Upacara pembakaran mayat korban perang di Kademangan Maja Dhuwur baru saja berlalu. Abu jasad mereka telah terwadahi puluhan cangkang kelapa gading, kini cangkang-cangkang kelapa gading itu dibawa masing-masing keluarga korban ke sungai, untuk melaksanakan upacara  terakhir, nganyut.
Dalam upacara nganyut ini abu jasad korban ditaburkan ke aliran sungai agar hanyut terbawa arus air, hingga sampai ke samudra luas tanpa tepi. Dengan cara itu mereka yakin, kerabat mereka yang meninggal telah kembali ke alam abadi. Bersatu kembali dengan asal usulnya semula.
Demikianlah ajaran tentang Panca Mahabhuta dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Kademangan Maja Dhuwur. Mereka yakin bahwa jasad setiap makhluk hidup mengandung lima unsur, jika meninggal kelimanya harus kembali ke asalnya. Semua yang berasal dari perthivi atau tanah, bayu atau udara, apah atau air, teja atau cahaya / api, dan akasa atau ruang, harus kembali ke wujud semula.
Sementara beberapa cangkang kelapa gading lainnya dibawa ke balai kademangan. Cangkang-cangkang kelapa gading itu berisi abu jasad prajurit Bala Putra Raja, mentrik Gunung Arjuna, dan cantrik Cemara Sewu, yang juga menjadi korban.Â
Ikut terbunuh dalam perang karena membantu menyelamatkan kademangan Maja Dhuwur. Semua akan dibawa pulang oleh rombongan mereka masing-masing, untuk kelak diserahkan kepada keluarganya.
Suasana duka masih menyelimuti kademangan itu. Rasa capek belum juga hilang dari tubuh mereka. Upacara penghormatan terakhir terhadap korban-korban perang itu telah menghisap tenaga dan pikiran banyak pihak. Namun semuanya dapat berjalan dengan baik, penuh khikmat dan terasa sangat sakral.
Rangkaian upacara itu meski telah berlalu masih dikenang oleh semua kawula Maja Dhuwur. Peristiwa yang mengharukan itu mungkin tak bakal terulang lagi. Bahkan semua kawula tak ingin hal semacam itu terulang kembali. Hati mereka berharap mereka dapat hidup tenang, tentram dan dijauhkan dari bencana apapun. Termasuk bencana akibat perang sebagaimana baru saja terjadi.
Kelancaran rangkaian upacara penghormatan korban perang yang mengharukan itu berkat kehadiran maharesi Mpu Barada yang memimpin jalannya upacara. Sejak awal hingga akhir upacara tidak lepas dari petunjuk-petunjuknya. Seluruh kawula Maja Dhuwur tunduk dan patuh mengikuti semua sarannya.Â
Patulangan atau peti mayat berwujud hewan kaki empat, banteng untuk laki-laki dan lembu atau sapi untuk wanita, tidak dibuat sebanyak jumlah korban. Cukup dibuat beberapa buah saja namun ukurannya besar, sehingga satu patulangan bisa mewadahi beberapa jasad korban.
Demikian juga bade atau menara beratap tingkat, tempat di mana nanti patulangan diletakkan dan seterusnya akan dibakar, dibangun langsung di tempat di mana  upacara palebon akan diselenggarakan. Sehingga kawula tak perlu mengarak dan mengusung bade tersebut dari rumah duka.
"Dengan cara itu akan lebih sederhana, tidak merepotkan dan makan biaya banyak. " kata Mpu Barada.
Upacara ngulapin juga dipimpin oleh maharesi Mpu Barada. Permohonan izin kepada Mahadewi Durga tersebut diselenggarakan di Pura Dalem kademangan Maja Dhuwur. Doa dan mantra dilantunkan diselingi bunyi giring-giring yang gemerincing saat tongkat di tangan kanan sang resi digedigkan. Asap dupa dan wangi bunga yang disebarkan di pura itu menambah sakral suasana upacara.
Tahap mesiram atau mabersih dilewati, semua yang meninggal adalah korban perang. Darah yang mengucur dari tubuh mereka diyakini telah menyucikan semuanya. Baik dosa-dosa besar dan kecil di masa lampaupun hilang. Namun rumah duka dan halaman nya tetap harus dibersihkan.
Upacara penyucian jiwa atau ngaskara berjalan dengan lancar, tak ada rintangan apapun. Demikian juga persembahan sesaji atau nirpana, semua ubarampe yang dibutuhkan dipenuhi dengan sempurna. Tiada satupun ubarampe sesaji yang ditinggalkan.
Esok harinya diselenggarakan upacara ngeseng sewa, pembakaran mayat. Dengan api Dewa Brahma jiwa dan raga korban akan dihantarkan untuk kembali abadi. Atma akan kembali kepada Mahaatma, raga teruai lagi ke dalam unsur panca maha bhuta.
Upacara pembakaran mayat ini diselenggarakan di tanah lapang yang terletak di selatan rawa pandan. Dihadiri seluruh warga kademangan Maja Dhuwur, tua-muda, laki-perempuan, dengan mengenakan pakaian adat mereka. Dipimpin langsung maharesi Mpu Barada, guru suci yang sangat mereka hormati.
Sejak keluar pintu balai kademangan dan berjalan menuju tanah lapang di selatan rawa pandan, guru suci itu telah diikuti iringan barisan yang sangat panjang. Para pengawal dan prajurit mengamankan jalan yang akan dilewati sang maharsi. Dengan sikap sempurna mereka berdiri di pinggir jalan, menjadi pagar betis yang rapat yang melindungi keselamatan Mpu Barada.
Setelah sampai di tempat, upacara ngaben atau palebon segera dimulai. Sang maharsi naik panggung kecil yang telah dipersiapkan. Doa dan mantra segera dilantunkan dalam bahasa Sansekerta, diselingi suara gedigan ujung tongkat di tangan kanan maharsi ke lantai panggung, disusul bunyi gemerincing puluhan giring-giring kecil diujung atas tongkat itu saat digetarkan.
Kecuali sang maharsi yang berdiri di tanah lapang itu, semua yang hadir duduk bersimpuh dengan kedua lutut mereka di tanah. Saat sang maharsi melantunkan doa dan mantra, semua yang hadir menguncupkan kedua telapak tangan di atas kepala. Mereka melakukan Sembah Mustaka, sebagai wujud bakti mereka kepada Hyang Widhi.Â
Kawula Maja Dhuwur semua sudah mengenal dan meyakini kebenaran ajaran Tri Sembah Asta itu. Sejak kecil telah diajarkan turun temurun oleh orang tua mereka. Dan dipraktekkan setiap saat dalam kehidupan.
Sembah pertama untuk Hyang Widi pencipta alam semesta. Pelaksanaannya seperti yang mereka lakukan kini, menguncupkan kedua telapak tangan di atas mustaka atau kepala. Sembah itu wujud bakti mereka kepada Sang Mahaatma. Sembah ini sering dilakukan saat melakukan puja di pura dalam kebaktian rutin. Juga saat melakukan puja sukur bersama di acara metri desa.
Sembah kedua adalah Sembah Grana, untuk orang tua atau mereka yang dituakan. Pelaksanaannya kedua telapak tangan dikuncupkan di depan grana atau hidung. Sedangkan terakhir Sembah Jaja, dilakukan saat bertemu saudara, teman atau siapapun yang dianggap sederajad. Pelaksanaannya kedua tangan dikuncupkan di depan jaja atau dada.
Tri Sembah Asta itu adalah manifestasi keyakinan dalam gerak tangan. Meski dilakukan di depan manusia atau makluk lainnya, hakekat maknanya bukan menyembah manusia atau makluk lain di depannya.Â
Tapi penghormatan atas adanya unsur atma yang suci yang bersemayam pada setiap makhluk, yang memberi daya hidup. Sang atma yang berupa cahaya itu diyakini sebagai bagian dari Cahaya Maha Cahaya, zat maha besar yang dimiliki Sang Mahaatma. Sang Maha Widi atau Hyang Wisesa Jagad Pramudhita.
Lantunan doa dan mantra itu masih mengumandang dari mulut sang maharsi. Geremang suaranya diselingi bunyi gedigan tongkat, disusul gemerincing puluhan giring-giring yang tergantung di ujung atas tongkat itu. Semuanya membangkitkan suasana sakral jalannya upacara.
Ditambah aroma yang menyebar yang dibawa semilirnya angin kemarau di pagi hari itu. Aroma wangi bunga sesaji dan harumnya asap dupa yang terus kemelun membubung ke angkasa. Menjadikan suasana sakral ini sedikit mistis, menyebarkan energi yang menyebabkan pikiran dan hati tenang serta bertambah khikmat dalam upacara.
Ketika suara gemeremang itu berhenti, semua menurunkan tangan di atas kepala, sembah mustaka usai. Semua mata melihat Maharsi Mpu Barada menggedigan tongkat ke lantai panggung kecil tempatnya berdiri tiga kali, kemudian menggetarkan tongkatnya. Gemerincing giring-giring terdengar berbunyi sangat nyaring.
Segera sang Maharesi Mpu Barada turun dari panggung itu, menghampiri sebuah bade yang di dalamnya terdapat patulangan atau peti mati berwujud banteng yang berada di atas tumpukan kayu. Seorang petugas berlari membawa obor yang telah menyala ujungnya. Petugas itu menyerahkan obor kepada sang maharsi.
Mpu Barada menerima obor itu, setelah tongkat sucinya ia pindahkan ke tangan kiri. Kemudian ia menghampiri tumpukan kayu yang telah tersiram minyak kelapa. Dengan tenang sang maharsi menyulutkan obor ke tumpukan kayu. Sembari berjalan berputar mengitari bade atau bangunan menara beratap tingkat itu, obor disulutkan pada sisi yang lain.
Setelah selesai menyulut satu bade, beliaupun melangkah menghampiri bade lainnya, yang di dalamnya terdapat peti mati berbentuk lembu. Itulah tempat korban-korban wanita dalam perang. Sambil melangkah ia gedigan tongkatnya. Ketika telah dekat, segera beliaupun menyulutkan api obornya.
Sebentar saja api berkobar, lidah api bergerak-gerak tertiup angin kemarau pagi hari itu. Asap hitam tebal bergulung-gulung membelah angkasa. Ketika telah tercium daging terbakar, puluhan burung gagak berdatangan. Dengan riuh mereka memperdengarkan suaranya, sambil terbang mengelilingi api yang tengah berkobar itu.
Sejalan dengan pergerakan matahari, sinarnya mulai terasa membakar kulit. Ditambah pancaran hawa panas yang bersumber dari beberapa titik perapian, membuat semua orang di tanah lapang dekat rawa pandan itu basah kuyub oleh keringat yang terperas. Namun sejengkalpun mereka enggan berpindah mencari tempat yang lebih teduh.
Cukup lama waktu berjalan, semua menunggu hingga api padam. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut mereka yang hadir dalam upacara ngeseng sewa itu. Semuanya diam menanti api dewa Brahma menyelesaikan tugasnya. Suasana terasa sepi, hanya letupan-letupan kecil saat api memakan sisa-sisa kayu bakar dalam perapian yang terdengar di telinga.
Tiba-tiba terdengar suara tongkat digedigkan lagi, kemudian digetarkan beberapa saat. Bunyi giring-giring yang gemerincing seperti aba-aba bagi semua untuk mengangkat tangan lagi. Tak seorangpun yang tidak melakukan sembah mustaka, termasuk anak-anak kecil yang ikut ibu bapa mereka menghadiri upacara itu.
Maharsi Mpu Barada kembali melantunkan suara nyaringnya memunggah doa dan mantra dalam bahasa Sansekerta. Barangkali ia tengah mengucapkan terima kasih kepada Dewa Brahma yang telah meminjamkan apinya untuk menyempurnakan jazad para korban perang di Maja Dhuwur itu.Â
Suara giring-giring yang gemerincing selalu menyelingi lantunan doa dan mantra sang maharsi. Gemeremang dan gemerincing itu berhenti saat nyala api telah padam, upacara ngeseng sewa alias pembakaran mayatpun usai.
Setelah abu pembakaran telah dingin, semua keluarga korban, beberapa prajurit, cantrik dan mentrik perguruan, sambil membawa cangkang kelapa gading mendekati bekas perapian itu. Sejenak kemudian mereka sibuk mewadahi abu dan sisa tulang belulang korban ke dalam cangkang-cangkang kelapa gading. Begitu selesai mereka berkumpul membentuk barisan untuk membawa abu-abu itu ke sungai.
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat saat abu-abu itu dihanyutkan ke dalam arus sungai Harinjing, dalam upacara nganyut sesuai keyakinan mereka. Upacara terakhir dalam proses menyempurnakan jiwa dan raga para korban perang agar pulang ke alam abadi.Â
*******
Angin dingin bertiup dari selatan, menggerakkan dedaunan di setiap pohon yang tumbuh di kademangan Maja Dhuwur. Kegelapan dan kesepian menyelimuti malam. Hanya suara jangkrik belalang dan angkop pohon nangka yang mengisi keheningan.
Rombongan orang-orang berkuda itu terus bergerak meski jalan mereka pelan, menuju regol kademangan yang baru dilanda perang itu. Seorang pengawal segera turun dari gardu perondan, diikuti beberapa temannya untuk menyambut kedatangan rombongan itu.Â
Semua pengawal sudah tahu, bahwa rombongan orang-orang berkuda itu adalah bagian dari kesatuan prajurit Bala Putra Raja. Sebagian prajurit telah masuk kademangan Maja Dhuwur sejak awal, ikut mempersiapkan pengawal Maja Dhuwur menghadapi pasukan penyerbu. Sedangkan rombongan prajurit berkuda itu tinggal di pesanggrahan di hutan Kedung Cangkring.
Kini semua kekuatan pasukan berkuda ditarik dari pesanggrahan itu. Ada tugas khusus yang akan dibebankan kepada mereka dari senopati Wira Manggala Pati.
Seorang prajurit penghubung segera menemui senopati, mengabarkan bahwa malam itu rombongan prajurit berkuda telah datang. Senopati mengajak Jalak Seta, lurah prajurit Bala Putra Raja itu, bergegas memacu kuda ke regol kademangan.
"Tugas apalagi yang engkau bebankan dipundakku senopati ?" Tanya pemimpin rombongan prajurit berkuda yang tegap gagah itu ketika senopati telah bertemu dengannya.
"Maaf tuan, bukan tuan yang kami minta melaksanakan tugas ini. Tuan bisa beristirahat di kademangan ini dengan nyaman. Kami hanya pinjam pasukan berkuda yang tuan pimpin. Biarlah Jalak Seta yang menjalankan tugas untuk mengambil oleh-oleh yang tertinggal di padepokan Singa Lodhaya." Kata senopati.
"Baiklah. Aku kira tugas itu kau bebankan aku juga." Jawab lelaki tegap kekar pemimpin rombongan berkuda.
Senopati tersenyum. Tentu saja ia tak akan membebani tugas yang remeh itu kepada orang yang penting kedudukannya di pesanggrahan pangeran Erlangga. Di samping itu lelaki gagah itupun datang kesini sekedar ingin bertemu kembali dengan anak-anaknya. Â Kalau dia sempat membantu dalam perang kemarin, hanya karena panggilan jiwanya saja sebagai bekas prajurit.
"Jalak Seta. Pimpin Pasukan berkuda ini menuju padepokan Lodhaya. Kuras semua isi goa di padepokan itu. Untuk oleh-oleh Pangeran Erlangga agar segera bisa menyelesaikan pembangunan istana baru di Wawatan Mas. Sisakan sebagian untuk ki demang Maja Dhuwur, agar bisa membantu penduduk yang rumahnya terbakar." Perintah senopati.
"Siap tuan. Laksanakan perintah sekarang juga." Jawab Jalak Seta.
Demikianlah Jalak Seta yang diikuti prajurit sandi yang pernah ditugaskan ke padepokan itu, segera menggerakkan tangan untuk memberi tanda agar pasukan berkuda itu mengikuti dirinya.Â
Sebuah pasukan kuda segera bergerak menuju ke selatan. Tugas mereka adalah merampas habis harta karun yang dikumpulkan Singa Lodhaya dalam setiap aksi perampokannya. Harta karun itu telah diketahui oleh Sembada dan Sekar Arum, dan telah dilaporkan kepada senopati.
Ketika rombongan orang-orang berkuda itu telah pergi, segera senopati mengajak lelaki tegap gagah berjambang lebat yang duduk di atas kuda putih di sampingnya itu untuk mampir ke balai kademangan.
"Mari tuan kita ke balai kademangan. Salah satu gadis putri tuan tinggal di rumah ki demang."
"Hanya satu ? Aku lihat di pertempuran keduanya di sini ?."
"Benar tuan. Keduanya memang di sini, di kademangan ini. Tapi mereka tidak tinggal serumah." Jawab Senopati.
"Tinggal di mana yang satunya ?"
"Di dusun Majalegi, tinggal di rumah orang tua angkat Sembada. Anak saya."
"Ohhh" lelaki itu mengangguk-anggukan kepala.
Segera mereka bergegas memacu kuda menuju balai kademangan. Seorang pengawal yang bertugas di balai itu segera menghampiri ketika mereka turun dari kuda. Pengawal itu meminta tali kendali kuda dan menuntun hewan itu ke tempat kuda-kuda tamu ditambatkan.
Malam telah larut, semua korban luka yang ditampung di bale itu juga telah tidur nyenyak. Dengan langkah pelan agar tak mengejutkan mereka yang pulas tidur, senopati dan pemimpin pasukan berkuda berjalan menuju ruang tengah rumah ki demang.
"Silahkan tuan beristirahat di ruang saya dulu tuan." Kata senopati.
"Kamu mau kemana ?" Jawab lelaki itu.
"Ke dapur tuan. Barangkali masih ada makanan kecil dan minuman untuk tuan."
"Aaahh, malam telah larut. Jangan mengganggu petugas dapur yang perlu juga beristirahat."
"Tidak tuan. Tentu saya tidak akan mengganggu mereka. Waktu tugas mereka juga telah di atur oleh Nyai Demang dan Sekar Sari. Setiap saat pasti ada petugas yang melayani kebutuhan prajurit."
Lelaki itu diam. Iapun segera duduk di tikar putih yang tergelar di kamar itu. Â Meski malam telah melewati puncaknya, lelaki itu sama sekali tidak merasakan mengantuk. Namun ia enggan keluar kamar, untuk jalan-jalan di malam hari sebagaimana kebiasaannya. Kecuali ia masih asing dengan daerah Maja Dhuwur, kademangan ini juga baru di landa perang. Penjagaan masih rapat dilakukan di setiap gardu perondan.
Senopati berjalan menuju dapur. Wanita setengah tua menyambutnya dengan tangan menggosok-gosok mata. Rupanya wanita itu masih mengantuk saat menggantikan temannya bertugas. Dengan tersipu malu ia bertanya kepada senopati.
"Apa yang bisa saya bantu senopati ?" Kata wanita setengah tua itu.
"Apakah masih ada makanan kecil untuk tamuku ? Tolong buatkan pula minuman hangat dua bumbung. Antar ke ruanganku segera !"
"Baik tuan. Namun sisa jadah tadi siang mungkin sudah agak mengeras. Jika tuan mau bersabar, tunggu aku hangatkan jadah-jadah diperapian. Dikawani minuman sere hangat tentu enak."
"Baiklah. Terserah kamu saja. "Â
Ketika senopati balik badan hendak kembali ke kamarnya, ia menatap seorang gadis yang berdiri dipintu butulan antara ruang tengah rumah ki demang dengan dapur. Gadis itu menguap lebar sambil mengangkat kedua tangan dan meregangkan tubuhnya. Senopati hanya tersenyum melihatnya.
"Baru bangun, Sari ?" Sapa senopati.
"Ohhh, senopati. Ya ya paman." Jawab gadis itu tersipu malu.
"Syukurlah, kebetulan kau sudah bangun. Antar makanan kecil dan minuman untuk tamu istimewaku ke kamar."
"Baik senopati. Siapakah tamu istimewa senopati."
"Pemimpin pasukan berkuda yang tempo hari membantu kita bertempur di medan pertempuran."
"Baik. Siap laksanakan perintah."
"Husss, ini di dapur. Bukan di medan perang lagi." Kata senopati.
Sekar Sari tertawa. Ia bergegas melangkah meninggalkan senopati menuju pakiwan untuk mencuci muka. Setelah ia merasa segar kembali dan kantuknya hilang, ia membenahi rambutnya yang berantakan. Disanggulnya rambut panjang itu di atas kepala, kulit kuning bersih di leher yang jenjang itu terbuka, terlihat menambah cantik dan luwes penampilannya.
Segera ia ke dapur lagi. Wanita tua yang malam itu bertugas baru saja selesai menata calon hidangan untuk tamu istimewa sang senopati. Beberapa biji jadah bakar di atas piring tanah liat dan dua bumbung bambu air sere hangat yang diberi gula aren, siap dihidangkan dengan nampan.
Segera Sekar Sari mengangkat nampan itu dan berjalan menuju kamar senopati. Ketika telah berdiri di depan pintu kamar senopati tangan kanannya mengetuk pelan.
"Permisi senopati, hidangan telah siap."
"Bawa masuk."
Sekar Sari mendorong pintu, kemudian masuk dan melangkahkan kakinya ke meja kecil di pojok kamar. Setelah meletakkan nampan berisi hidangan, ia balik badan dan bergegas hendak kembali ke dapur. Namun sejenak langkahnya terhenti saat sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah dikenalnya, tapi lama tidak tak pernah ia dengar lagi.
"Sari. Kaukah itu, Sekar Sari." Sapa tamu istimewa senopati.
Sekar Sari dengan spontan menoleh, dan menatap mata lelaki tegap gagah berjambang lebat yang juga menatapnya. Dua mata bertemu di ruang kamar senopati yang diterangi damar biji jarak itu. Sekar Sari menutup mulutnya yang menganga dengan dua tangannya.
"Ayah!!" Gadis itu menjerit memanggil lelaki itu.
Sekar Sari tiba-tiba lari dan menjatuhkan tubuhnya di depan lelaki itu. Â Tangis dan air matanya pecah membasahi pipinya. Tangan kanan lelaki itu kemudian membelai rambut Sekar Sari, sedang tangan kiri menumpang di punggung gadis itu.
"Iya Sari. Aku ayahmu. Tumenggung Gajah Alit. Betapa rinduku denganmu, juga adik dan ibumu. Maka aku bulatkan tekad datang kesini, ketika Maja Dhuwur dilanda perang." Jawab lelaki itu dengan kedua pelupuk mata yang juga basah.
"Aku juga rindu ayah. Tapi aku tak tahu kemana aku harus mencarimu. Paman demang Sentika juga tidak tahu keberadaan ayah. Namun kemudian aku mendengar kabar dari senopati Narotama saat datang ke kademangan ini, bahwa ayah masih hidup. Tapi beliau tidak juga menunjukkan di mana ayah berada. Hanya memberitahu bahwa ayah sibuk jadi penasehat utama pangeran di pesanggrahan. Sementara pesanggrahan Gusti Pangeran Erlangga juga masih dirahasiakan keberadaannya hingga kini."
Lelaki itu yang ternyata adalah Tumenggung Gajah Alit mengangguk-anggukan kepala. Ia menatap anak gadisnya yang kini telah dewasa.Â
"Kau tahu di mana Arum tinggal ?"
"Tahu ayah. Ia nggak mau tinggal bersamaku di sini, di rumah paman demang sentika. Namun memilih tinggal di dusun Maja Legi, di rumah janda tua ibu angkat Sembada. Mbok Legi."
"Apakah ibumu juga di sana ?"
"Aku belum mendengar kabar keberadaan ibu sekarang. Kabar terakhir dari senopati Narotama, ibu dan Arum diselamatkan paman Menjangan Gumringsing. Mereka kemudian tinggal di Padepokan Cemara Sewu."
"Benar, ibu dan adikmu sempat tinggal di Cemara Sewu. Tapi tidak lama kemudian mereka berdua ikut Nyai Rukmini tinggal di padepokan gunung Arjuna. Demikian berita dari telik sandi yang aku dengar."Â
"Aku juga baru bertemu dengan Arum ayah. Ketika ia mengiringi kakang Sembada pulang setelah jalankan tugas. Aku juga tidak tahu tugas apa yang mereka emban. Arum sekarang berilmu tinggi ayah."
"Yah, aku sudah tahu. Ia dididik oleh guru yang hebat Nyai Rukmini yang saat mudanya bergelar Si Walet Putih Bersayap Pedang."
"Para pengawal kademangan Maja Dhuwur juga menjuluki Sekar Arum Garuda Cantik Bersayap Pedang, ayah." Kata Sekar Sari.
"Benarkah ?"
"Yah. Tentu ayah bangga dengannya. Akupun bangga pada gadis centil saat kecil dulu itu ayah."
"Apakah kalian berdua tidak centil saat kecil ?" Kata ayahnya sambil tertawa.
Sekar Sari dan senopati tertawa pula bersama.Â
Sebentar kemudian mereka mendengar ayam jantan berkokok bersautan. Tanda pagi telah datang. Sekar Sari pamit keluar kamar hendak mengabarkan kedatangan ayahnya ke keluarga ki demamg Sentika.
(Bersambung)
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H