Kulempar senyum ramah pada ibu tetangga sebelah rumah. Ia membalas tersenyum dengan kaku lalu buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Entah menghindari hujan atau menghindariku. Orang aneh, batinku sambil melangkah ke dalam.
“Sudah pulang Sari,” terdengar suara ibu dari arah ruang makan.
“Iya bu,” sahutku sembari melepas sepatu lalu langsung masuk dan menghempaskan diri di salah satu kursi makan. ”Capeek banget tadi lari-lari. Soalnya takut kehujanan sih.”
“Kenapa harus takut dengan hujan ?” tanya ibu sambil menata piring di meja.
“Kan kalau kehujanan jadi basah semua bu. Sari bisa masuk angin atau kena flu.”
“Kamu kan tidak pernah sakit Sari. Lagipula sejak kecil kamu suka hujan.”
“Wah beda dong buu, sekarang kan Sari sudah dewasa, sudah kuliah pula. Kalau sampai sakit karena kehujanan nanti bagaimana ? Bisa-bisa nggak ikut ujian.”
Ibu terdiam. Beliau memang tidak pernah mau menanggapi kalau aku bicara soal kuliah. Akupun memilih diam saja sambil meniup-niup jari kakiku yang lecet dan mengelupas kemerahan.
“Kakimu kenapa ?” tanya ibu akhirnya.
“Lecet bu. Sepatu Sari kan bahannya keras dan kaku, kesempitan lagi. Dibawa lari-lari ya jadinya begini deh,” keluhku agak dilebih-lebihkan supaya ibu tahu penderitaanku. Siapa tahu dibelikan sepatu baru.
“Salah kamu sendiri kenapa harus berlari. Kan sudah ibu bilang hujan itu tidak berbahaya.”