Matahari musim kemarau itu terus merangkak naik. Cahayanya terang benderang menyapa seluruh penghuni bumi. Panasnya telah menyengat kulit.
Mereka yang sedang bertempur terus mengadu tenaga dan siasat, okol dan akal, bagaimana bisa menjatuhkan lawan. Panas mentari juga membakar kulit mereka. Keringatpun deras membasahi badan. Semangat mereka tak pernah surut sebelum nyawa melayang.
Terdengar suitan panjang dua kali dari mulut senopati. Ia memanggil prajurit penghubung untuk menghadap. Sebentar kemudian nampak seseorang yang berusaha membuka jalan di tengah rapatnya orang-orang yang tengah bertempur.
Lelaki berperawakan kecil itu mendekati senopati, dan mengangguk hormat kepada orang yang dianggap pemimpinnya itu.
"Saya Bajra tuan, dari pasukan sandi, bertugas sebagai penghubung dalam pertempuran ini." Katanya.
"Sampaikan pesanku kepada danyang penunggu hutan, Bajra. Segera perintahkan burung-burung pipit terbang ke lahan petani. Tiba saatnya burung-burung itu mencari makan." Kata senopati.
"Baik tuan."
"Pakai kudamu agar lekas sampai. Matahari telah tinggi." Lanjut senopati.
"Siap senopati. Jalankan perintah sekarang." Kata Bajra.
Lelaki kecil dari kesatuan prajurit sandi bernama Bajra, yang bertugas menjadi penghubung antar pimpinan kelompok pasukan itu segera balik badan. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menerobos sela-sela orang-orang yang sedang mengadu nyawa.