Andri mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu Sar… waktu itu aku masih merasa terpukul sehingga tidak begitu peduli dengan cerita orang-orang. Yang aku rasakan hanya kesedihan yang luar biasa. Pikiranku kacau, karena saat itu aku sedang ujian kelulusan SMU. Masih untung aku bisa lulus….”
Sesaat kami berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ya sudah kita pulang yuk,” ajak Andri kemudian, dengan wajah yang sudah kembali ceria, “Sudah sore nih.”
Aku menggangguk dan beranjak mengikutinya meninggalkan kantin.
“Jadi.… yang kamu bilang nggak bisa pergi jauh dari rumah itu… karena kamu nggak mau meninggalkan ibumu sendirian ya Ndri ?” tanyaku saat kami sedang menyusuri jalan keluar dari kampus seperti biasanya. Andri mengangguk sambil menyeka wajahnya yang berkeringat dengan sehelai tissue.
“Iya. Ibuku sih nggak pernah melarang apapun yang aku cita-citakan. Tapi… aku nggak tega kalau harus meninggalkan ibu sendirian dengan masih terbebani pikiran soal ayah yang belum juga terpecahkan sampai saat ini,” Andri melipat tangannya di dada. Keningnya berkerut.
“Mm… Ndri… maaf ya, aku jadi bikin kamu sedih....” ujarku merasa menyesal telah memulai topik pembicaraan yang tidak menyenangkan. “Mudah-mudahan ibumu nggak sedih terus dan segera ada kabar tentang ayah kamu ya…”
“Iya, nggak apa-apa kok Sar, makasih ya sudah mau mendengarkan ceritaku,” sahut Andri sembari tersenyum.
***