Â
Sejalan dengan tujuan demokrasi bahwa demokrasi memperbesar kebebasan-kebebasan kemanusiaan secara konsisten untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu yang ingin memperoleh suatu kekuasaan diputuskan melalui cara kompetisi untuk meraih suara rakyat[22].
Â
Dari perspektif fatsun politik atau kesopanan, etika dalam berpolitik majunya Gibran dan Bobby dianggap kurang etis karena Jokowi masih sementara menjabat sebagai presiden. Namun jika dilihat dari hak politik, sah-sah saja asal Gibran dan Bobby tidak memanfaatkan fasilitas negara maupun fasilitas yang melekat pada mereka. Karena hal tersebut dapat berdampak buruk apalagi jika sampai melanggar hukum. Dengan maraknya dinasti politik yang dibangun oleh pejabat-pejabat politik, hal ini mengingatkan kita kembali dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2015 pasal 7 huruf r yang seharusnya dapat digunakan kembali sebagai kontrol dalam partisipasi politik di Indonesia, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan orang perorang/kelompok[23]. Dimana  seorang yang memiliki garis keturunan atau hubungan kekerabatan yang ingin ikut serta dalam pemilihan umum harus menunggu satu kali masa periode untuk menghindari akumulasi kekuatan politik yang tidak sehat.
Â
Dinasti politik bila dilihat dari etika politik maka ini tidak sehat karena tidak memberi kesempatan bagi masyarakat lainnya, khususnya masyarakat biasa untuk bisa berada dalam kursi kepemimpinan. Pelanggaran etika politik dalam dinasti politik tidak hanya dilakukan oleh bakal calon pejabat politik, tetapi juga partai politik pun  ikut  karena akumulasi kekuatan politik dianggap memudahkan langkah mendapatkan kursi jika menggunakan kader politik yang memiliki hubungan dengan pejabat yang masih menjabat. Dinasti politik cenderung akan dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan mengeruk uang negara, hal ini bisa kita lihat dalam dinasti Soeharto, dan Ratu Atut  di Banten[24]. Disini ada semacam trauma politik terhadap dampak buruk dari dinasti politik. Tidak heran masyarakat kemudian menjadi muak dan apatis terhadap politik seperti yang digambarkan di atas akibat tingkah laku pemimpin atau stakeholder politik lainnya.
Â
Â
- Proyeksi Kinerja dan Kebijakan
Â
Potensi yang paling besar terjadi dari dinasti politik adalah nepotisme, dimana hal ini menjadi penyakit bagi kekuasaan dan merupakan salah satu bentuk destruktif dari dinasti politik. Manifestasinya dalam bentuk tindakan yang merugikan negara dan menguntungkan kepentingan keluarganya dan kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sedang dalam alam demokrasi semua perilaku politik harusnya menjadi transparan. Semua kejahatan dan keburukan akan terlihat dalam demokrasi termasuk dinasti politik maupun  nepotisme.  Hal  ini  karena  dalam  demokrasi  wajib  ada  transparansi pemerintah, selain itu ada checks and balance sehingga hal itu juga yang melandasi diperkuatnya DPR sebagai lembaga pengawas pemerintah.
Â