"Bagaimana kabar selanjutnya tentang petani-petani pendatang yang tengah membuka hutan ditiga tempat yang bersamaan itu Kakang Narotama ?" Tanya pangeran Erlangga.
"Mereka masih terus bekerja dinda Pangeran. Tapi belum juga ada utusan yang datang kepada kita, untuk menyampaikan pemberitahuan." Kata senopati Narotama.
"Kita belum punya hak untuk mengatakan bahwa daerah itu kuasa kita. Jika mereka belum mengirim utusan itu hal yang wajar. Terus saja amati perkembangannya." Kata Pangeran Erlangga.
"Sebenarnya kami curiga Gusti Pangeran. Tiga kelompok petani yang membuka hutan di tempat berbeda itu sebenarnya berasal dari daerah yang sama. Pakaian mereka yang menyerupai petani itu memiliki corak dan cara berpakaian yang sama. Kotak-kotak yang mereka bawa ukuran dan bentuknya sama. Hanya saja para telik sandi kesulitan mengetahui apa isi kotak-kotak itu. Apakah benar bahan pangan untuk ransum mereka selama membuka hutan, apakah justru bukan senjata-senjata perang." Kata senopati Manggala.
"Itulah sebabnya saya perintahkan pada paman Manggala untuk membawa pengawal sepertiga dari kekuatan kita di sini. Sisanya untuk menjaga istana jika ada serangan dadakan." Kata senopati Narotama.
"Mudah-mudahan sisa kekuatan itu mampu membentengi istana" kata senopati Manggala.
"Bagaimana perkembangan di kademangan Maja Dhuwur ?" Tanya pangeran Erlangga.
"Jumlah anak muda yang bergabung yang dilaporkan terakhir sudah imbang dengan kekuatan kita di Giriwana Gusti Pangeran. Tapi kemampuan mereka belum teruji. Apakah sudah menyamai prajurit apa belum." Kata senopati Manggala.
"Menurutku harus ada pasukan sandi yang diperbantukan kepada mereka. Tinggal disana dan khusus melayani pemenuhan informasi-informasi yang mereka butuhkan. Bisa jadi mereka tidak tahu jika ada tiga kelompok petani pendatang yang berasal dari daerah selatan." Kata senopati Narotama.
"Segera putuskan pelaksanaan gagasanmu Kakang Narotama. Aku sangat setuju. Kasihan Naga Wulung, jika terjadi apa-apa ia akan terus dibebani rasa bersalah." Kata pangeran Erlangga.
Sementara Dyah Tumambong yang terpaksa ikut rombongan tetirah itu berjalan sambil menundukkan kepala. Sampai keberangkatannya ikut rombongan itu kabar tentang tugas yang diberikan kepada Sawer Welang belum ia dapatkan laporannya. Meski kemarahan ditahannya sekuat tenaga namun ia tak mampu berbuat apa-apa lagi.