Sekar Sari dengan spontan menoleh, dan menatap mata lelaki tegap gagah berjambang lebat yang juga menatapnya. Dua mata bertemu di ruang kamar senopati yang diterangi damar biji jarak itu. Sekar Sari menutup mulutnya yang menganga dengan dua tangannya.
"Ayah!!" Gadis itu menjerit memanggil lelaki itu.
Sekar Sari tiba-tiba lari dan menjatuhkan tubuhnya di depan lelaki itu. Â Tangis dan air matanya pecah membasahi pipinya. Tangan kanan lelaki itu kemudian membelai rambut Sekar Sari, sedang tangan kiri menumpang di punggung gadis itu.
"Iya Sari. Aku ayahmu. Tumenggung Gajah Alit. Betapa rinduku denganmu, juga adik dan ibumu. Maka aku bulatkan tekad datang kesini, ketika Maja Dhuwur dilanda perang." Jawab lelaki itu dengan kedua pelupuk mata yang juga basah.
"Aku juga rindu ayah. Tapi aku tak tahu kemana aku harus mencarimu. Paman demang Sentika juga tidak tahu keberadaan ayah. Namun kemudian aku mendengar kabar dari senopati Narotama saat datang ke kademangan ini, bahwa ayah masih hidup. Tapi beliau tidak juga menunjukkan di mana ayah berada. Hanya memberitahu bahwa ayah sibuk jadi penasehat utama pangeran di pesanggrahan. Sementara pesanggrahan Gusti Pangeran Erlangga juga masih dirahasiakan keberadaannya hingga kini."
Lelaki itu yang ternyata adalah Tumenggung Gajah Alit mengangguk-anggukan kepala. Ia menatap anak gadisnya yang kini telah dewasa.Â
"Kau tahu di mana Arum tinggal ?"
"Tahu ayah. Ia nggak mau tinggal bersamaku di sini, di rumah paman demang sentika. Namun memilih tinggal di dusun Maja Legi, di rumah janda tua ibu angkat Sembada. Mbok Legi."
"Apakah ibumu juga di sana ?"
"Aku belum mendengar kabar keberadaan ibu sekarang. Kabar terakhir dari senopati Narotama, ibu dan Arum diselamatkan paman Menjangan Gumringsing. Mereka kemudian tinggal di Padepokan Cemara Sewu."
"Benar, ibu dan adikmu sempat tinggal di Cemara Sewu. Tapi tidak lama kemudian mereka berdua ikut Nyai Rukmini tinggal di padepokan gunung Arjuna. Demikian berita dari telik sandi yang aku dengar."Â