"Baiklah. Selamat jalan."
Sawer Welang segera melarikan kudanya menuju dusun Jungabang untuk mampir ke rumah orang tua wanita yang pernah dibawanya. Ia sengaja mengajak wanita itu pergi karena ia tahu watak tuannya. Ia tidak ingin meninggalkan ayam betina piaraannya di kandang yang ditunggu seekor musang.Â
Ia berniat untuk pergi jauh dari istana Giriwana. Hatinya tak lagi tenang untuk terus mengabdi kepada Dyah Tumambong. Keinginannya untuk mengabdi pangeran Erlangga, menjadi salah satu abdi di istana itu pupus, Dyah Tumambong hanya mengobral janji yang tak pernah ditepati, untuk mengantarkan dirinya menghadap pangeran itu.Â
Keputusannya sudah bulat untuk membawa kuda milik tuannya sebagai bekal hidup dengan calon istrinya di negeri yang jauh dari Istana Giriwana.
Sementara itu Yuyu Rumpung segera mengumpulkan beberapa anak buah. Tiga orang di utus pergi ketiga tempat, untuk menemui pimpinan petani di selatan dan utara istana Giriwana. Seorang lagi melaporkan recana penyerbuan kepada Gusti Maha Dewi Panida. Ketiga orang itu  dibekali pesan agar pasukan segera merapat ke istana Giriwana tiga hari setelah utusannya menghadap.
Iapun memerintahkan sepuluh orang prajurit terpilih untuk mendahului rombongan prajurit lain. Tugas kelompok prajurit terpilih itu untuk melumpuhkan kekuatan pasukan berkuda milik pangeran Erlangga.
"Aku mendengar warta pasukan berkuda itu kuat sekali. Jika tidak dilumpuhkan akan berbahaya bagi pasukan kita. Maka lumpuhkan dulu kuda-kuda mereka." Kata Yuyu Rumpung.
"Siap tuan. Kami jalankan perintah." Jawab pemimpin kelompok itu.
"Dengan apa kalian akan membunuh kuda-kuda itu ?" Tanyanya.
"Mungkin dengan pedang tuan. Kami belum membicarakannya, perintah baru saja jatuh." Jawab pemimpin kelompok itu.
"Bodoh. Berapa hari kalian menggorok leher tiga ratus kuda itu ? Pakai anak panah beracun kuat, kalian bisa lakukan dari jarak jauh. Jika ketahuan kalian bisa cepat lari dan bergabung dengan kita." katanya.