Sebenarnya, praktek pergundikan ini sangat dilarang oleh Gereja dan para lelaki Belanda melakukannya diam-diam. Bagaimanapun, kehadiran Nyai lebih menguntungkan dibandingkan dengan mendatangkan istri-istri mereka dari Eropa dan terhindarnya mereka dari penyakit kelamin jika harus membayar jasa pelacur.Â
Nyai adalah objek seksual sang Tuan, sehingga mereka tidak memiliki hak bahkan atas tubuhnya sendiri. Bahkan, jika ia memiliki anak dari sang Tuan, Nyai tidak berhak atas hal asuh sang anak sekalipun sang Tuan meninggal dunia. Parahnya lagi, anak hasil pergundikan ini tidak diakui secara sah oleh hukum Belanda sehingga mereka tidak terdaftar secara sah dan nama ayah mereka di belakang nama mereka ditulis secara terbalik.Â
Status mereka tidak jelas; tidak sebagai Eropa dan tidak juga sebagai pribumi. Hal ini bahkan diceritakan dalam Tetralogi Pula Buru melalui tokoh Panji Darman.Â
Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, seakan Pram hendak menggambarkan kepada kita semua tentang derita para perempuan pribumi dalam sistem feodal dan dalam penjajahan asing. Nyai Ontosoroh adalah contoh perubahan status perempuan merdeka menjadi gundik lelaki penjajah karena dijual orangtuanya sendiri.Â
Nyai Ontosoroh juga dipertemukan dengan beberapa tokoh seperti Panji Darman yang merupakan anak dari seorang Nyai yang berjuang mendapatkan pengakuan dari pengadilan Belanda serta berhak menggunakan nama ayahnya pada nama belakangnya.Â
NYAI ONTOSOROH: CERMIN PERLAWANAN PEREMPUAN JAWA
Ada satu hal menarik dalam Tetralogi Buru ini, bahwa Nyai Ontosoroh dinyatakan sezaman dengan Kartini yang diceritakan sebagai sosok gadis cerdas di Jepara yang sangat ingin Minke temui. Sebagai lelaki muda dari kalangan ningrat yang melawan adat istiadatnya sendiri, Minke terkagum-kagum pada sosok Nyai Ontosoroh dan Kartini si gadis cerdas dari Jepara.Â
"Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekerja keras memahami wanita luar biasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain: dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dan segala apa yang ia bicarakan."
Di kala sebagian besar perempuan tunduk pada lelaki yang menjadi pemiliknya, entah sebagai suami, ayah atau tuan si perempuan, Â kehadiran Nyai Ontosoroh dalam kehidupan Minke memberinya harapan pada rasa putus asa atas ketertinggalan saudara sebangsanya si orang Jawa dibandingkan orang Eropa di penjajah.Â
Pertama, relasi kuasa ayah vs anak perempuan (Sastrotomo vs Sanikem). Bahwa Sanikem muda yang dijual ayahnya melawan kehinaan yang ditimpakan atasnya dengan memutuskan hubungan dengan keluarganya secara total. Ia menjadikan nasibnya sebagai gundik tuan Herman Mellema sebagai langkah baru dalam menjalani hidupnya yang berbeda dari perempuan Jawa kebanyakan.Â
"Aku harus buktikan kepada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, Aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, meskipun hanya sebagai Nyai. Sekarang Sanikem sudah mati, yang ada hanyalah Nyai Ontosoroh."