubungan apa-apa. Sekarang aku sama kamu, apalagi yang harus dipermasalahkan?”
“Kenapa sweater kamu ada di ruangannya? Kamu mau apa ke ruangannya sampai sweater ketinggalan?”
“Aku tadi sudah mau pulang, tapi aku harus memberikan contoh laporan ke dia, aku nggak sengaja!”
“Atau kamu mau balik lagi sama dia?” tanyaku gusar.
“Nggak, Nino! Kamu harus percaya sama aku, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Sama sekali nggak!”
Aku masuk mobil dengan marah dan mulai menyalakan mobilku. Alisia masuk ke dalam mobil, dan segera memegang tanganku, sesuatu yang dengan mudahnya membuatku luluh.
“Aku minta maaf kalau aku buat kamu marah. Maafin aku, aku nggak maksud...” aku melihat mata Alisia yang berkaca-kaca.
“Nggak apa-apa.” Kataku, meski aku masih marah, aku bukan orang yang sulit memaafkan.
Alisia tersenyum samar. Aku merasa tidak enak karena bagaimanapun aku jadi merusak suasana. Beberapa saat, kami sama-sama diam, merenungkan entah apa.
“Kita kok masuk tol? Nggak langsung pulang?” Alisia mengernyitkan dahi, menyadari aku mengambil jalur tol.
“Nggak, ini kan hari ulang tahun kamu, jadi harus kita rayakan, ya kan?” aku tersenyum padanya. Mata Alisia berbinar.