“Disini kan nggak ada kampus yang ada jurusan broadcastingnya Sar,” sahut Andri. “Lagipula… kalau sekarang-sekarang ini…. aku masih belum bisa pergi jauh meninggalkan rumah…”
“Oh.… memangnya kenapa ?” tanyaku mencermati intonasi suaranya yang menurun.
“Eh Sar, lanjut besok lagi yaa,” ujar Andri tiba-tiba. Menyadarkanku bahwa kami sudah sampai di halte.
“Oh... okee, daaah !” sahutku sambil melangkah mendekati barisan angkot yang menuju keluar kota.
Aku duduk meluruskan kaki di dalam angkot sambil memikirkan kalimat terakhir Andri tadi. Apa ya, yang menyebabkan dia tidak bisa pergi jauh dari rumah ? Apa tidak diijinkan oleh ibunya ?
Sayang sekali lokasi tempat tinggal kami berbeda arah. Rumah Andri terletak di komplek perumahan elite di tengah kota. Sedangkan rumahku justru menjauh dari kota. Bahkan naik ke kaki gunung.
Ingatanku kembali ke seminggu yang lalu waktu kami sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Andri. Rumahnya yang besar dan mewah itu hanya dihuni oleh Andri, ibunya, dan seorang asisten rumah tangga. Ibunya yang terlihat agak lemah fisiknya, sangat ramah kepada kami. Padahal dengan kedatangan beberapa orang remaja yang super berisik, rumah yang tadinya sepi dan tenang itu mendadak berubah menjadi ramai seperti kebun binatang. Tetapi beliau sepertinya tidak keberatan. Ia malah ikut bercanda dan tertawa mendengar lelucon kami.
Angkot yang kunaiki sudah berjalan menanjak selama 10 menit. Berarti 5 menit lagi saatnya aku turun. Penumpang di dalam angkot hanya tinggal aku, seorang kakek yang membawa potongan-potongan kayu panjang dan seorang ibu bertampang mengantuk yang membawa sebuah keranjang sayur kosong.