"Tempatnya cukup luas, tapi agak lembab. Apakah tidak kita bersihkan dulu kakang tempat ini ?"
"Lain waktu saja. Kita sudah capek, butuh istirahat beberapa saat. Agar tubuh kita segar kembali."
"Baiklah. Dua hari dua malam kita belum tidur."
Setelah menyimpan semua pusaka, mereka segera keluar dari goa itu. Sebentar kemudian mereka telah duduk di atas kuda, dan berpacu menuju dusun Maja Legi.
Ketika ayam jantan ramai berkokok, dan di balik gunung telah terpancar cahaya mentari, kuda mereka telah memasuki halaman rumah Mbok Darmi. Sembada tidak segera turun dari kuda, hatinya tercengang memandang bangunan rumah di depan matanya.
"Kau bilang ibu angkatmu janda miskin kakang. Tapi rumahnya kok sangat megah sekali ?" Kata Sekar Arum.
"Kau lihat bangunan rumah ini, bukankah nampak serba baru ? Saat aku pergi meninggalkan rumah ini, untuk menjenguk padepokan Cemara Sewu, sebelum menjalankan tugas yang dititahkan Gusti Senopati Narotama, tiang dan dinding rumah ini semua masih dari bambu. Â Atapnya juga keteple, dari daun padi. Tapi sekarang megah, seperti rumah ki demang. Tiang dan dinding serba kayu, atapnya serabut Aren." Jawab Sembada.
"Benarkah ? Berapa lama kakang telah pergi dari dusun ini ?"
"Lebih dari dua bulan. Pasti ki demang yang membangunnya. Sesuai perintah Gusti Narotama untuk memperbaiki rumah Mbok Darmi."
Sekar Arum mengangguk-anggukkan kepala. Ia ikut bangga bahwa keberadaan Sembada memperoleh penghormatan yang besar.
"Marilah kita turun dari kuda, kita ikat dulu keduanya di pagar tanaman Lamtara itu." Ajak Sembada.