Ya, relasi kuasa antara penjajah dan jajahan memang menyedihkan. Meskipun kita berjuang sebagai untuk menjadi manusia bebas, terutama bebas berpihak pada kebenaran dan keadilan, kekuatan subyektif sang penjajah sungguh sulit dilawan.Â
Kali ini, marilah kita membahas secara khusus tentang si Jantung Hati dari karya besar Pramoedya Ananta Toer (dan semoga Pram damai dalam istirahat panjangnya).Â
SANIKEM: MENGUBAH DERITA JADI SENJATAÂ
Diceritakan bahwa perempuan ini bernama asli Sanikem. Ayahnya adalah bernama Sastrotomo, seorang priyayi Jawa yang bekerja sebagai juru tulis di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam usahanya menjadi juru bayar, tentu saja agar kedudukan sosial dan ekonominya meningkat, Sastrotomo menyuap seorang hartawan Belanda bernama Herman Mellema dengan menjual puterinya sendiri yang bernama Sanikem seharga 25 gulden. Saat itu Sanikem berusia 14 tahun.Â
Ia tak mampu melawan kuasa sang ayah maupun tuan Herman Mellema untuk menolak dijual. Bahkan, meski sang ibu menangis hebat, nasibnya tidak berubah. Ia telah menjadi barang jualan ayahnya sendiri demi sebuah jabatan di perusahaan gula. Kegilaan dang ayah dan uang 25 gulden telah merenggut hidupnya, menceburkannya ke dalam dunia pergundikan.Â
Herman Mellena membawa Sanikem ke rumahnya di Wonokromo. Meski ia terpaut usia lumayan jauh dengan Sanikem, nampaknya lelaki Belanda tersebut sangat menyayangi gadis muda itu. Dalam "Bumi Manusia" Nyai Ontosoroh mengaku bahwa saat ia datang ke istana Tuan Herman Mellena di Perusahaan Pertanian Buitenzorg, sang Tuan sangat menyayanginya dan menimang tubuh mungilnya bagai boneka.Â
Sang Tuan juga mengajarinya tentang kebersihan tubuh ala orang Eropa dan mulai mengajarinya membaca, berhitung, serta berbahasa Belanda dan Melayu. Sanikem muda mulai belajar banyak hal, dan yeah tentu saja melayani Herman Mellema dalam urusan ranjang sebab untuk tujuan itulah sang tuan membelinya dari Sastrotomo. Sebagai Nyai dan milik Herman Mellema, ia melahirkan dua anak, sepasang lelaki dan perempuan yaitu Robert Mellema dan Annelies Mellema.Â
Sebagai seorang Nyai yang martabatnya rendah di mata masyarakat, Sanikem menyadari betul bahwa ia tak bisa menggantungkan nasib pada siapapun, termasuk sang tuan. Maka, ia menjadikan hari-harinya untuk belajar banyak hal kepada Herman Mellema terutama dalam membantunya mengurus perusahaan dengan lahan pertanian yang luas dan ternak sapi yang banyak jumlahnya, dan pabrik susunya.Â
Ia kemudian fasih berbahasa Belanda dan Melayu, serta piawai dalam urusan perkantoran seperti pembukuan, marketing, administrasi dan surat menyurat. Ia juga dididik untuk menjalani berbagai tata krama ala perempuan Barat dalam hal menata rumah, memasak, hingga berperilaku dengan etika kesopanan ala Eropa.Â
Sanikem si perempuan Jawa yang lugu telah lenyap seiring waktu. Perempuan muda itu menjadi sosok lain yaitu Nyai Ontosoroh. Perempuan berpengetahuan dan berwawasan luas daripada perempuan kebanyakan kala itu.Â
Ia bahkan melatih Annelies untuk mempelajari apa yang dipelajarinya dan menjadikan puterinya sebagai asistennya dalam menjalankan usahanya. Di tangannya, Perusahaan Buitenzorg berkembang pesat. Perusahaan itu telah dalam kendali Nyai Ontosoroh dan tidak mengalami kemunduran sedikitpun meskipun Herman Mellema mulai menunjukkan sifat hilang akal yang dalam buku diceritakan karena dicekoki alkohol plus racun dan pelacur di sebuah lokalisasi milik seorang Tionghoa.Â