Pada masa awal kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia masih dalam tahap pembentukan. Pemerintah memprioritaskan pemerataan akses pendidikan dan mengutamakan nilai-nilai karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila. Saat itu, penilaian kelulusan lebih bersifat lokal dan dilaksanakan oleh masing-masing sekolah melalui Ujian Sekolah. Ujian ini bertujuan untuk mengukur pencapaian siswa dalam memahami pelajaran, namun tidak memiliki standar nasional.
Pada era 1950-an hingga 1970-an, pemerintah memperkenalkan Ujian Negara untuk jenjang pendidikan tertentu sebagai upaya untuk menetapkan standar kelulusan. Namun, hasil dari ujian ini hanya digunakan sebagai tambahan penilaian dan belum memiliki peran menentukan kelulusan siswa. Pada masa ini, pendidikan masih fokus pada upaya membentuk karakter bangsa yang berbudi pekerti, gotong royong, dan cinta tanah air, sesuai dengan amanat dasar negara.
Era Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) - 1980 hingga 2002
Pada tahun 1980, pemerintah mulai memperkenalkan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) sebagai langkah untuk menstandarkan evaluasi pendidikan secara nasional. EBTANAS bertujuan untuk mengukur pencapaian siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem ini menjadi tonggak pertama dalam upaya pemerintah menyelaraskan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Meski EBTANAS berfungsi sebagai alat evaluasi nasional, hasilnya masih belum digunakan sebagai penentu kelulusan, melainkan hanya untuk memberikan gambaran kualitas pendidikan antar-daerah.
Pada masa ini, kritik mulai muncul terkait sistem penilaian yang dinilai belum mencakup karakter bangsa secara menyeluruh. Beberapa pakar pendidikan dalam negeri menyoroti pentingnya evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tetapi juga mencakup pembentukan karakter siswa. Menurut mereka, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem pendidikan yang seimbang antara akademik dan nilai-nilai budaya bangsa.
Peralihan ke Ujian Nasional (UN) - 2003 hingga 2009
Di tahun 2003, pemerintah memperkenalkan Ujian Nasional (UN) sebagai pengganti EBTANAS. Pengesahan UN didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan harus memiliki standar nasional yang berfungsi sebagai pengukur mutu pendidikan. Pasal 35 dalam undang-undang ini menggarisbawahi pentingnya Standar Nasional Pendidikan, yang mencakup standar kompetensi lulusan.
Pada tahap awal pelaksanaannya, UN mulai menjadi syarat kelulusan bagi siswa. Pemerintah menetapkan nilai ambang batas yang harus dipenuhi oleh siswa untuk dapat lulus. Kebijakan ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya standar minimal yang harus dicapai akan mendorong peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
Namun, kebijakan ini mendapat banyak kritik. Pakar pendidikan dalam negeri, seperti Arief Rachman, berpendapat bahwa UN terlalu berorientasi pada hasil akademik dan cenderung mengabaikan aspek karakter. Para pengkritik menilai bahwa karakter bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial tidak bisa hanya diukur melalui ujian akademik. Di luar negeri, tokoh seperti Alfie Kohn juga mengkritik ujian nasional yang berorientasi pada hasil karena dapat menekan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Perubahan Sistem Ujian Nasional (UN) - 2010 hingga 2014
Antara tahun 2010 hingga 2014, Ujian Nasional mengalami beberapa perubahan dalam mekanisme pelaksanaan dan kebijakan penentuan kelulusan. Nilai rata-rata ujian sekolah mulai ditambahkan sebagai faktor kelulusan agar siswa tidak hanya bergantung pada nilai UN. Selain itu, penurunan ambang batas kelulusan dilakukan untuk merespons kritik bahwa UN terlalu membebani siswa.
Pada periode ini, pemerintah mulai memperkenalkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) sebagai langkah untuk meningkatkan akurasi dan akuntabilitas pelaksanaan UN. UNBK diharapkan dapat meminimalkan kecurangan, memperbaiki manajemen ujian, dan mengurangi disparitas pendidikan di antara berbagai wilayah.
Revisi UN dan Fokus pada Pendidikan Karakter - 2015 hingga 2019
Di tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkenalkan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai pendamping UN. Pendidikan Karakter ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai seperti gotong royong, integritas, dan nasionalisme yang menjadi ciri karakter bangsa Indonesia. Meski demikian, pengukuran karakter ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem evaluasi UN, sehingga tetap ada ketimpangan antara penilaian akademik dan karakter.
Selama periode ini, kritik terhadap UN yang berbasis nilai ujian masih berlangsung. Para pakar seperti Diane Ravitch dari Amerika Serikat menekankan bahwa pendidikan karakter dan kemampuan berpikir kritis seharusnya lebih diutamakan dalam sistem penilaian. Ravitch menggarisbawahi bahwa ujian berbasis standar seringkali tidak dapat menggambarkan kemampuan siswa secara menyeluruh, terutama aspek karakter yang tidak terukur oleh ujian akademik.