Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Ujian Nasional, Benarkah?

3 November 2024   14:45 Diperbarui: 3 November 2024   15:39 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Ujian Nasional (UN) telah menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia sejak lama, dengan tujuan utama untuk mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional serta menjadi alat evaluasi yang dapat menentukan standar kompetensi lulusan. Kebijakan ini telah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, dan berbagai peraturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Menurut UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (5), pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, serta mengutamakan peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan mutu pendidikan harus sesuai dengan karakter bangsa yang menjunjung nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan budaya. Dalam konteks ini, penerapan Ujian Nasional telah menimbulkan pro dan kontra mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Banyak pakar pendidikan, memiliki pandangan yang beragam tentang efektivitas Ujian Nasional dalam peningkatan mutu pendidikan. Secara umum, ada beberapa pandangan utama yang dapat dijelaskan:

  • Pandangan Pakar Pendidikan dalam Negeri Beberapa pakar pendidikan Indonesia, seperti Anies Baswedan dan Arief Rachman, berpendapat bahwa UN sebagai alat evaluasi memang memiliki peran penting dalam pengukuran mutu pendidikan. Namun, mereka juga menyoroti bahwa orientasi UN yang berfokus pada hasil tes dapat menggeser esensi pendidikan itu sendiri. Mereka mengkhawatirkan bahwa UN mendorong siswa dan guru untuk mengutamakan penguasaan materi yang diujikan dibandingkan dengan pemahaman yang komprehensif dan pengembangan karakter. Pakar lain, seperti Muhadjir Effendy, mengemukakan bahwa UN bisa menjadi alat untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional, tetapi penerapannya harus mempertimbangkan aspek-aspek karakter bangsa, seperti kejujuran, kerja keras, dan nilai-nilai sosial budaya. Mereka berpendapat bahwa karakter bangsa Indonesia perlu menjadi landasan utama dalam perumusan kebijakan pendidikan, termasuk UN.
  • Pandangan Pakar Pendidikan Luar Negeri Secara global, beberapa pakar pendidikan, seperti Alfie Kohn dan Diane Ravitch, menentang standar ujian nasional yang serupa dengan UN di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa sistem ujian nasional dapat menurunkan kualitas pembelajaran karena memicu siswa dan guru untuk berfokus pada 'teaching to the test,' yang pada akhirnya menghambat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Menurut Kohn, tes berbasis standar yang ketat sering kali tidak memberikan gambaran lengkap tentang kemampuan seorang siswa, terutama dalam hal keterampilan sosial dan emosional yang juga penting dalam pendidikan karakter. Di sisi lain, beberapa negara seperti Jepang dan Finlandia lebih menekankan pada pembelajaran yang terfokus pada proses daripada hasil. Di Finlandia, misalnya, siswa tidak dihadapkan pada ujian nasional selama pendidikan dasar mereka; alih-alih, pemerintah mengandalkan evaluasi berkelanjutan yang lebih menitikberatkan pada proses dan perkembangan karakter siswa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 35 menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri dari delapan komponen, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian pendidikan. Pada peraturan ini, Ujian Nasional masuk ke dalam kategori standar penilaian pendidikan. Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Ujian Nasional dikukuhkan sebagai alat evaluasi yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menggantikan UN dengan Asesmen Nasional (AN) sebagai upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem evaluasi yang lebih komprehensif. AN tidak hanya menilai hasil belajar siswa tetapi juga mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan sistem evaluasi yang lebih selaras dengan karakter bangsa Indonesia dan nilai-nilai Pancasila.

Karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, keadilan, dan kebersamaan tidak sepenuhnya terakomodasi dalam sistem penilaian berbasis UN yang berorientasi pada hasil tes. Pendekatan UN yang terstandarisasi dan berbasis kompetisi sering kali mengesampingkan potensi siswa dalam aspek non-akademis, seperti kreativitas, keterampilan sosial, dan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan pendidikan antara siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi dan mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat di bidang lain yang tidak diukur dalam UN.

Perubahan ke sistem Asesmen Nasional merupakan langkah untuk lebih menghargai potensi siswa secara menyeluruh, dan tidak hanya berfokus pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Dengan demikian, evaluasi pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih sesuai dengan karakter bangsa yang menghargai keberagaman, kerjasama, dan pembangunan karakter sejak usia dini.

Peningkatan mutu pendidikan melalui Ujian Nasional masih menjadi perdebatan. Meski UN bertujuan untuk menjaga standar kualitas pendidikan nasional, efektivitasnya dalam membentuk karakter bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila masih dipertanyakan. Dengan adanya perubahan menuju Asesmen Nasional yang lebih komprehensif, diharapkan evaluasi pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih holistik, mencakup tidak hanya aspek akademik tetapi juga aspek karakter dan nilai-nilai sosial.

Sejarah Pelaksanaan Ujian Nasional dan/atau Asesmen Nasional 

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sistem pendidikan nasional mengalami banyak perubahan seiring dengan upaya pemerintah untuk menciptakan evaluasi yang mampu meningkatkan mutu pendidikan dan membangun karakter bangsa. Sistem evaluasi pendidikan yang sekarang dikenal sebagai Ujian Nasional (UN) atau Asesmen Nasional (AN) berkembang dari waktu ke waktu, menyesuaikan kebutuhan dan tantangan pendidikan nasional yang berdasarkan pada dasar-dasar hukum seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Berikut ini adalah uraian tentang sejarah pelaksanaan ujian nasional di Indonesia mulai dari masa awal kemerdekaan hingga era Asesmen Nasional saat ini.

Masa Awal Kemerdekaan: Ujian Sekolah di Era 1950-an hingga 1970-an

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun