Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Ujian Nasional, Benarkah?

3 November 2024   14:45 Diperbarui: 3 November 2024   15:39 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ASMI Desanta

Pendahuluan

Ujian Nasional (UN) telah menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia sejak lama, dengan tujuan utama untuk mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional serta menjadi alat evaluasi yang dapat menentukan standar kompetensi lulusan. Kebijakan ini telah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, dan berbagai peraturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Menurut UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (5), pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, serta mengutamakan peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan mutu pendidikan harus sesuai dengan karakter bangsa yang menjunjung nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan budaya. Dalam konteks ini, penerapan Ujian Nasional telah menimbulkan pro dan kontra mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Banyak pakar pendidikan, memiliki pandangan yang beragam tentang efektivitas Ujian Nasional dalam peningkatan mutu pendidikan. Secara umum, ada beberapa pandangan utama yang dapat dijelaskan:

  • Pandangan Pakar Pendidikan dalam Negeri Beberapa pakar pendidikan Indonesia, seperti Anies Baswedan dan Arief Rachman, berpendapat bahwa UN sebagai alat evaluasi memang memiliki peran penting dalam pengukuran mutu pendidikan. Namun, mereka juga menyoroti bahwa orientasi UN yang berfokus pada hasil tes dapat menggeser esensi pendidikan itu sendiri. Mereka mengkhawatirkan bahwa UN mendorong siswa dan guru untuk mengutamakan penguasaan materi yang diujikan dibandingkan dengan pemahaman yang komprehensif dan pengembangan karakter. Pakar lain, seperti Muhadjir Effendy, mengemukakan bahwa UN bisa menjadi alat untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional, tetapi penerapannya harus mempertimbangkan aspek-aspek karakter bangsa, seperti kejujuran, kerja keras, dan nilai-nilai sosial budaya. Mereka berpendapat bahwa karakter bangsa Indonesia perlu menjadi landasan utama dalam perumusan kebijakan pendidikan, termasuk UN.
  • Pandangan Pakar Pendidikan Luar Negeri Secara global, beberapa pakar pendidikan, seperti Alfie Kohn dan Diane Ravitch, menentang standar ujian nasional yang serupa dengan UN di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa sistem ujian nasional dapat menurunkan kualitas pembelajaran karena memicu siswa dan guru untuk berfokus pada 'teaching to the test,' yang pada akhirnya menghambat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Menurut Kohn, tes berbasis standar yang ketat sering kali tidak memberikan gambaran lengkap tentang kemampuan seorang siswa, terutama dalam hal keterampilan sosial dan emosional yang juga penting dalam pendidikan karakter. Di sisi lain, beberapa negara seperti Jepang dan Finlandia lebih menekankan pada pembelajaran yang terfokus pada proses daripada hasil. Di Finlandia, misalnya, siswa tidak dihadapkan pada ujian nasional selama pendidikan dasar mereka; alih-alih, pemerintah mengandalkan evaluasi berkelanjutan yang lebih menitikberatkan pada proses dan perkembangan karakter siswa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 35 menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri dari delapan komponen, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian pendidikan. Pada peraturan ini, Ujian Nasional masuk ke dalam kategori standar penilaian pendidikan. Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Ujian Nasional dikukuhkan sebagai alat evaluasi yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menggantikan UN dengan Asesmen Nasional (AN) sebagai upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem evaluasi yang lebih komprehensif. AN tidak hanya menilai hasil belajar siswa tetapi juga mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan sistem evaluasi yang lebih selaras dengan karakter bangsa Indonesia dan nilai-nilai Pancasila.

Karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, keadilan, dan kebersamaan tidak sepenuhnya terakomodasi dalam sistem penilaian berbasis UN yang berorientasi pada hasil tes. Pendekatan UN yang terstandarisasi dan berbasis kompetisi sering kali mengesampingkan potensi siswa dalam aspek non-akademis, seperti kreativitas, keterampilan sosial, dan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan pendidikan antara siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi dan mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat di bidang lain yang tidak diukur dalam UN.

Perubahan ke sistem Asesmen Nasional merupakan langkah untuk lebih menghargai potensi siswa secara menyeluruh, dan tidak hanya berfokus pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Dengan demikian, evaluasi pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih sesuai dengan karakter bangsa yang menghargai keberagaman, kerjasama, dan pembangunan karakter sejak usia dini.

Peningkatan mutu pendidikan melalui Ujian Nasional masih menjadi perdebatan. Meski UN bertujuan untuk menjaga standar kualitas pendidikan nasional, efektivitasnya dalam membentuk karakter bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila masih dipertanyakan. Dengan adanya perubahan menuju Asesmen Nasional yang lebih komprehensif, diharapkan evaluasi pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih holistik, mencakup tidak hanya aspek akademik tetapi juga aspek karakter dan nilai-nilai sosial.

Sejarah Pelaksanaan Ujian Nasional dan/atau Asesmen Nasional 

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sistem pendidikan nasional mengalami banyak perubahan seiring dengan upaya pemerintah untuk menciptakan evaluasi yang mampu meningkatkan mutu pendidikan dan membangun karakter bangsa. Sistem evaluasi pendidikan yang sekarang dikenal sebagai Ujian Nasional (UN) atau Asesmen Nasional (AN) berkembang dari waktu ke waktu, menyesuaikan kebutuhan dan tantangan pendidikan nasional yang berdasarkan pada dasar-dasar hukum seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Berikut ini adalah uraian tentang sejarah pelaksanaan ujian nasional di Indonesia mulai dari masa awal kemerdekaan hingga era Asesmen Nasional saat ini.

Masa Awal Kemerdekaan: Ujian Sekolah di Era 1950-an hingga 1970-an

Pada masa awal kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia masih dalam tahap pembentukan. Pemerintah memprioritaskan pemerataan akses pendidikan dan mengutamakan nilai-nilai karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila. Saat itu, penilaian kelulusan lebih bersifat lokal dan dilaksanakan oleh masing-masing sekolah melalui Ujian Sekolah. Ujian ini bertujuan untuk mengukur pencapaian siswa dalam memahami pelajaran, namun tidak memiliki standar nasional.

Pada era 1950-an hingga 1970-an, pemerintah memperkenalkan Ujian Negara untuk jenjang pendidikan tertentu sebagai upaya untuk menetapkan standar kelulusan. Namun, hasil dari ujian ini hanya digunakan sebagai tambahan penilaian dan belum memiliki peran menentukan kelulusan siswa. Pada masa ini, pendidikan masih fokus pada upaya membentuk karakter bangsa yang berbudi pekerti, gotong royong, dan cinta tanah air, sesuai dengan amanat dasar negara.

Era Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) - 1980 hingga 2002

Pada tahun 1980, pemerintah mulai memperkenalkan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) sebagai langkah untuk menstandarkan evaluasi pendidikan secara nasional. EBTANAS bertujuan untuk mengukur pencapaian siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem ini menjadi tonggak pertama dalam upaya pemerintah menyelaraskan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Meski EBTANAS berfungsi sebagai alat evaluasi nasional, hasilnya masih belum digunakan sebagai penentu kelulusan, melainkan hanya untuk memberikan gambaran kualitas pendidikan antar-daerah.

Pada masa ini, kritik mulai muncul terkait sistem penilaian yang dinilai belum mencakup karakter bangsa secara menyeluruh. Beberapa pakar pendidikan dalam negeri menyoroti pentingnya evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tetapi juga mencakup pembentukan karakter siswa. Menurut mereka, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem pendidikan yang seimbang antara akademik dan nilai-nilai budaya bangsa.

Peralihan ke Ujian Nasional (UN) - 2003 hingga 2009

Di tahun 2003, pemerintah memperkenalkan Ujian Nasional (UN) sebagai pengganti EBTANAS. Pengesahan UN didukung oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan harus memiliki standar nasional yang berfungsi sebagai pengukur mutu pendidikan. Pasal 35 dalam undang-undang ini menggarisbawahi pentingnya Standar Nasional Pendidikan, yang mencakup standar kompetensi lulusan.

Pada tahap awal pelaksanaannya, UN mulai menjadi syarat kelulusan bagi siswa. Pemerintah menetapkan nilai ambang batas yang harus dipenuhi oleh siswa untuk dapat lulus. Kebijakan ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya standar minimal yang harus dicapai akan mendorong peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia.

Namun, kebijakan ini mendapat banyak kritik. Pakar pendidikan dalam negeri, seperti Arief Rachman, berpendapat bahwa UN terlalu berorientasi pada hasil akademik dan cenderung mengabaikan aspek karakter. Para pengkritik menilai bahwa karakter bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial tidak bisa hanya diukur melalui ujian akademik. Di luar negeri, tokoh seperti Alfie Kohn juga mengkritik ujian nasional yang berorientasi pada hasil karena dapat menekan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa.

Perubahan Sistem Ujian Nasional (UN) - 2010 hingga 2014

Antara tahun 2010 hingga 2014, Ujian Nasional mengalami beberapa perubahan dalam mekanisme pelaksanaan dan kebijakan penentuan kelulusan. Nilai rata-rata ujian sekolah mulai ditambahkan sebagai faktor kelulusan agar siswa tidak hanya bergantung pada nilai UN. Selain itu, penurunan ambang batas kelulusan dilakukan untuk merespons kritik bahwa UN terlalu membebani siswa.

Pada periode ini, pemerintah mulai memperkenalkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) sebagai langkah untuk meningkatkan akurasi dan akuntabilitas pelaksanaan UN. UNBK diharapkan dapat meminimalkan kecurangan, memperbaiki manajemen ujian, dan mengurangi disparitas pendidikan di antara berbagai wilayah.

Revisi UN dan Fokus pada Pendidikan Karakter - 2015 hingga 2019

Di tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkenalkan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai pendamping UN. Pendidikan Karakter ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai seperti gotong royong, integritas, dan nasionalisme yang menjadi ciri karakter bangsa Indonesia. Meski demikian, pengukuran karakter ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem evaluasi UN, sehingga tetap ada ketimpangan antara penilaian akademik dan karakter.

Selama periode ini, kritik terhadap UN yang berbasis nilai ujian masih berlangsung. Para pakar seperti Diane Ravitch dari Amerika Serikat menekankan bahwa pendidikan karakter dan kemampuan berpikir kritis seharusnya lebih diutamakan dalam sistem penilaian. Ravitch menggarisbawahi bahwa ujian berbasis standar seringkali tidak dapat menggambarkan kemampuan siswa secara menyeluruh, terutama aspek karakter yang tidak terukur oleh ujian akademik.

Penggantian Ujian Nasional dengan Asesmen Nasional - 2020 hingga Sekarang

Pada akhir 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengumumkan rencana untuk menggantikan Ujian Nasional dengan Asesmen Nasional (AN), yang mulai dilaksanakan pada tahun 2021. Kebijakan ini didasarkan pada kajian mengenai efektivitas UN dalam meningkatkan mutu pendidikan yang komprehensif serta kritik dari pakar pendidikan dalam dan luar negeri.

Asesmen Nasional terdiri dari tiga komponen utama:

  • Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): Mengukur kemampuan dasar siswa dalam literasi dan numerasi yang dianggap sebagai keterampilan fundamental.
  • Survei Karakter: Mengukur sikap, nilai, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia.
  • Survei Lingkungan Belajar: Mengidentifikasi kondisi lingkungan belajar yang mempengaruhi perkembangan karakter dan kompetensi siswa.

Asesmen Nasional ini dinilai lebih sesuai dengan karakter bangsa karena mencakup penilaian kemampuan akademik dasar serta aspek karakter dan kondisi lingkungan belajar siswa. Dengan demikian, AN diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai kemampuan dan kebutuhan siswa.

Perubahan dari UN ke AN diatur dalam beberapa peraturan penting, termasuk:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menyatakan bahwa standar penilaian pendidikan tidak hanya berfokus pada hasil akademik, tetapi juga mencakup aspek-aspek lain yang mendukung pembentukan karakter siswa.
  • Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 62 Tahun 2021 yang mengatur mengenai pelaksanaan Asesmen Nasional.

Sejarah pelaksanaan ujian nasional di Indonesia mencerminkan perkembangan sistem evaluasi pendidikan yang berupaya untuk tidak hanya mengukur kompetensi akademik, tetapi juga membentuk karakter siswa yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dari masa EBTANAS, Ujian Nasional berbasis komputer, hingga Asesmen Nasional, upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan semakin komprehensif dengan memasukkan penilaian karakter dan lingkungan belajar siswa.

Dengan adanya Asesmen Nasional, diharapkan sistem evaluasi pendidikan Indonesia dapat lebih mencerminkan karakter bangsa, yaitu gotong royong, kebhinekaan, dan akhlak mulia. AN merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pendidikan Indonesia tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter siswa yang tangguh, kompeten, dan berbudi pekerti luhur, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

UN Dipandang Dari Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional

Ujian Nasional (UN) di Indonesia sejak awal pelaksanaannya telah diposisikan sebagai salah satu instrumen evaluasi pendidikan yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Namun, efektivitas UN dalam mencapai tujuan pendidikan nasional yang holistik terus diperdebatkan oleh para ahli pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri. Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta berbagai peraturan pemerintah dan peraturan menteri pendidikan kebudayaan riset dan teknologi menggariskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter bangsa Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Berikut ini adalah pembahasan tentang bagaimana Ujian Nasional dipandang dari segi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dan pandangan dari berbagai pakar pendidikan.

Fungsi Ujian Nasional sebagai Alat Evaluasi Pendidikan Nasional

Pada dasarnya, Ujian Nasional diperkenalkan sebagai alat untuk mengevaluasi mutu pendidikan di seluruh wilayah Indonesia secara terstandarisasi. Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 35, Standar Nasional Pendidikan terdiri dari berbagai komponen, termasuk standar penilaian yang diharapkan mampu menjamin mutu pendidikan secara nasional. Ujian Nasional pada dasarnya menjadi salah satu bentuk implementasi dari standar penilaian tersebut, bertujuan mengukur ketercapaian kompetensi peserta didik pada mata pelajaran tertentu di tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Menurut teori pendidikan, evaluasi pendidikan adalah bagian penting dalam memastikan sistem pendidikan dapat memenuhi tujuan utamanya. Pakar pendidikan seperti Benjamin Bloom berpendapat bahwa evaluasi berfungsi untuk memberikan umpan balik dalam pembelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam konteks UN, pemerintah menggunakan hasil ujian sebagai alat diagnostik untuk mengetahui kekurangan dalam proses pembelajaran, baik secara individu, sekolah, maupun daerah.

Namun, beberapa pakar pendidikan di Indonesia mengkritik UN sebagai alat evaluasi karena dianggap terlalu berfokus pada aspek kognitif, sementara fungsi pendidikan nasional mencakup aspek yang lebih luas, seperti pembentukan akhlak dan pengembangan karakter bangsa. Arief Rachman, seorang pakar pendidikan nasional, menekankan bahwa evaluasi pendidikan di Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan hasil ujian tertulis, melainkan harus mempertimbangkan aspek-aspek karakter yang merupakan bagian penting dari tujuan pendidikan nasional.

UN dalam Tujuan Pendidikan Nasional: Mewujudkan Pendidikan yang Holistik dan Berkarakter

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 Ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Tujuan ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, para ahli pendidikan, baik di dalam negeri maupun internasional, menggarisbawahi pentingnya evaluasi yang seimbang antara kompetensi akademik dan karakter. Di Finlandia, misalnya, sistem pendidikan lebih menekankan pada pengembangan keterampilan hidup dan karakter peserta didik daripada sekadar hasil ujian tertulis. Pakar pendidikan internasional seperti Alfie Kohn juga mengkritik ujian nasional yang berfokus pada hasil, karena dinilai dapat menekan kreativitas siswa dan menimbulkan tekanan psikologis yang tidak perlu.

Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan Ujian Nasional seringkali menuai kritik karena dianggap tidak mencerminkan sepenuhnya karakter bangsa yang kaya akan nilai-nilai Pancasila. Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan di Indonesia, menyatakan bahwa pelaksanaan UN yang berfokus pada nilai akademik bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang holistik. Menurutnya, pendidikan harus menekankan pada karakter, moral, dan kepribadian peserta didik sebagai warga negara yang berakhlak mulia.

Peran Ujian Nasional dalam Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan

UN juga dipandang sebagai alat untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Melalui UN, pemerintah dapat mengukur sejauh mana efektivitas pengajaran dan keberhasilan sistem pendidikan di Indonesia dalam memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Data hasil UN digunakan sebagai acuan untuk perbaikan kurikulum, penyusunan program pendidikan, dan pengalokasian anggaran pendidikan di berbagai daerah.

Namun, pada sisi lain, banyak pakar yang berpendapat bahwa peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak hanya diukur dari hasil ujian akademik, tetapi juga dari kualitas pendidikan yang berfokus pada proses dan pengalaman belajar. Di Finlandia, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, mutu pendidikan diukur dari seberapa jauh proses pendidikan dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang kritis, kreatif, dan berkarakter. Sistem pendidikan Finlandia lebih mengutamakan evaluasi formatif (berkelanjutan) yang berfokus pada proses, bukan hanya hasil ujian.

Di Indonesia, UN selama bertahun-tahun menjadi alat evaluasi utama yang menentukan kelulusan siswa, dan hal ini seringkali menimbulkan tekanan yang besar bagi siswa, guru, dan orang tua. Sebagai respons terhadap kritik ini, mulai tahun 2021 pemerintah mengganti UN dengan Asesmen Nasional (AN) yang mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN dirancang untuk tidak hanya mengukur kompetensi akademik dasar (literasi dan numerasi), tetapi juga aspek karakter dan kondisi lingkungan belajar yang mendukung perkembangan peserta didik.

Ujian Nasional dalam Perspektif Pembentukan Karakter Bangsa

Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, pendidikan di Indonesia bertujuan untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berbudi pekerti luhur. Karakter bangsa yang diharapkan oleh pendidikan nasional Indonesia adalah individu yang memiliki nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan kejujuran.

Beberapa pakar pendidikan, seperti Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana untuk "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya." Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan harus menyentuh seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk karakter, nilai, dan sikap.

Perubahan dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional: Menyelaraskan dengan Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional

Perubahan dari UN ke AN mencerminkan upaya pemerintah untuk menyelaraskan sistem evaluasi pendidikan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang holistik. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 62 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional, evaluasi pendidikan nasional tidak lagi hanya berfokus pada hasil akademik, tetapi juga mencakup pengukuran karakter dan lingkungan belajar. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) pada AN berfokus pada kemampuan literasi dan numerasi yang dianggap sebagai keterampilan dasar yang diperlukan untuk pembelajaran sepanjang hayat. Sementara itu, Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang nilai-nilai karakter siswa serta kondisi lingkungan yang mendukung atau menghambat pembentukan karakter tersebut.

Pandangan para ahli pendidikan menunjukkan bahwa pendekatan AN ini lebih sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan dasar yang mendukung pembelajaran jangka panjang. Menurut Diane Ravitch, seorang pakar pendidikan di Amerika Serikat, pendekatan evaluasi yang memperhatikan aspek karakter dan lingkungan belajar lebih mampu menggambarkan kualitas pendidikan yang sebenarnya.

Ujian Nasional, dalam perjalanannya sebagai bagian dari sistem evaluasi pendidikan nasional, telah memainkan peran yang penting dalam mengukur dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, fokusnya yang semata-mata pada aspek akademik mendapat banyak kritik karena tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang lebih luas, yaitu menciptakan individu yang berakhlak mulia dan berkarakter. Melalui perubahan ke Asesmen Nasional, pemerintah berupaya memperbaiki sistem evaluasi dengan mengintegrasikan aspek karakter dan lingkungan belajar, sehingga lebih sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional Indonesia.

Asesmen Nasional yang menekankan pada kompetensi dasar, pembentukan karakter, dan evaluasi lingkungan belajar mencerminkan upaya pemerintah untuk melaksanakan pendidikan nasional yang holistik, sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Ini diharapkan dapat mencetak generasi Indonesia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki nilai-nilai Pancasila, sehingga mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab, kreatif, dan memiliki akhlak mulia.

Ujian Nasional Dipandang Dari Upaya Mendorong Terwujudnya Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan

Pendidikan di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta berwawasan kebangsaan. Pendidikan nasional bertujuan tidak hanya untuk transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai proses pembudayaan yang membentuk karakter dan jati diri bangsa. Dalam perspektif ini, Ujian Nasional (UN) pada awalnya diterapkan sebagai sarana evaluasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan, sehingga dapat berperan dalam proses pembudayaan yang mencakup pemahaman nilai-nilai luhur bangsa.

Namun, seiring waktu, UN mendapat kritik karena dianggap terlalu fokus pada aspek kognitif, sehingga berpotensi melupakan dimensi pembudayaan yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional. Dalam pandangan para pakar pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, proses pembudayaan tidak bisa hanya diukur melalui ujian tertulis semata, melainkan harus melalui pendekatan yang lebih holistik, yang mencakup aspek karakter, nilai-nilai sosial, serta sikap dan keterampilan yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Berikut ini adalah analisis menyeluruh mengenai Ujian Nasional dan hubungannya dengan upaya mendorong terwujudnya pendidikan sebagai proses pembudayaan yang selaras dengan karakter bangsa Indonesia.

Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan dalam Perspektif Pendidikan Nasional

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini menempatkan pendidikan sebagai proses pembudayaan, yaitu sebuah proses di mana nilai-nilai, tradisi, dan etika bangsa ditanamkan dan ditransformasikan kepada peserta didik sebagai bagian dari upaya menciptakan generasi yang berkarakter dan berbudaya.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menggagas bahwa pendidikan sejati bukan hanya bertujuan untuk mencerdaskan, tetapi juga menuntun segala potensi manusia ke arah kebudayaan yang luhur dan selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal bangsa. Dengan demikian, pendidikan nasional seharusnya mengandung aspek-aspek yang lebih luas, bukan hanya mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kebudayaan Indonesia seperti gotong royong, toleransi, dan kemandirian.

Dalam konteks UN sebagai bagian dari sistem pendidikan, tujuan utama awalnya adalah untuk mengukur capaian akademik siswa secara nasional. Namun, ketika proses pembudayaan dan pembentukan karakter dianggap lebih kompleks daripada sekadar prestasi akademik, UN mulai dikritik karena tidak mampu mencakup dimensi tersebut secara komprehensif.

Pandangan Pakar Pendidikan tentang UN dan Pembudayaan

Banyak pakar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, menyoroti bahwa proses pembudayaan membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekadar hasil akademik. John Dewey, seorang filsuf dan pakar pendidikan asal Amerika Serikat, menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya untuk transfer pengetahuan, tetapi sebagai sebuah "social process" atau proses sosial, di mana nilai-nilai sosial dan karakter dikembangkan melalui interaksi dan pengalaman belajar yang bermakna. Dalam sistem evaluasi yang terlalu menekankan pada ujian tertulis seperti UN, aspek pembudayaan ini sering kali terabaikan.

Di Indonesia, pandangan serupa dikemukakan oleh Arief Rachman, seorang pengamat pendidikan nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan harus lebih dari sekadar pencapaian akademik. Ia menyoroti bahwa UN yang hanya mengukur aspek kognitif seperti matematika, sains, dan bahasa kurang mencerminkan proses pembudayaan yang diharapkan. Dalam proses pembudayaan, aspek-aspek seperti pendidikan karakter, keterampilan hidup, dan sikap sosial harus menjadi fokus utama.

Upaya Pemerintah dalam Menyesuaikan Evaluasi dengan Tujuan Pembudayaan

Menanggapi kritik tersebut, pemerintah Indonesia mulai mengubah arah kebijakan evaluasi pendidikan nasional. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional (AN), evaluasi pendidikan di Indonesia difokuskan pada tiga komponen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN dirancang untuk menggantikan UN dan bertujuan untuk mengukur aspek akademik (melalui literasi dan numerasi) serta aspek karakter dan lingkungan belajar yang mendukung proses pembelajaran secara keseluruhan.

AN bertujuan untuk memastikan bahwa sistem evaluasi pendidikan nasional sejalan dengan proses pembudayaan yang lebih komprehensif, dengan tidak hanya mengukur hasil belajar kognitif tetapi juga memperhatikan kondisi lingkungan belajar dan karakter siswa. Survei Karakter, misalnya, mengukur aspek-aspek seperti nilai-nilai toleransi, integritas, dan kemandirian yang merupakan bagian penting dari proses pembudayaan di sekolah.

UN dalam Kerangka Pembangunan Karakter dan Nilai-Nilai Kebangsaan

Salah satu kritik utama terhadap UN adalah bahwa pendekatannya yang berfokus pada hasil tertulis dan kompetensi akademik kurang mencerminkan pendidikan sebagai proses pembudayaan yang berakar pada nilai-nilai bangsa Indonesia. Dalam tradisi budaya Indonesia, nilai-nilai seperti gotong royong, sopan santun, dan penghargaan terhadap kebhinekaan merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan diharapkan terinternalisasi dalam pendidikan.

Prof. Suyanto, pakar pendidikan di Indonesia, menjelaskan bahwa UN yang hanya mengukur hasil akademik tidak cukup mencerminkan kompleksitas pendidikan dalam rangka pembudayaan karakter bangsa. Dalam konteks ini, pembentukan karakter melalui pendidikan harus diutamakan, mengingat pendidikan karakter adalah bagian dari tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai contoh, negara-negara maju seperti Jepang dan Finlandia memiliki sistem pendidikan yang menekankan pendidikan karakter sebagai bagian dari evaluasi pendidikan. Di Finlandia, evaluasi akademik tidak menjadi satu-satunya fokus, melainkan mereka juga menilai bagaimana peserta didik berinteraksi dan mengembangkan sikap sosial, sehingga memungkinkan proses pembudayaan yang holistik.

Evaluasi Ujian Nasional dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Karakter

Pelaksanaan UN dalam jangka waktu yang panjang sering kali menyebabkan tekanan yang cukup besar bagi siswa, guru, dan sekolah, sehingga memengaruhi esensi pembelajaran itu sendiri. Tekanan untuk meraih nilai tinggi dalam UN membuat banyak sekolah dan siswa berfokus pada strategi menghafal dan drilling soal, sehingga mengesampingkan pembelajaran yang bermakna dan pendidikan karakter. Hal ini berisiko mengaburkan tujuan pendidikan sebagai proses pembudayaan yang menanamkan nilai-nilai luhur bangsa.

Dengan diperkenalkannya Asesmen Nasional, pemerintah berharap evaluasi pendidikan dapat menjadi alat untuk mendukung proses pembudayaan yang lebih utuh. AN, melalui Survei Karakter, memberikan gambaran tentang bagaimana karakter siswa berkembang selama proses pembelajaran, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai keberhasilan pendidikan sebagai proses pembudayaan.

Dalam pandangan para pakar pendidikan, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus mencakup seluruh aspek pengembangan manusia, termasuk karakter, sikap sosial, dan keterampilan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Ujian Nasional sebagai sistem evaluasi pendidikan selama ini cenderung fokus pada aspek kognitif dan hasil akademik, sehingga kurang mencerminkan proses pembudayaan yang diharapkan dalam pendidikan nasional.

Perubahan dari UN ke AN adalah langkah penting yang dilakukan pemerintah untuk menyesuaikan sistem evaluasi dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pembudayaan dan pembentukan karakter. Melalui Asesmen Nasional, diharapkan evaluasi pendidikan dapat lebih holistik, mencakup tidak hanya kompetensi akademik tetapi juga karakter dan kondisi lingkungan belajar yang mendukung perkembangan siswa sebagai warga negara yang berbudaya dan berkarakter.

Dengan demikian, Asesmen Nasional diharapkan mampu menjadi alat yang lebih efektif dalam mendorong pendidikan sebagai proses pembudayaan, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Evaluasi pendidikan tidak lagi hanya tentang pencapaian akademik, tetapi lebih sebagai cara untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga berakhlak mulia, memiliki semangat kebangsaan, dan siap berkontribusi dalam masyarakat sebagai bagian dari bangsa yang berbudaya.

Sistem Evaluasi yang Relevan dengan Fungsi dan Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional

Sistem evaluasi dalam pendidikan adalah salah satu komponen penting untuk memastikan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan di Indonesia bukan sekadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan memiliki rasa tanggung jawab serta berwawasan kebangsaan. Dalam konteks ini, sistem evaluasi pendidikan harus dirancang agar tidak hanya menilai aspek kognitif, tetapi juga memperhatikan aspek pembentukan karakter dan kepribadian yang selaras dengan budaya dan nilai-nilai Indonesia.

Selama bertahun-tahun, Ujian Nasional (UN) menjadi metode utama untuk mengevaluasi hasil belajar siswa di Indonesia. Namun, seiring dengan kritik yang berkembang, UN dianggap kurang memadai untuk memenuhi seluruh aspek tujuan pendidikan nasional karena terlalu fokus pada aspek kognitif. Oleh karena itu, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 Tahun 2021 memperkenalkan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti UN, yang bertujuan untuk menciptakan sistem evaluasi yang lebih relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.

Konsep Pendidikan Nasional sebagai Proses Holistik

Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan yang mencakup tiga dimensi utama: kognitif (pengetahuan dan keterampilan), afektif (nilai dan sikap), dan psikomotorik (praktik dan keterampilan hidup). Pendidikan sebagai proses holistik berarti tidak hanya fokus pada penguasaan materi pelajaran, tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan sosial peserta didik.

Menurut teori pendidikan Benjamin Bloom, evaluasi dalam pendidikan harus mencakup taksonomi kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memastikan perkembangan peserta didik yang utuh. Di Indonesia, pendekatan ini didukung oleh pakar pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mengedepankan konsep "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" atau kepemimpinan yang memberikan teladan, dorongan, dan dukungan bagi perkembangan anak didik. Dengan demikian, sistem evaluasi seharusnya mendorong pengembangan kepribadian dan kemampuan individu secara menyeluruh.

Kritik terhadap Ujian Nasional dan Perkembangan Menuju Evaluasi yang Lebih Holistik

Ujian Nasional mendapat banyak kritik karena dianggap hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, sementara dimensi afektif dan psikomotorik sering terabaikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pada hasil UN menyebabkan sekolah dan siswa fokus pada persiapan ujian yang bersifat drilling (pengulangan soal) dan menurunkan kualitas pembelajaran holistik. Evaluasi seperti UN ini sering kali menimbulkan tekanan pada siswa dan kurang mendorong kreativitas serta pengembangan keterampilan sosial.

Para pakar pendidikan, baik dalam maupun luar negeri, berpendapat bahwa evaluasi harus mengukur aspek karakter, sikap sosial, dan kecakapan hidup. John Dewey, seorang filsuf pendidikan dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya mengarahkan siswa pada pembelajaran yang bermakna dan relevan dengan kehidupan. Menurut Dewey, sistem evaluasi yang baik harus mendorong perkembangan individu tidak hanya dalam konteks akademis tetapi juga dalam hubungan sosial dan kemampuan menghadapi tantangan hidup.

Di Indonesia, pengamat pendidikan seperti Prof. Dr. Arief Rachman juga menekankan bahwa evaluasi pendidikan nasional harus berorientasi pada pengembangan karakter dan keterampilan hidup. Sistem evaluasi yang terlalu fokus pada ujian cenderung menciptakan "generation of test-takers" alih-alih "generation of problem solvers."

Asesmen Nasional sebagai Sistem Evaluasi yang Komprehensif

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, Asesmen Nasional (AN) dirancang sebagai sistem evaluasi yang lebih komprehensif, dengan tiga komponen utama yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN tidak hanya mengukur kompetensi dasar dalam literasi dan numerasi, tetapi juga mengevaluasi karakter dan kondisi lingkungan belajar di sekolah.

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): AKM bertujuan untuk mengukur kemampuan dasar literasi dan numerasi yang penting dalam proses pembelajaran. Kompetensi ini dipilih karena literasi dan numerasi adalah kemampuan esensial yang akan membantu peserta didik dalam memahami berbagai disiplin ilmu lainnya. Namun, AKM tidak menilai keseluruhan kurikulum melainkan hanya kompetensi dasar, sehingga sekolah dan guru dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan hidup.

Survei Karakter: Survei ini bertujuan untuk mengukur nilai-nilai karakter seperti integritas, toleransi, gotong royong, dan disiplin. Aspek-aspek ini selaras dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila. Melalui survei ini, diharapkan dapat diketahui sejauh mana sekolah telah membentuk karakter siswa yang baik dan menginternalisasi nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Survei Lingkungan Belajar: Survei ini menilai kondisi lingkungan belajar yang mencakup aspek keamanan, kenyamanan, dan dukungan bagi siswa untuk belajar. Lingkungan belajar yang kondusif dianggap sangat penting dalam mendukung pengembangan karakter dan keterampilan sosial siswa, sehingga proses belajar menjadi lebih efektif.

Dengan komponen-komponen tersebut, AN diharapkan mampu menjadi alat evaluasi yang lebih relevan dengan fungsi pendidikan nasional sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Pandangan Pakar terhadap Asesmen Nasional

Para pakar pendidikan menyambut baik perubahan dari UN ke AN karena dianggap lebih sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Prof. Suyanto, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa AN adalah langkah yang baik karena tidak hanya menilai kemampuan akademik, tetapi juga memberikan perhatian pada pembentukan karakter dan kondisi lingkungan belajar. Hal ini penting untuk mengatasi kesenjangan yang ada antara capaian akademik dan pengembangan karakter siswa.

Howard Gardner, seorang ahli psikologi dan pendidikan dari Harvard University, mengusulkan konsep multiple intelligences, di mana manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan seperti kecerdasan interpersonal, intrapersonal, dan kinestetik yang juga harus dipertimbangkan dalam evaluasi pendidikan. Dengan pendekatan seperti Survei Karakter dalam AN, sistem evaluasi pendidikan di Indonesia mulai mendekati konsep tersebut, di mana setiap individu memiliki keunikan yang perlu diapresiasi dan dikembangkan.

Di negara-negara maju seperti Finlandia, evaluasi pendidikan juga tidak hanya fokus pada hasil akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan sosial dan karakter siswa. Sistem pendidikan Finlandia menempatkan karakter dan keterampilan hidup sebagai bagian penting dari evaluasi. Ini mirip dengan arah kebijakan AN di Indonesia yang menekankan aspek literasi, numerasi, dan survei karakter.

Sistem Evaluasi yang Selaras dengan Karakter Bangsa Indonesia

Indonesia sebagai bangsa yang multikultural memiliki nilai-nilai yang unik dan kaya. Pendidikan nasional yang berorientasi pada pengembangan karakter bangsa harus mencerminkan nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, rasa kebangsaan, dan kesederhanaan. Sistem evaluasi yang relevan adalah yang tidak hanya melihat hasil kognitif tetapi juga keberhasilan dalam menginternalisasi nilai-nilai tersebut.

Survei Karakter dalam AN dapat menjadi alat yang efektif untuk memastikan bahwa proses pendidikan di sekolah mengarah pada pengembangan karakter yang sesuai dengan budaya bangsa. Selain itu, Survei Lingkungan Belajar juga berperan dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan mendorong siswa untuk tumbuh menjadi individu yang menghargai perbedaan, memiliki empati, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial.

Sistem evaluasi yang relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional harus mampu mengukur aspek-aspek yang lebih luas daripada sekadar pencapaian akademik. Dengan diperkenalkannya Asesmen Nasional, Indonesia telah mengambil langkah maju menuju sistem evaluasi yang lebih komprehensif, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai peraturan terkait lainnya. AN diharapkan menjadi alat untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya mencerdaskan tetapi juga membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa.

Dengan demikian, Asesmen Nasional diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai capaian siswa, baik dari segi akademik maupun non-akademik. Sistem evaluasi ini selaras dengan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan integritas, sehingga pendidikan benar-benar berfungsi sebagai proses pembentukan manusia Indonesia yang beriman, berakhlak mulia, cerdas, dan berwawasan kebangsaan.

Perlukan Ujian Nasional Dipertahankan dan Disempurnakan

Sejak diperkenalkan, Ujian Nasional (UN) telah menjadi topik yang sering diperdebatkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. UN bertujuan untuk mengevaluasi kompetensi siswa secara nasional, menetapkan standar capaian pendidikan, dan memastikan kesetaraan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Namun, keberadaannya menimbulkan pro dan kontra, dengan berbagai pihak yang mempertanyakan apakah UN masih relevan dalam konteks tujuan pendidikan nasional dan apakah ujian ini perlu dipertahankan atau disempurnakan.

Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami UN dari sudut pandang teori pendidikan, pandangan para pakar dalam dan luar negeri, serta regulasi yang berlaku seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Asesmen Nasional (AN) yang menggantikan UN. Berikut adalah kajian menyeluruh tentang apakah UN perlu dipertahankan dan disempurnakan berdasarkan berbagai perspektif tersebut.

Tujuan Pendidikan Nasional dan Relevansi UN

Pendidikan nasional di Indonesia tidak hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan hidup, daya saing, dan tanggung jawab sebagai warga negara yang demokratis. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam konteks ini, UN memiliki peran sebagai standar nasional yang memastikan capaian minimal dalam hal literasi, numerasi, serta pengetahuan dasar. Namun, seiring berjalannya waktu, pendekatan UN yang berfokus pada pengukuran hasil kognitif saja mulai dirasa kurang memadai untuk mencapai tujuan pendidikan yang holistik, sebagaimana dicita-citakan oleh undang-undang. Fokus yang berlebihan pada aspek kognitif menimbulkan tekanan akademik, menurunkan motivasi siswa, dan mengesampingkan dimensi pengembangan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia seperti gotong royong, toleransi, dan kejujuran.

Pandangan Pakar Terhadap Ujian Nasional

Banyak pakar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, memandang bahwa UN perlu disempurnakan agar dapat mengukur keberhasilan pendidikan secara lebih holistik.

John Dewey, filsuf pendidikan dari Amerika Serikat, berpendapat bahwa pendidikan harus menjadi sarana untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan kehidupan, bukan sekadar sarana untuk mencapai nilai akademik yang tinggi. Evaluasi seperti UN yang hanya menilai kognitif, menurutnya, gagal membekali siswa dengan keterampilan sosial dan etika yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Howard Gardner mengemukakan teori Multiple Intelligences, yang menyatakan bahwa kecerdasan manusia terdiri dari berbagai aspek seperti kecerdasan interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan musikal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi pendidikan yang hanya mengukur kompetensi akademik, seperti dalam UN, mengabaikan potensi siswa di bidang lain yang juga penting bagi perkembangan karakter dan keterampilan hidup.

Di Indonesia, Prof. Dr. Arief Rachman, seorang pakar pendidikan, menekankan bahwa pendidikan di Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai lokal dan budaya bangsa. Ia berpendapat bahwa evaluasi pendidikan nasional harus berorientasi pada pembentukan karakter bangsa yang mencakup nilai-nilai integritas, kejujuran, gotong royong, dan kesederhanaan, bukan hanya prestasi akademik semata.

Transformasi dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional

Melihat keterbatasan UN dalam mencapai tujuan pendidikan nasional yang lebih holistik, pemerintah kemudian menggantinya dengan Asesmen Nasional (AN), yang lebih fokus pada evaluasi yang komprehensif dan beragam. AN terdiri dari tiga komponen utama: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) bertujuan mengukur kemampuan dasar dalam literasi dan numerasi yang esensial bagi pembelajaran sepanjang hayat. Hal ini mengurangi beban akademik yang ditimbulkan oleh kurikulum yang terlalu padat.

Survei Karakter mengukur nilai-nilai dan sikap peserta didik, seperti integritas, gotong royong, dan disiplin, yang sangat penting untuk memastikan pembentukan karakter siswa yang sejalan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.

Survei Lingkungan Belajar mengevaluasi kondisi lingkungan di sekolah, termasuk kenyamanan, keamanan, dan hubungan antarsiswa serta antara siswa dan guru. Hal ini relevan dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal.

Pentingkah Ujian Nasional Dipertahankan dan Disempurnakan?

Melihat perkembangan yang ada, masih ada beberapa alasan yang mendukung pentingnya mempertahankan sistem evaluasi nasional, meskipun dalam bentuk yang lebih disempurnakan seperti AN:

Standar Pendidikan Nasional: Sistem evaluasi nasional, termasuk UN atau AN, tetap dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap sekolah dan siswa di seluruh Indonesia mencapai standar pendidikan minimum yang merata. Dengan adanya standar ini, kesenjangan kualitas pendidikan di wilayah perkotaan dan pedesaan dapat diminimalkan.

Monitoring dan Akuntabilitas Pendidikan: Evaluasi nasional berfungsi sebagai alat untuk memantau kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan data dari hasil evaluasi nasional, pemerintah dapat mengidentifikasi daerah-daerah atau sekolah-sekolah yang membutuhkan perhatian dan dukungan lebih besar.

Perbaikan Proses Pembelajaran: UN yang disempurnakan dapat menjadi instrumen untuk mendorong perbaikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Dengan adanya AKM, misalnya, guru dan sekolah dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan dasar yang penting bagi siswa, alih-alih hanya mengejar nilai ujian.

Namun, agar tetap relevan, evaluasi nasional perlu disempurnakan agar tidak hanya menilai aspek akademik tetapi juga aspek non-akademik yang sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa. Oleh karena itu, survei karakter dan lingkungan belajar dalam AN merupakan langkah positif menuju sistem evaluasi yang seimbang antara kognisi, karakter, dan kompetensi sosial.

Alternatif Evaluasi yang Berbasis Karakter Bangsa

Selain AN, beberapa model evaluasi alternatif dapat dipertimbangkan untuk lebih menekankan pada aspek karakter bangsa, seperti:

Evaluasi Berbasis Proyek: Model ini menilai siswa berdasarkan proyek atau tugas yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi. Proyek berbasis masyarakat, misalnya, dapat membantu siswa untuk mengenal nilai gotong royong dan toleransi, serta memperkaya pemahaman mereka tentang realitas sosial dan budaya di Indonesia.

Portofolio Siswa: Metode ini menilai perkembangan siswa secara kontinu melalui kumpulan hasil karya dan prestasi siswa yang dapat mencakup aspek kognitif dan non-kognitif. Portofolio dapat menjadi bukti perkembangan karakter dan keterampilan sosial siswa, yang sesuai dengan visi pendidikan nasional.

Penilaian Reflektif: Sistem evaluasi yang memberikan ruang bagi siswa untuk merefleksikan pembelajaran mereka dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran diri dan kedewasaan emosional, yang juga merupakan bagian dari karakter bangsa Indonesia yang menghargai introspeksi dan kesederhanaan.

Ujian Nasional, dalam bentuknya yang asli, memang telah banyak memberikan kontribusi dalam menjaga standar mutu pendidikan di Indonesia. Namun, seiring perkembangan dan tuntutan pendidikan yang semakin berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan hidup, evaluasi pendidikan nasional perlu disempurnakan agar lebih relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dengan diperkenalkannya Asesmen Nasional, diharapkan sistem evaluasi nasional di Indonesia tidak hanya mengukur aspek kognitif tetapi juga memperhatikan aspek karakter dan lingkungan belajar.

Asesmen Nasional dan evaluasi lainnya seperti portofolio dan proyek berbasis karakter bangsa dapat menjadi solusi yang relevan dalam menciptakan sistem pendidikan yang menyeluruh, sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Maka, jika pertanyaannya adalah apakah ujian nasional perlu dipertahankan, jawabannya adalah iya, tetapi dalam bentuk yang lebih holistik dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Sistem evaluasi pendidikan nasional, khususnya Ujian Nasional (UN), telah menjadi bagian integral dalam menjaga mutu pendidikan di Indonesia. Namun, seiring dengan perubahan global dan kebutuhan pendidikan yang lebih holistik, metode evaluasi yang hanya menilai kemampuan akademik tidak lagi dianggap cukup untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional Indonesia. UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya---baik dari segi intelektual, moral, sosial, maupun emosional.

Pandangan para pakar, baik dalam maupun luar negeri, menyoroti bahwa pendidikan harus lebih dari sekadar capaian akademik; pendidikan harus mencakup pembentukan karakter, pengembangan keterampilan hidup, dan penanaman nilai-nilai sosial yang sesuai dengan karakter bangsa. Teori Multiple Intelligences dari Howard Gardner dan pandangan John Dewey tentang pendidikan sebagai persiapan kehidupan nyata mendukung bahwa evaluasi pendidikan perlu mencakup aspek sosial, emosional, dan etika.

Peralihan dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional (AN) merupakan langkah tepat dalam upaya menciptakan sistem evaluasi yang lebih komprehensif. AN mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar, yang semuanya bertujuan untuk menilai tidak hanya pengetahuan akademik tetapi juga aspek karakter dan kondisi lingkungan belajar yang kondusif. Dengan adanya survei karakter, AN diharapkan dapat lebih mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang berakar pada nilai-nilai gotong royong, toleransi, integritas, dan kejujuran.

Saran

Penguatan Aspek Non-Kognitif dalam Evaluasi Pendidikan Nasional

Pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan perlu terus memperkuat aspek non-kognitif dalam Asesmen Nasional. Komponen survei karakter perlu didukung dengan indikator-indikator yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga dapat mengukur dan membina integritas, tanggung jawab sosial, dan gotong royong. Ini akan memastikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya mencetak individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat, sesuai dengan cita-cita bangsa.

Penggunaan Evaluasi Berbasis Proyek untuk Mengembangkan Keterampilan Hidup

Dalam rangka menciptakan sistem evaluasi yang lebih beragam dan aplikatif, sekolah-sekolah di Indonesia sebaiknya mulai menerapkan penilaian berbasis proyek (project-based assessment). Proyek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran dan menuntut siswa untuk berkolaborasi dapat menjadi cara efektif untuk mengembangkan keterampilan hidup seperti komunikasi, pemecahan masalah, dan kerjasama. Evaluasi berbasis proyek ini juga mendorong siswa untuk lebih memahami realitas sosial dan budaya Indonesia, sehingga pembelajaran menjadi lebih relevan dan bermakna.

Penguatan Peran Guru dalam Evaluasi Holistik

Guru perlu diberikan pelatihan dan pendampingan agar dapat menjadi fasilitator dalam evaluasi holistik yang tidak hanya berfokus pada aspek akademik tetapi juga aspek sosial dan emosional siswa. Penguatan kompetensi guru dalam memberikan penilaian yang menyeluruh ini akan membantu siswa berkembang secara lebih seimbang dan siap menghadapi tantangan kehidupan nyata dengan karakter yang tangguh.

Kebijakan yang Berkelanjutan dan Konsisten

Untuk mencapai hasil yang optimal, kebijakan terkait evaluasi pendidikan nasional harus diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan. Pemerintah harus berkomitmen pada kebijakan Asesmen Nasional dan memastikan bahwa semua elemen pendidikan, dari pusat hingga daerah, memiliki pemahaman dan dukungan penuh terhadap tujuan dan metode evaluasi yang baru ini. Dengan demikian, perubahan sistem evaluasi dapat diterima dengan baik oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan dan berdampak positif pada pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Kolaborasi dengan Orang Tua dan Masyarakat

Evaluasi pendidikan nasional yang baik tidak hanya melibatkan sekolah tetapi juga orang tua dan masyarakat. Partisipasi aktif orang tua dalam pemahaman tujuan Asesmen Nasional dan keterlibatan mereka dalam mendukung pembelajaran karakter di rumah akan memperkuat pembentukan karakter siswa secara holistik. Pemerintah dan sekolah sebaiknya menyediakan program sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran orang tua dan masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam proses pendidikan.

Asesmen Nasional, sebagai pengganti Ujian Nasional, diharapkan mampu menciptakan sistem evaluasi yang lebih komprehensif dan relevan dengan nilai-nilai dan karakter bangsa Indonesia. Melalui pendekatan evaluasi yang tidak hanya berfokus pada aspek akademik tetapi juga aspek karakter dan lingkungan belajar, Asesmen Nasional mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional yang sejati. Dengan evaluasi yang holistik, diharapkan generasi muda Indonesia tumbuh menjadi individu yang berpengetahuan, berkarakter, dan siap berkontribusi dalam membangun bangsa yang maju, adil, dan beradab.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Hukum dan Peraturan

  • Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.
  • Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41.
  • Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Asesmen Nasional. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 509.

Buku dan Artikel

  • Dewey, John. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: The Macmillan Company.
  • Gardner, Howard. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.
  • Gardner, Howard. (1999). Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century. New York: Basic Books.
  • Rachman, Arief. (2006). Pendidikan Karakter di Sekolah: Panduan dan Implikasi Praktis di Sekolah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
  • Tilaar, H. A. R. (2009). Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Uno, Hamzah B., & Satria, Nina Lamatenggo. (2011). Teori Motivasi dan Pengukuran: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Jurnal dan Artikel Penelitian

  • Astuti, N., & Ramli, M. (2021). "Evaluasi Pendidikan dan Implementasi Asesmen Nasional di Indonesia." Jurnal Pendidikan Nasional Indonesia, 10(2), 140-152.
  • Kusuma, W. (2020). "Transformasi dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional: Sebuah Kajian Teoretis dan Praktis." Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 18(3), 175-188.
  • Rahman, A., & Setiawan, E. (2019). "Pandangan Pakar Pendidikan terhadap Penghapusan Ujian Nasional di Indonesia." Jurnal Analisis Kebijakan Pendidikan, 8(1), 22-30.
  • Santoso, D. (2020). "Asesmen Kompetensi Minimum dalam Asesmen Nasional: Implementasi dan Tantangan." Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar, 9(2), 101-114.

Laporan dan Publikasi Pemerintah

  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Implementasi Asesmen Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Badan Standar Nasional Pendidikan. (2019). Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun 2019. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Laporan Pelaksanaan Asesmen Nasional 2021. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber Tambahan dan Literatur Pendukung

  • Suryani, S., & Fatah, A. R. (2022). "Peran Guru dalam Pelaksanaan Asesmen Nasional untuk Penguatan Pendidikan Karakter." Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Karakter, 11, 25-33.
  • Wardani, R. (2022). "Evaluasi Pendidikan Nasional: Tantangan dan Harapan dalam Sistem Asesmen Berbasis Karakter." Jurnal Evaluasi Pendidikan Indonesia, 6(1), 65-78.
  • Suparno, P., & Wibowo, S. (2023). "Implementasi Pendidikan Holistik di Sekolah Dasar untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter." Jurnal Pengembangan Pendidikan Nasional, 12(3), 212-229.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun