"Baik senopati. Siapakah tamu istimewa senopati."
"Pemimpin pasukan berkuda yang tempo hari membantu kita bertempur di medan pertempuran."
"Baik. Siap laksanakan perintah."
"Husss, ini di dapur. Bukan di medan perang lagi." Kata senopati.
Sekar Sari tertawa. Ia bergegas melangkah meninggalkan senopati menuju pakiwan untuk mencuci muka. Setelah ia merasa segar kembali dan kantuknya hilang, ia membenahi rambutnya yang berantakan. Disanggulnya rambut panjang itu di atas kepala, kulit kuning bersih di leher yang jenjang itu terbuka, terlihat menambah cantik dan luwes penampilannya.
Segera ia ke dapur lagi. Wanita tua yang malam itu bertugas baru saja selesai menata calon hidangan untuk tamu istimewa sang senopati. Beberapa biji jadah bakar di atas piring tanah liat dan dua bumbung bambu air sere hangat yang diberi gula aren, siap dihidangkan dengan nampan.
Segera Sekar Sari mengangkat nampan itu dan berjalan menuju kamar senopati. Ketika telah berdiri di depan pintu kamar senopati tangan kanannya mengetuk pelan.
"Permisi senopati, hidangan telah siap."
"Bawa masuk."
Sekar Sari mendorong pintu, kemudian masuk dan melangkahkan kakinya ke meja kecil di pojok kamar. Setelah meletakkan nampan berisi hidangan, ia balik badan dan bergegas hendak kembali ke dapur. Namun sejenak langkahnya terhenti saat sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah dikenalnya, tapi lama tidak tak pernah ia dengar lagi.
"Sari. Kaukah itu, Sekar Sari." Sapa tamu istimewa senopati.