"Nyai, nyai !!" Terdengar suara panggilan dari mulut bayangan hitam itu. Namun tak ada suara yang menjawab.
Bayangan itu masuk kamar, mendekati dipan bambu yang nampak remang-remang. Kembali bayangan itu memanggil-manggil lirih.
"Nyai, nyai. Apakah kau sudah tidur."
Tetap tak ada jawaban. Dengan penasaran ia mendekati dipan bambu itu, dan menggerayangkan tangan keatasnya. Tiba-tiba ia marah sekali, tikar diatas amben bambu itu ia renggut dan diseretnya terus membuangnya ke lantai kamar. Dipan bambu itu ditendangnya, hingga kerangkanya patah.
"Setan, demit. Awas kau Sawer Welang. Tunggu balasanku."
Bayangan hitam itu nyelonong keluar rumah dengan terus mengumpat-umpat penuh amarah. Ia terus mengayun langkah menuju istana Giriwana dan menyelinap masuk tanpa diketahui penjaga satupun.
Dua hari ia menunggu Sawer Welang kembali, namun lelaki krempeng yang dinantinya tidak pulang. Lelaki itu membawa salah satu ekor kuda miliknya yang sangat ia sukai.
"Bajingan." Umpatnya.
*******
Sebuah rombongan tetirah berangkat dari halaman istana Giriwana pada pagi hari. Sebelum sinar matahari menyengat kulit, rombongan tersebut telah keluar dari gapura bentar. Sebuah barisan panjang mengular mengikuti tiga buah tandu yang diusung oleh masing-masing empat prajurit. Dibelakangnya dua pedati berjalan pelan mengangkut bekal baha pangan.
Pangeran Erlangga menunggang kuda di depan, diapit oleh Senopati Narotama dan senopati Manggala. Kuda mereka berjalan pelan beberapa tombak dari tiga tandu yang bergoyang-goyang mengikuti irama langkah kaki pengusungnya.