Andri tak menggubrisku. Ia menggendong kakek dengan susah payah dan mulai berjalan keluar dari halaman rumah. Ibu menangis terisak-isak. Pak Kepala Desa dan yang lainnya menyingkir memberi jalan pada Andri.
Aku terus mengejar Andri. Berbagai kilasan peristiwa bermunculan di kepalaku. Kejadian-kejadian yang aku sendiri tidak bisa mengingatnya.
“Andriii jangan pergii ! Tunggu !!” jeritku.
Andri terus saja melangkah cepat sambil sekuat tenaga menahan beban berat badan kakek di punggungnya. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Para penduduk desa yang sedang berada diluar rumah hanya mengamati kami dalam diam.
Andri sudah melewati gerbang desa dan hampir sampai ke jalan setapak.
“Andri !!” teriakku putus asa. “Tunggu Ndri ! Kamu nggak boleh pulang ! Jangan pergi Ndri !!”
Akhirnya Andri berhenti dan menoleh. Menatapku tajam.
“Maaf. Lebih baik aku pulang dengan kondisi bagaimanapun, daripada harus hidup di dunia yang bukan duniaku. Dan aku yakin ayahku juga pasti akan berpendapat begitu,” ujarnya tegas.
“Nggak !! Aku nggak mau seperti ini !” teriakku. “Andriii !!”
Andri tak menoleh lagi.
Agung tiba di sampingku. Ia menarik dan mengguncang-guncang tubuhku.