“Dan untuk ayahmu yang sekarang sudah berusia kurang lebih delapan puluh tahun, sebaiknya kamu tidak membawanya serta,” lanjut Pak Kepala Desa dengan wajah menyesal.
Andri berdiri terpaku. Wajahnya memucat.
“Ayahmu ini sudah pernah berusaha dibawa keluar oleh Bu Ratih melalui jalan setapak itu setelah beliau selesai diobati. Tetapi… baru setengah perjalanan, usia ayahmu sudah bertambah sekitar tiga puluh lima tahun. Dan menjadi renta seperti ini. Bu Ratih yang terkejut dan ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi pada Pak Sardi jika perjalanan itu dilanjutkan, akhirnya memutuskan untuk membawa kembali beliau ke desa dan merawatnya di rumah.”
Andri menggeleng-geleng keras. “Nggak…! Itu nggak mungkin !!” teriaknya.
Iya, itu tidak mungkin. Cerita konyol macam apa itu? Protesku dalam hati sambil menahan rasa ingin muntah akibat sakit di kepala yang semakin menjadi-jadi.
“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan yang telah dilakukan oleh warga kami. Dan karena tidak ada jalan keluar lain dari sini selain jalan setapak itu, maka kami hanya bisa menawarkan kepada Pak Sardi dan Nak Andri untuk tinggal saja disini. Karena ini semua kesalahan kami, maka kamilah yang akan bertanggung jawab untuk mengurus kalian,” ujar Pak Kepala Desa.
Andri mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan wajah masih tak percaya.
“Tetapi, kalau kalian tetap ingin pergi dari sini, kami juga tidak akan melarang,” tambah Pak Kepala Desa.
Mendengar itu, Andri langsung meraih lengan kakek dan memapahnya berdiri. “Ayo kita pulang ayah,” katanya tegas sambil menarik tubuh kakek ke atas punggungnya.
Apa ? Andri mau pergi ? Tidak… tidak boleh !
“Jangan Ndri ! Jangan pergi !” teriakku berusaha mengabaikan sakit di kepalaku dan melangkah mendekati Andri.