Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 37: Lomba Tanding (Cersil STN)

10 Juli 2024   16:27 Diperbarui: 10 Juli 2024   23:58 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembada dan Sekar Arum segera melanjutkan perjalanan. Sesuai rencana mereka akan menyembunyikan pusaka-pusaka yang telah mereka ambil dari padepokan Lodhaya terlebih dahulu.  Ada tempat yang dianggap Sembada tepat untuk itu, sebuah goa yang sering ia pakai berlatih.

Untuk mencapai tempat itu terpaksa Sembada mengajak Sekar Arum lewat jalan melingkar lewat persawahan. Untuk menghindari beberapa gardu penjagaan. Ia harus merahasiakan keberadaan pusaka-pusaka yang akan mereka simpan. 

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai. Setelah mengikat kuda-kuda mereka pada tanaman perdu, segera keduanya turun ke sungai Tempuran. Tak jauh dari pusaran dua arus air yang bertemu dari dua sungai itu, karena itu di sebut tempuran, terdapat sebuah goa.

Mereka segera masuk pintu goa di lereng tanggul sungai itu. Meski malam sangat gelap, namun mata mereka sangatlah tajam. Selangkah demi selangkah mereka masuk lorong goa itu.

"Ada sebuah ceruk yang cukup dalam di lorong sebelah sana. Kita bisa menyimpan pusaka -pusaka ini dengan aman" kata Sembada.

"Gelap sekali kakang. Kita butuh obor untuk penerangan. Aku belum hafal setiap lekuk goa ini, tidak seperti kakang."

"Baiklah tunggu saja sebentar di sini. Akan aku ambil obor yang biasa aku pakai sebagai penerang tempat di mana aku sering berlatih."

Sembada meninggalkan Sekar Arum. Di sebuah pojok ruangan berlatihnya, ia ambil obor. Sepotong bambu sepanjang lengan itu masih menyimpan minyak jarak di dalamnya. Iapun segera menyalakan obor itu.

Ruangan itu jadi terang. Sembada segera melangkahkan kaki menuju tempat Sekar Arum menunggu. 

"Itu ceruk goa yang kita cari." Kata Sembada menuding sebuah ruangan di dinding lorong goa.  Mereka segera menuju ke sana.

"Tempatnya cukup luas, tapi agak lembab. Apakah tidak kita bersihkan dulu kakang tempat ini ?"

"Lain waktu saja. Kita sudah capek, butuh istirahat beberapa saat. Agar tubuh kita segar kembali."

"Baiklah. Dua hari dua malam kita belum tidur."

Setelah menyimpan semua pusaka, mereka segera keluar dari goa itu. Sebentar kemudian mereka telah duduk di atas kuda, dan berpacu menuju dusun Maja Legi.

Ketika ayam jantan ramai berkokok, dan di balik gunung telah terpancar cahaya mentari,  kuda mereka telah memasuki halaman rumah Mbok Darmi. Sembada tidak segera turun dari kuda, hatinya tercengang memandang bangunan rumah di depan matanya.

"Kau bilang ibu angkatmu janda miskin kakang. Tapi rumahnya kok sangat megah sekali ?" Kata Sekar Arum.

"Kau lihat bangunan rumah ini, bukankah nampak serba baru ? Saat aku pergi meninggalkan rumah ini, untuk menjenguk padepokan Cemara Sewu, sebelum menjalankan tugas yang dititahkan Gusti Senopati Narotama, tiang dan dinding rumah ini semua masih dari bambu.  Atapnya juga keteple, dari daun padi. Tapi sekarang megah, seperti rumah ki demang. Tiang dan dinding serba kayu, atapnya serabut Aren." Jawab Sembada.

"Benarkah ? Berapa lama kakang telah pergi dari dusun ini ?"

"Lebih dari dua bulan. Pasti ki demang yang membangunnya. Sesuai perintah Gusti Narotama untuk memperbaiki rumah Mbok Darmi."

Sekar Arum mengangguk-anggukkan kepala. Ia ikut bangga bahwa keberadaan Sembada memperoleh penghormatan yang besar.

"Marilah kita turun dari kuda, kita ikat dulu keduanya di pagar tanaman Lamtara itu." Ajak Sembada.

Keduanya segera turun dari punggung kuda. Setelah mengikat kuda agar tidak pergi kemana-mana, keduanya melangkah menuju pintu rumah itu. Sembada mengetuk daun pintu yang terukir gambar dedaunan yang indah di depan mereka berdiri.

Sebentar kemudian terdengar langkah kaki di dalam rumah, dan pintupun terbuka lebar. Terlihat seorang wanita menatap Sembada dengan pandangan tercengang. Tiba-tiba ia menubruk sambil menangis.

"Aku kira kau sudah melupakan aku. Tidak mau kembali ke rumahku lagi, Sembada." Kata Mbok Darmi di tengah sedannya.

"Bukankah aku berjanji akan kembali Mbok."

"Kau bilang hanya pergi sebulan. Tapi hampir tiga bulan tak terlihat batang hidungmu. Aku hampir pasrah hidup sebatang kara lagi."

Sembada tertawa. Ia menuntun simbok angkatnya memasuki rumah itu. Setelah duduk di amben bambu dan tangisnya reda ia menatap gadis manis di depannya. Air mata yang deras membasahi pipinya ia usap dengan lengan bajunya.

"Kau antar Sembada sendirian Sekar Sari ? Tidakkah kau ajak calon suamimu, anakmas Handaka ?" Kata Mbok Darmi.

"Dia bukan Sekar Sari, calon isteri Handaka, Mbok. Tapi Sekar Arum, calon isteriku" Kata Sembada sambil tertawa.

"Jangan kau bohongi aku lagi. Meski tua mataku masih bisa melihat jelas. Dia Sekar Sari, calon menantu ki demang Sentika"

Sekar Arum dan Sembada tertawa. Tentu Mbok Darmi belum tahu bahwa Sekar Sari dan Sekar Arum bersaudara.

"Bukan Mbok. Aku adiknya. Namaku Sekar Arum. Saudara kembar Mbokayu Sekar Sari. Kami sama-sama putri Timenggung Gajah Alit. Tempat kedua orang tua kakang Sembada mengabdi." Kata Arum menjelaskan.

"Adik Sekar Sari ? Saudara kembar ? Calon isteri Sembada ? Maha Besar Hyang Widi telah mencipta gadis manis seperti kalian berdua. Sari dan Arum, nama-nama yang cantik. Seindah wajah kalian berdua. Kau dan Sembada bagiku laksana anak-anak dewa, hidupku terasa penuh berkah dekat kalian. Gara-gara Sembada akupun dibuatkan rumah oleh ki demang sebesar ini." Mbok Darmi menangis lagi.

Sekar Arum mendekatinya, ia duduk di amben di sisi Mbok Darmi. Dengan penuh kasih sayang  gadis itu merangkul wanita tua itu, dan mencoba meredakan tangisnya. Pijatan-pijatan yang lembut jari-jari tangan Sekar Arum di punggung janda tua itu sedikit demi sedikit meredakan tangis Mbok Darmi.

Sembada terharu melihat pemandangan itu. Ia lantas keluar rumah lewat pintu belakang. Di halaman belakang rumah itu, ia melihat sudah terbangun pula kandang kuda. Kandang itu cukup luas, bisa untuk lima ekor kuda. Ia segera mengambil kudanya dan kuda Sekar Arum yang tertambat di depan rumah, untuk di masukkan ke kandang itu.

Dengan membawa keranjang dan sabit Sembada segera mencari rumput. Kuda-kuda itu tentu sudah lapar. Mereka leluasa merumput kemarin dalam perjalanan. Pasti mereka sudah lapar lagi. Sama dengan dirinya dan Sekar Arum, baru sekali mengisi perutnya dengan daging ular bakar.

Setelah reda dari tangisnya, Mbok Darmi mengajak Sekar Arum ke dapur untuk masak makanan kesukaan Sembada. Namun gadis itu minta izin hendak membersihkan badan dulu. Karena sudah sehari semalam dirinya belum mandi.

Demikianlah Sembada dan Sekar Arum hari itu tinggal di rumah Mbok Darmi. Mereka menempati kamar sendiri-sendiri. Setelah makan siang dengan bothok lamtara dan gurami bakar, keduanya bisa istirahat dengan bebas.

Matahari terus bergerak, waktupun terus berlalu. Tak terasa hari telah menjelang sore. Kala Sembada dan Sekar Arum masih tidur nyenyak, di halaman kademangan Maja Dhuwur sudah mulai ramai. 

Bersama ibu mereka anak-anak telah hadir di tempat itu. Bukan hendak menonton lomba tanding antar pengawal kademangan, yang di selenggarakan pada malam hari, namun ingin membeli jajanan yang dijual para pedagang yang telah berderet di pinggir jalan.

Acara yang akan digelar di halaman balai kademangan Maja Dhuwur jadi berkah bagi para pedagang. Mereka dapat mengumpulkan ketib demi ketib keuntungan dari penjualan jajanan mereka. Lapis, cenil, samplok, puthu, klepon, dan jajanan lain kesukaan anak-anak,  terjual dengan laris di acara itu.

Baru saat matahari tenggelam di balik gunung, anak-anak itu diajak pulang ibu-ibu mereka. Perut mereka yang telah kenyang sebentar saja membuat mereka tidur dalam gendongan. 

Namun kepulangan mereka tidak menjadikan halaman kademangan Maja Dhuwur sepi. Sebentar kemudian para remaja yang bergabung dalam barisan pembela desa berdatangan. Mereka berbondong-bondong datang dari setiap dusun yang masih jadi wilayah kademangan Maja Dhuwur. 

Demikian juga seluruh pengawal kademangan Maja Dhuwur, ditambah lelaki-lelaki tua yang masih suka menonton adu ketangkasan berkelahi. Semuanya memenuhi halaman kademangan yang luas itu.

Sembada dan Sekar Arumpun tidak ketinggalan. Mereka hadir dalam acara itu pula. Namun mereka mengambil tempat agak jauh di belakang agar tidak dikenali oleh para pengawal.

Arum mengenakan pakaian khususnya, sebagaimana sering ia pakai saat mengembara bersama gurunya; celana dan baju hitam, caping bambu dan cadar hitam. Sepasang pedang bergantung saling silang dalam warangka di punggungnya.

"Kenapa kau pakai pakaian itu ? Tidakkah justru akan menarik perhatian para pengawal."

"Aku sengaja ingin menarik perhatian. Jika Mbokayu Sekar Sari naik panggung aku akan menjajagi ilmunya."

"Aahhh, sejak dulu kau suka aneh-aneh saja."

"Hehehe. Cara ini lebih cepat aku dikenal warga kademangan sebagai saudara kembar Mbokayu Sekar Sari."

"Terserahlah. Asal tidak kebablasan perang tanding."

"Tentu tidak."

Demikianlah, mereka berdua telah berdiri di bawah pohon beringin di halaman kademangan itu. Dari sana mereka bisa menyaksikan panggung yang telah terang benderang. Setiap sudut panggung itu telah di pasang obor yang cukup besar. Apinya yang bergerak-gerak tertiup angin menambah suasana lebih mengasyikan.

Sebentar kemudian ki demang Sentika naik panggung. Beliau sesorah di depan warganya, bahwa acara ini diselenggarakan sekedar sebagai selingan. Bukan untuk mencari siapa yang lebih jago di kademangan ini. Gladen perang yang telah dilakukan rutin setiap hari jangan sampai kendor, maka butuh acara selingan yang bisa meningkatkan gairah kembali.

"Kita butuh penyegaran dengan acara yang menarik seperti ini. Selamat menonton." Kata ki demang mengakhiri sesorahnya.

Demikianlah pesan-pesan ki demang dalam pidatonya yang berapi-api. Ia turun dari panggung diiringi tepuk sorak warga yang memenuhi halaman itu.

"Hidup ki demang. Hidup Maja Dhuwur. Hidup para pengawal."

"Plok plok plok" 

Teriakan-teriakan yang membahana di halaman kademangan itu berhenti ketika Handaka naik panggung. Ia memberi hormat kepada para penonton dengan kedua tangan di dada sambil membungkukkan badan. Lantas ia memainkan jurus-jurus ilmu kanuragan yang di ajarkan ayahnya.

Gerakan-gerakan silat itu terasa lebih mantap karena diiringi suara kendang dan jedhor. Penontonpun menyaksikannya dengan kagum. Lelaki gemuk pendek itu ternyata mampu melakukan gerakan-gerakan silat dengan gesit dan lincah.

Ternyata Handaka hanya melakukan permainan tunggal untuk memperlihatkan seni pencak silat yang dikuasainya. Sampai ia turun terbukti tidak ada lawan bertanding yang dihadapinya. Ia memberi hormat lagi bersama ledakan sorak para penonton saat mengakhiri seni gerak tunggal itu.

Seolah seperti sudah diatur bahwa acara malam itu yang akan tampil di panggung adalah para peminpin pengawal kademangan Maja Dhuwur. Setelah Handaka turun, Guritno dari Sumber Bendo dan Sanepa dari Gedang Sewu melompat dengan lincahnya ke atas panggung. Mereka segera berhadapan hendak melakukan pertarungan bebas.

Para penonton bersorak-sorak gemuruh. Masing-masing menjagokan peminpin pengawal dari dusun mereka.

"Hidup Guritno. Hidup pengawal Sumber Bendo" sorak penonton dari dusun Sumber Bendo.

"Hidup Sanepa, hidup pengawal Gedang Sewu" para penonton dari dusun Gedang Sewu tidak mau kalah, dengan semangat mereka menjagokan pemimpinnya.

Pertarungan mereka di bawah pengawasan seorang prajurit dari pasukan Bala Putra Raja yang di tugaskan di kademangan itu. Dia adalah Jalak Seta, yang sudah banyak dikenal warga sebagai lurah prajurit yang ditugaskan oleh Senopati Narotama.

Ketika gong berbunyi Jalak Seta berteriak sambil menurunkan tangannya yang semula diangkat tinggi. "Mulai."

Lelaki itu lantas mundur ke tepi panggung memberi kesempatan Guritno dan Sanepa bertarung. Sebentar kemudian dua peminpin pengawal itu segera berlaga menunjukkan kemampuan olah kanuragan mereka. 

Di mata warga Maja Dhuwur yang menyaksikan, pertarungan itu sudah cukup menakjubkan. Gerakan mereka cepat keras dan indah. Namun keduanya memang belajar kanuragan dari sumber yang sama, juga lama berlatih yang tak jauh berselisih waktu, sehingga tampak mereka seimbang.

Keduanya saling serang dan desak bergantian dengan dahsyatnya. Membuat hati para penonton yang menyaksikan ikut tegang. Namun pertarungan mereka segera berhenti ketika suara kenthongan berbunyi.

Jalak Seta lantas maju kedepan dan memanggil mereka yang baru bertarung untuk berjabat tangan. Guritna dan Sanepa maju pula, tidak sekedar berjabat tangan tapi juga berangkulan dan saling tepuk punggung bekas pasangan mereka bertanding. Ketika mereka turun panggung penonton bersorak meriah sekali.

Malam itu pasangan yang bertanding selanjutnya di atas panggung antara lain Palguna dari Wana Asri melawan Dananjaya dari Tempuran, Palgunadi adik Palguna melawan Jatmika dari dusun Pelem, dan terakhir Sambaya dari dusun Maja Legi melawan sahabat karibnya Kartika dari dusun Jambu.

Bagi penonton yang paling menegangkan hati mereka adalah pertarungan Sambaya dan Kartika. Meski mereka sehari-hari bersahabat, namun saat di panggung mereka seperti musuh bebuyutan. Keduanya bertarung dengan cepat keras dan dahsyat. Bergantian saling menyerang dan mendesak dengan seru dan sengit.

Kartika bertarung dengan ganas seperti harimau liar. Sambaya meladeninya seperti banteng yang ketaton alias terluka. Keduanya bertarung habis-habisan. Berulang kali tepuk sorak membahana dari para penonton.

Namun ketika kenthongan berbunyi tanda pertarungan harus di akhiri, keduanya dengan patuh menghentikan gerakan-gerakan mereka. Tanpa dipimpin Jalak Seta keduanya berjabat tangan dan berangkulan turun panggung. 

Sorak sorai kembali gemuruh dari tengah penonton. Beberapa remaja bahkan melepas baju melonjak- lonjak kegirangan, sambil melambai-lambaikan baju mereka.

Tidak terasa malam semakin larut. Rasi bintang gubug penceng telah jauh bergeser ke barat. Tanda malam hampir sampai pada puncaknya.

Sebagaimana perintah ki demang acara tidak boleh lewat tengah malam. Maka hari pertama lomba tanding di kademangan itu harus di akhiri. Namun sedikit waktu yang ada hendak digunakan Sekar Sari untuk memperagakan keindahan permainan pedangnya.

Dengan celana dan baju serba merah, rambut panjang terurai, sanggul kecil duduk indah di atas kepala, dan pedang bergantung di pinggang kirinya, gadis itu meloncat ke atas panggung dengan ringannya. Sebagaimana peserta yang lain, calon menantu ki demang itu memberi hormat kepada para penonton.

Semua penonton tercengang dengan penampilannya. Sungguh gadis itu amatlah cantik rupawan. Saat tersenyum dan terlihat giginya yang putih bersih, sangat menarik hati siapapun yang melihatnya. Ditambah dekik di pipinya menambah gadis itu kian manis dan sedap dipandang.

Handakapun bangga menyaksikan calon isterinya berdiri di atas panggung. Ketrampilan bermain pedang Sekar Sari  sangat dikaguminya. Malam itu Sekar Sari hendak peragakan seni bermain pedang tunggal.

Tapi mendadak acara itu gempar. Sebuah bayangan berpakaian serba hitam melayang terbang dari kegelapan malam menuju panggung. Geraknya gesit lincah dan ringan. Ia gunakan kepala penonton sebagai tumpuan kakinya bergerak. Setelah dekat panggung ia melejit berjumpalitan di udara, dan mendarat di lantai panggung dengan ringannya.

"Aku ikut lomba tanding ini. Aku tantang kau melawanku. Tangan kosong atau bersenjata" katanya keras sambil menudingkan tangannya ke arah Sekar Sari.

"Siapa kau ?!! Kami tidak mengundangmu dalam acara ini. Tunjukkan jatidirimu dulu. Jangan bersembunyi di balik caping dan cadarmu." Jawab Sekar Sari tak kalah canthas.

"Tidak ada aturan peserta harus tunjukkan jatidiri. Caping dan cadar inilah identitasku. Bersiaplah. Aku akan segera menyerangmu."

Terpaksa Sekar Sari bersiap menanti serangan tamu yang tak diundangnya. Semua hati penonton yang melihatnya berkesiap kaget, ketika orang berpakaian serba hitam itu dengan gesit lincah cepat dan keras menyerang Sekar Sari.

Seperti terbang gadis itu melompat hendak melayangkan kaki kanannya yang miring lurus ke dada calon menantu ki demang. Sekar Sari sigap menggeser kaki ke kiri dan mencondongkan badannya dengan sikap tangan seperti satria hendak memanah. 

Karena serangan pertamanya gagal, gadis itu mengirim sebuah tendangan sabit kaki kirinya mengarah punggung lawannya. Seperti naga menyelam Sekar Sari menggerakkan kaki kanannya melingkar dengan kaki kiri sebagai poros untuk menghindar. Tangan kanannya menjulur ke atas sedang tangan kiri lurus ke bawah. Sikapnya persis seekor naga yang mengelak dari terjangan ombak di lautan luas.

Tak mau jadi sasaran serangan terus dari lawannya, Sekar Sari melihat pinggang lawannya terbuka. Dengan gesit cepat dan keras ia melompat maju, mengirim tendangan tumit kearah pinggang terbuka itu. Namun lawannyapun cukup waspada. Dengan ringannya ia melompat seperti burung kuntul menjauhi lawannya.

Demikianlah pertempuran keduanya semakin keras seru dan dahsyat. Lebih hebat dari pertarungan Kartika dan Sambaya. Gerak keduanya laksana burung elang yang bertarung di udara.

Semua penonton tercengang dan takjub menyaksikan pertarungan itu. Demikian pula Handaka dan Ki demang Sentika. Mereka kagum terhadap kecepatan gerak Sekar Sari, dalam latihan sehari-hari mereka sudah biasa menyaksikannya. 

Namun kini keduanya juga dibikin takjub. Lawan Sekar Sari mampu melayang-layang terbang mengitari Sekar Sari, seolah tubuhnya tak berbobot seperti kapas terbawa angin pusaran.

Akhirnya Sekar Sari kehilangan kesabaran. Merasa dirinya tak mampu menundukkan lawannya dengan tangan kosong, iapun dengan cepat mencabut pedangnya. Tapi gadis berpakaian serba hitam itupun tak ingin dirinya celaka. Dengan cepat pula ia meraih sepasang pedang di punggungnya.

Namun pertarungan pedang itu akhirnya batal, karena sesosok bayangan tiba-tiba hadir menengahinya. Bayangan itu hadir seperti lawan Sekar Sari. Ia datang dari gelapnya malam.  Tubuhnya melayang terbang dengan kepala penonton sebagai tumpuan lompatan kakinya. Setelah berjumpalitan di udara ia mendaratkan kakinya di panggung dengan ringannya.

"Berhenti kalian. Jangan kalian lanjutkan perkelahian." Kata lelaki itu, sambil kedua tangannya direntangkan.

"Minggir kau Sembada, jangan menghalangi aku menundukkan tamu tak dikenal ini."

"Cukup Sari. Kau tak tahu lawanmu. Arum buang capingmu dan buka cadarmu. Biar Sekar Sari melihatmu."

Tamu tak diundang itu melepas caping dan melontarkan benda itu terbang berputar ke arah penonton. Satu tangannya lagi meraih cadar dan menariknya. 

Rambut tamu itu jatuh tergerai sampai pinggang, sanggul kecil nampak indah bertenger di atas kepalanya. Giginya nampak putih menyala, dan dekik pipinya indah terlihat saat tersenyum. Ia cantik rupawan, persis Sekar Sari.

Semua penonton terkejut.  Melihat tamu tak diundang itu ternyata seorang gadis. Lebih tercengang karena gadis itu wajahnya persis dengan Sekar Sari.   Apakah mereka saudara kembar, semua hati bertanya-tanya.

"Arum!!!" Sekar Sari berteriak menyebut nama. Pedang di tangannya ia lempar ke lantai panggung, kemudian bergegas menghampiri bekas lawannya bertarung. 

Gadis yang baru dipanggil Sekar Sari Arumpun segera memasukkan pedang ke sarungnya. Iapun segera menghampiri Sekar Sari. Keduanya lantas berrangkulan sambil menangis, sama-sama mengucurkan air mata. 

(BERSAMBUNG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun