"Kita butuh penyegaran dengan acara yang menarik seperti ini. Selamat menonton." Kata ki demang mengakhiri sesorahnya.
Demikianlah pesan-pesan ki demang dalam pidatonya yang berapi-api. Ia turun dari panggung diiringi tepuk sorak warga yang memenuhi halaman itu.
"Hidup ki demang. Hidup Maja Dhuwur. Hidup para pengawal."
"Plok plok plok"Â
Teriakan-teriakan yang membahana di halaman kademangan itu berhenti ketika Handaka naik panggung. Ia memberi hormat kepada para penonton dengan kedua tangan di dada sambil membungkukkan badan. Lantas ia memainkan jurus-jurus ilmu kanuragan yang di ajarkan ayahnya.
Gerakan-gerakan silat itu terasa lebih mantap karena diiringi suara kendang dan jedhor. Penontonpun menyaksikannya dengan kagum. Lelaki gemuk pendek itu ternyata mampu melakukan gerakan-gerakan silat dengan gesit dan lincah.
Ternyata Handaka hanya melakukan permainan tunggal untuk memperlihatkan seni pencak silat yang dikuasainya. Sampai ia turun terbukti tidak ada lawan bertanding yang dihadapinya. Ia memberi hormat lagi bersama ledakan sorak para penonton saat mengakhiri seni gerak tunggal itu.
Seolah seperti sudah diatur bahwa acara malam itu yang akan tampil di panggung adalah para peminpin pengawal kademangan Maja Dhuwur. Setelah Handaka turun, Guritno dari Sumber Bendo dan Sanepa dari Gedang Sewu melompat dengan lincahnya ke atas panggung. Mereka segera berhadapan hendak melakukan pertarungan bebas.
Para penonton bersorak-sorak gemuruh. Masing-masing menjagokan peminpin pengawal dari dusun mereka.
"Hidup Guritno. Hidup pengawal Sumber Bendo" sorak penonton dari dusun Sumber Bendo.
"Hidup Sanepa, hidup pengawal Gedang Sewu" para penonton dari dusun Gedang Sewu tidak mau kalah, dengan semangat mereka menjagokan pemimpinnya.