Malam yang gelap gulita itu mendadak diwarnai seleret cahaya sebuah bintang yang jatuh dari langit. Semua kepala mendongak ke atas. Â Mata mereka menyaksikan cahaya bintang yang menukik ke bawah membentuk garis lurus memotong gelap malam dalam sekejab.Â
Hanya Ki Ardi dan Singa Lodhaya yang masih terpaku mengawasi gerak-gerik lawan. Sama sekali tak peduli terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Juga terhadap bintang yang meluncur menembus segumpal awan. Masing-masing sibuk mencari celah kesempatan untuk melancarkan serangan ke bagian tubuh lawan.
Keduanya masih lincah gesit dan kuat. Meski hampir sehari penuh perut mereka tak terisi makanan, setetespun kerongkongan tak terbasahi minuman, namun tenaga mereka seolah tidak pernah susut.
Semangat mereka masih menggelora untuk menundukkan musuh. Singa Lodhaya dengan cakar baja di sepuluh jari tangannya, Ki Ardi dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Senjata-senjata itu belum mampu dipergunakan untuk menundukkan lawan agar mau menyerah.
Sebenarnya mudah bagi Ki Ardi untuk menghentikan pertempuran. Dengan aji Tapak Naga Angkasa yang dimilikinya, singa galak dari hutan Lodhaya itu bisa dibunuhnya. Namun bukan itu sikap bathinnya, lebih baik memeras tenaga dan keringat untuk berjuang menangkap Singa Lodhaya hidup-hidup, daripada mencabut nyawanya.
Kini lingkaran pengawal dan prajurit yang mengitari arena mereka bertempur semakin padat. Â Jumlah pengawal dan prajurit yang semula terbagi-bagi di beberapa lingkaran pertempuran, sekarang semua 'tumplek bleg' memadati arena di mana keduanya berlaga.
"Sudahlah Maruta, menyerahlah !!. Jangan bernafsu menguras tenagamu untuk sebuah mimpi yang tak akan tergapai. Sadarilah kenyataan, tidak semua keinginan bisa diwujudkan." Kata Ki Ardi.
Lawannya terkejut mendengar sebuah nama yang kakek tua itu sebutkan. Dengan terus menyerang ia bertanya.
"Apa katamu ? Kau panggil aku Maruta ? Maruta sudah mati. Kini di hadapanmu adalah Singa Lodhaya. Pendekar besar yang sebentar lagi menggulung jagad." Jawab Singa Lodhaya.
"Hahaha. Kau ternyata sudah melupakan jatidirimu Maruta. Tertutup oleh mimpi-mimpi besar namun semu, hingga melupakan asal-usulmu sendiri.Â