Mohon tunggu...
Wanda Nuriza
Wanda Nuriza Mohon Tunggu... Lainnya - A student at Politeknik Negeri Bandung

Gadis simple yang hidupnya enjoy dan suka ngehalu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis di Ujung Penantian

25 Februari 2020   21:00 Diperbarui: 13 September 2020   07:49 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku selalu ingin mengutarakan banyak hal yang tak sempat ia dengar.

Setidaknya, dengan ini, ia akan sempat membaca


-Bandung, 20-02-2020


 Hari Pertama 

Pukul 05.00 WIB

Pagi masih hitam, tapi aku sudah beranjak pergi menuju Sekolah baru. Kalau saja Minggu kemarin seragamku tidak ketinggalan di lemari Perpustakaan, mungkin aku bisa berangkat agak siang hari ini. Karena masih pagi, kuputuskan untuk jalan kaki saja. 

Biarpun banyak pasang mata memandangku aneh, aku cuek bebek saja.

"Neng, sengaja berangkat subuh ya?"  tanya seorang ibu sambil melempar senyum padaku.

Aku hanya balas memberinya senyuman karena terburu-buru. Tertinggal satu menit saja, mungkin seperangkat seragam sekolah itu bisa raib entah kemana. Beruntung benda berharga itu bisa terselamatkan. Setelah aku cek di Perpustakaan, ternyata kantong plastik berisi seragam milikku masih tergeletak di tempat asalnya.

Baru hari pertama Sekolah sudah kena musibah. Dasar aku.

7 hari sebelum resmi menyandang status sebagai anak SMA ...

"Sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu ... "

Aku terus menghitung buku-buku lapuk yang siap untuk dikilo, termasuk diary yang sudah tidak kubutuhkan lagi. Diary bisa menjadi horcrux yang harus dimusnahkan, jika isinya tentang masa lalu yang konyol dan menyakitkan.

Rasanya lumayan lega setelah mengakhiri masa SMP. Tapi dihadapkan kenyataan bahwa aku tidak jadi masuk SMK Negeri favorit, sedikit membuat hatiku ciut. Beruntung aku masih memiliki Sekolah alternatif yang kebetulan terakreditasi 'A' juga. Selain itu, jaraknya juga lumayan dekat dari Rumahku. Jadi, tidak masalah jika harus bersekolah disana. Lagipula tujuh turunan keluargaku juga bersekolah di SMA yang sama. Cukup mengerikan. Lebih tepatnya, membosankan.

SMA Negeri 1 Stanford

Sesampainya di gerbang utama, aku terlebih dahulu menghela nafas panjang. Niatku tiba-tiba ragu untuk masuk ke Sekolah ini. Tapi mau tak mau aku harus melakukan pendaftaran ulang hari ini juga.

Aku mengantre berdasarkan urutan panggilan. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan berkata,

"Hei, kamu daftar kesini juga ?"

"-Eh iya, kamu bareng siapa kesini ?"

Aku kira Hasna akan mendaftar SMA diluar kota, ternyata di SMA ini juga.

"Sendiri kok. Ngomong-ngomong, kayaknya murid dari SMP kita banyak yang diterima di SMA favorit ini ya!" ucapnya kegirangan.

Aku mengerling mereka. Ternyata ucapan Rani memang benar. Sekitar 40 persen siswa dari SMP asalku mengantre di belakang. Hal itu sangat wajar karena berdasarkan sistem zonasi, SMP Negeri 3 memang berpeluang besar diterima disini. Toh, letaknya saja berseberangan. Awalnya aku ingin bersekolah di lingkungan baru, dimana tidak banyak orang yang kukenal. Tapi, ya sudahlah. Setidaknya, dengan ini aku jadi mudah beradaptasi.

Keesokan harinya, aku berencana untuk pindah ke sekolah lain sebelum transaksi  lain-lain dilakukan. Tapi untuk kedua kalinya, takdir mengubah rencana yang kubuat. Bapak tidak menyetujui hal itu. Menurutnya, kita harus bertanggung jawab atas apa yang telah kita pilih. Jadi, apa boleh buat? Aku pasrah.

Sampai disini, semua berjalan dengan semestinya. Melewati MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik), demo ekstrakurikuler, dan terakhir general test. Hanya saja ada sedikit kendala yang terjadi. Saat general test berlangsung, aku memilih jurusan IPS karena aku tertarik dengan tawaran belajar Bahasa Jepang. Tapi aku malah digolongkan dengan anak kelas MIPA berdasarkan pengumuman hasil general test tersebut. Entah itu memang kesalahan teknis atau apa, yang jelas aku bertahan selama tiga tahun di kelas MIPA karena takdir itu. 

Akupun segera bergabung dengan kelompok anak MIPA yang selanjutnya akan dipecah menjadi 8 kelas.

"Mohon dengarkan baik-baik ya!" seru Kakak Osis tampan.

"Yang masuk kelas MIPA 2, Raga Sulaeman, Sashi Maizena, Anya Metazahra, Luna Meylza Putri, ..."

Mendengar namaku dipanggil, aku bergegas menyesuaikan diri dengan barisan kelasku.

"Hei Lun ! sini !" bisik salah seorang murid padaku dari arah depan. Aku langsung menghampirinya.

Kok kaya kenal ya?, batinku.

"Ini aku, Anya !"

"Oh ternyata tetangga toh,  pantes mukanya gak asing"

"Ih selera humornya dari dulu gak berubah ya, tetep garing!" Anya tertawa kecil.

"Loh, aku gak lagi bercanda. Serius, tadi aku hampir gak kenal soalnya kita udah jarang ketemu, lagian dulu kamu orangnya jutek!"

"Yaudah, biar kenal, kita duduk sebangku aja, yuk!" ajak Anya padaku.

"Oke" jawabku singkat.

Pelaksanaan MOPD akhirnya selesai juga. Seluruh murid angkatanku, kini sudah resmi diterima di SMA negeri 42 Kepuh Kidul dan Senin depan adalah hari pertama kami sebagai anak kelas 1 SMA. 

Selamat menempuh beban baru!

Penolakan


Bel sekolah berdenting nyaring. Aku berjalan terhuyung-huyung menuju kelas. Kulihat Anya sudah duduk di bangku paling depan dengan tangan melingkar di atas meja. Tanpa pikir panjang, aku segera duduk di sebelahnya.


Suasana kelas begitu hening hingga suara siswa menguap pun bisa terdengar. Meski sudah hampir satu minggu bertemu, kami masih saling jaim satu sama lain.


Beberapa menit kemudian, barulah ada anak yang berani angkat bicara, namanya Andini. Aku sudah kenal dia kemarin. Menurutku, dia tipikal cewek yang hiperaktif dan kreatif. Itu terlihat dari gerak-gerik tubuhnya. 


Tuk.. Tuk.. Tuk.. !
"Assalamu'alaikum" ucap Bapak guru itu saat hendak masuk ke dalam kelas.


Dari bunyi sepatunya, kukira yang akan masuk adalah guru wanita, tapi ternyata malah sebaliknya. Berkemeja rapi, masih muda, sopan, ganteng pula. Dia mungkin salah satu guru honorer disini.


"Jadi, dia itu guru mata pelajaran apa?" tanyaku penasaran.


"Matematika" timpal seorang siswa cowok dibelakangku. Padahal, aku bertanya pada Anya yang jelas-jelas duduk bersamaku.

Hari pertama masih dalam tahap ringan. Hipotesisku, hari esok dan seterusnya tak akan berjalan semudah ini.


3 bulan kemudian, pap tugas mulai berhamburan. Beberapa teman sekelasku pun mulai unjuk gigi dengan potensi yang mereka miliki. Namun, ada satu cowok yang menarik perhatianku.


"Ada yang bisa menjawab?"


"Saya Pak!" seru Aidan.


Lagi-lagi cowok itu yang angkat tangan. Wataknya pendiam bahkan nyaris tak pernah mengobrol denganku kecuali via chat. Karena penasaran, akupun memberanikan diri untuk berkomunikasi secara langsung dengannya saat jam istirahat.


"Aidan! Aku mau bicara!"


Ia berbalik menghampiri lalu menatap aneh padaku, mungkin dia juga merasa agak canggung untuk berbicara empat mata seperti ini.


Sekarang kami saling berhadapan. Apalagi yang kutunggu?


"Kamu anggap aku apa?"


Hah? Aku ngomong apa sih? Jelas dia tidak akan paham apa yang kumaksud. Tapi Aidan nekat juga menjawab dengan nada datar,


"90% teman, sisanya biasa aja"  


Well, cukup baik. Setidaknya, dia mau mengakui aku sebagai teman. Dalam hitungan detik, ia melangkah pergi dari hadapanku tanpa pamit. Setelah ini, dia pasti mengira bahwa aku baru saja menembaknya.  


Kerja bagus Luna! Mulai detik ini kamu harus menjaga jarak dengannya.

Cinta Pertama

Semester satu berlalu dengan tanpa menyisakan kesan baik. Setelah libur panjang, berbagai jenis kompetisi pun diselenggarakan, salah satunya perlombaan Sastra Inggris. Aku tertarik untuk mengikuti kompetisi tersebut dan akhirnya mendaftarkan diri untuk bergabung dengan Grup Drama Bahasa Inggris. 

Bisa dibilang ini adalah sejarah bangkitnya English Club karena melalui kompetisi itu, Grup drama kami berhasil membawa pulang piala kejuaraan. Rasanya sungguh membanggakan!


Tentu saja English Club adalah cinta pertamaku di SMA, sebelum akhirnya seseorang singgah dan menjadi cinta kedua.



"Masa sih kamu gak laku, Lun?!" celetuk Wati.


Mataku spontan melotot, mendengar ucapannya itu.


"Aku punya prioritas lain"  tegasku.


"Ya bukan berarti kamu gak deket sama siapa-siapa.." suaranya berubah lembut.


Tiba-tiba saja bayangan Aidan terlintas di pikiranku. Aku bergidik ngeri. 

Ugh, jangan sampai hal itu terulang kembali, kesalahpahaman yang berakhir tragis. 

Meski aku dengan Aidan sudah baikan, tetap saja rasanya masih ada sekat yang membatasi kami untuk kembali menjalin hubungan pertemanan.


"Bukannya Luna lagi deket sama kakak senior ya?" Anya mengernyitkan dahi.


"I-iya" jawabku terbata-bata. Sebenarnya aku hanya asal jawab saja supaya mereka berhenti menawarkanku cowok-cowok gak jelas.


"Wih sama siapa?" Wati terlihat kepo berat.


"Hey, cepet beres-beres. Bu Yanti udah marah marah tuh!" seru Sashi.


Beruntung Sashi langsung memotong pembicaraan kami.


Beberapa saat kemudian, terjadi kerusuhan diluar. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, namun disela keributan itu,

Sring!!! 

Muncul sosok misterius entah darimana asalnya. Ia lebih cocok digambarkan sebagai dementor kala itu. Datang secara tiba-tiba lalu menerawang dari luar jendela dan siap menangkapku seolah aku ini adalah tahanannya. Aku segera memalingkan muka karena panik dan kembali bekerja. Anggap saja tidak ada orang aneh itu disana. Jadi, tidak usah dipedulikan.


Sialnya, hal seperti itu tak hanya terjadi sekali. Saat di Kantin, di lorong kelas, bahkan saat aku sedang berolahraga sekalipun. Karena keseringan berpapas muka, aku jadi hafal betul bagaimana wajah dan penampilannya. Jaket abu, bawahan training, lengkap dengan sendal yang sekaligus menjadi ciri khas pria itu.

Sampai akhirnya ia berhasil mendapat nomorku dari Linda, teman sekelasku.


"Oh ayolah! Dia cuma ingin main-main" aku bergumam.


Namun tetap saja aku mencari informasi tentang dia. Siapa dia? Bagaimana kebiasaannya? Siapa saja teman dekatnya? dan yang terpenting adalah,


"Apa dia sudah punya pacar?"


Satu alis Rafa terangkat, ia lalu merespon dengan nada sinis,


"Mungkin"

"Kamu kan teman dekatnya, masa gak tau?!" suaraku tiba-tiba melengking.


"Ya gak tau lah, dia kan cuma kakak kelasku di ekskul doang ! " Rafa balas meninggikan suaranya.


"Oh" ucapku lirih.


Wajar aku menanyakan hal itu. Akhir-akhir ini, banyak terjadi insiden di kalangan remaja yang disebabkan oleh orang ketiga. Aku tidak mau menjadi salah satu oknum tersebut, apalagi menjadi korbannya.


Raut muka Rafa kosong. Aku jadi kesulitan untuk membaca ekspresinya. Aku yakin ada sesuatu yang ia sengaja sembunyikan dariku. Tapi apa?


Teka-teki ini membuatku lelah. Ditambah tugas akhir semester yang belum juga selesai. Keputusanku untuk mundur dari seleksi Debate, pasti sangat mengecewakan banyak orang terutama pembimbingku, Miss Anna. Saat itu, aku benar-benar berada di titik terendah, terpuruk, pesimis, bahkan tak berdaya. Seluruh pikiran dan tenagaku rasanya terkuras habis! 

Komitmen

Suatu pagi, aku menerima pesan dari seseorang. Spontan langkahku terhenti saat hendak menuju kamar mandi. Aku mencoba untuk mencerna setiap kata yang tersurat di pesan itu.


"Persetujuan komitmen? Maksudnya?"


Selera humorku dari hari ke hari semakin menyusut sehingga aku langsung menganggapnya serius. Setelah kutanyakan kembali ternyata dia benar-benar tidak sedang bercanda. Kurasa, ini ada kaitannya dengan minggu kemarin.


Aku memang berniat pergi jalan-jalan bersama Anya ke Tempat Wisata Air Terjun. Itupun hanya berdua saja. Tapi karena alasan lain, kami jadi pergi berempat, aku, Anya, Chen, dan si Kakak misterius itu. Aku tahu ini ide gila, tapi aku merasa sudah mengenal mereka berdua (Chen dan si Kakak misterius). Sepertinya mereka orang baik-baik dan tentunya bukan penculik. Tapi sungguh, aku tidak menyangka akhirnya akan jadi seperti ini. Ia ingin membuat sebuah komitmen denganku.


"Apa?! Kamu serius Lun?" Sashi kaget hingga setengah berteriak.


Aku segera menaruh jari telunjukku tepat di depan mulutku sendiri, berharap ia tidak membocorkan hal ini.

Sashi mengangguk paham.


Aku merasa sedikit lega setelah menceritakan semuanya panjang lebar kepada Anya, Wati, dan Sashi. Di sisi lain, aku juga merasa gelisah bila dihadapkan dengan suatu hubungan yang tak berarah.



Menginjak semester tiga, krisis waktu semakin merajalela. Sedangkan dia? sudah lulus duluan.


Aku ingin lebih mengenalnya, tapi bukan dari orang lain lagi. Setiap kali ia bercerita, aku selalu menyimpan setidaknya satu memori tentang dia, tentang bagaimana liku-liku perjalanan hidupnya.


Lama-kelamaan, aku jadi semakin akrab dengannya.  Mungkin beginilah rasanya memiliki kakak laki-laki. Bisa menikmati keseruan bersama, selalu ada yang mendukung dan siap sedia menjaga.


"Jadi, Kakak mau lanjut kemana?"


"Aku mau nyoba ikut seleksi masuk perguruan tinggi negeri"


Aku tidak mau banyak berkomentar, hanya sedikit bertanya mengenai tahap seleksinya.


Sejak saat itu, ia semakin jarang bertemu denganku karena sibuk mengurus berkas-berkas untuk keperluannya. Sayang, ia harus kehilangan satu mimpinya sehingga ia harus beralih mengikuti seleksi lain. Akhir-akhir ini, aku juga sering memergokinya sedang melamun. Satu-satunya hal terbaik yang bisa kulakukan adalah mendo'akannya. Do'aku mungkin tidak begitu kuat, tapi kita tidak tahu do'a siapa yang akan terkabul. 

Di Ujung Penantian

Masa-masa terindah di SMA terhitung saat aku memasuki kelas dua, dimana segalanya terasa lengkap untuk mewarnai sebuah kisah klasik.


"Dia bakalan hadir gak ya?"


Bibirku mengerucut. Sayang sekali, padahal aku akan menampilkan sebuah drama musikal bersama teman-temanku sebagai perwakilan dari English Club. Kalau dia tidak sempat datang, mungkin karena sibuk. Lagipula, aku tidak suka memaksa seseorang untuk melakukan apa yang kumau. Alhasil, dia benar-benar tidak hadir.


Hingga suatu hari, ia datang ke Sekolah untuk menemuiku. Aku sempat menghabiskan waktu sekitar beberapa jam dengannya sebelum akhirnya ia mengucapkan, 


"Selamat tinggal."

Aku menggigit bibir dan langsung memutus kontak mata dengannya. Tentu saja aku bangga mendengar ia lolos seleksi. Maksudku, bukan seleksi masuk perguruan tinggi negeri tapi.. 

"Aku mau pulang" pintaku. 

"Ayo, kuantar sampai Rumah" 

Suara keramaian pun mulai memudar, mengisyaratkan bahwa senja akan segera tiba.

Setelah kembali ke rumah, aku merasa agak aneh. Seperti ada sesuatu yang tertinggal.

Sekarang apa yang seharusnya kulakukan selama ia tak ada? Tentu saja beraktivitas seperti biasanya.

September,

Oktober,

November,

Desember.

Adhitama, kau hilang.

-----

Setengah tahun kemudian ... 

Drrtt ... Drttt ...

Dering suara handphone-ku bergetar.

"Halo ?"

"Ini aku,  Adhitama."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun