Sembah kedua adalah Sembah Grana, untuk orang tua atau mereka yang dituakan. Pelaksanaannya kedua telapak tangan dikuncupkan di depan grana atau hidung. Sedangkan terakhir Sembah Jaja, dilakukan saat bertemu saudara, teman atau siapapun yang dianggap sederajad. Pelaksanaannya kedua tangan dikuncupkan di depan jaja atau dada.
Tri Sembah Asta itu adalah manifestasi keyakinan dalam gerak tangan. Meski dilakukan di depan manusia atau makluk lainnya, hakekat maknanya bukan menyembah manusia atau makluk lain di depannya.Â
Tapi penghormatan atas adanya unsur atma yang suci yang bersemayam pada setiap makhluk, yang memberi daya hidup. Sang atma yang berupa cahaya itu diyakini sebagai bagian dari Cahaya Maha Cahaya, zat maha besar yang dimiliki Sang Mahaatma. Sang Maha Widi atau Hyang Wisesa Jagad Pramudhita.
Lantunan doa dan mantra itu masih mengumandang dari mulut sang maharsi. Geremang suaranya diselingi bunyi gedigan tongkat, disusul gemerincing puluhan giring-giring yang tergantung di ujung atas tongkat itu. Semuanya membangkitkan suasana sakral jalannya upacara.
Ditambah aroma yang menyebar yang dibawa semilirnya angin kemarau di pagi hari itu. Aroma wangi bunga sesaji dan harumnya asap dupa yang terus kemelun membubung ke angkasa. Menjadikan suasana sakral ini sedikit mistis, menyebarkan energi yang menyebabkan pikiran dan hati tenang serta bertambah khikmat dalam upacara.
Ketika suara gemeremang itu berhenti, semua menurunkan tangan di atas kepala, sembah mustaka usai. Semua mata melihat Maharsi Mpu Barada menggedigan tongkat ke lantai panggung kecil tempatnya berdiri tiga kali, kemudian menggetarkan tongkatnya. Gemerincing giring-giring terdengar berbunyi sangat nyaring.
Segera sang Maharesi Mpu Barada turun dari panggung itu, menghampiri sebuah bade yang di dalamnya terdapat patulangan atau peti mati berwujud banteng yang berada di atas tumpukan kayu. Seorang petugas berlari membawa obor yang telah menyala ujungnya. Petugas itu menyerahkan obor kepada sang maharsi.
Mpu Barada menerima obor itu, setelah tongkat sucinya ia pindahkan ke tangan kiri. Kemudian ia menghampiri tumpukan kayu yang telah tersiram minyak kelapa. Dengan tenang sang maharsi menyulutkan obor ke tumpukan kayu. Sembari berjalan berputar mengitari bade atau bangunan menara beratap tingkat itu, obor disulutkan pada sisi yang lain.
Setelah selesai menyulut satu bade, beliaupun melangkah menghampiri bade lainnya, yang di dalamnya terdapat peti mati berbentuk lembu. Itulah tempat korban-korban wanita dalam perang. Sambil melangkah ia gedigan tongkatnya. Ketika telah dekat, segera beliaupun menyulutkan api obornya.
Sebentar saja api berkobar, lidah api bergerak-gerak tertiup angin kemarau pagi hari itu. Asap hitam tebal bergulung-gulung membelah angkasa. Ketika telah tercium daging terbakar, puluhan burung gagak berdatangan. Dengan riuh mereka memperdengarkan suaranya, sambil terbang mengelilingi api yang tengah berkobar itu.
Sejalan dengan pergerakan matahari, sinarnya mulai terasa membakar kulit. Ditambah pancaran hawa panas yang bersumber dari beberapa titik perapian, membuat semua orang di tanah lapang dekat rawa pandan itu basah kuyub oleh keringat yang terperas. Namun sejengkalpun mereka enggan berpindah mencari tempat yang lebih teduh.