Keduanya segera turun dari punggung kuda. Setelah mengikat kuda agar tidak pergi kemana-mana, keduanya melangkah menuju pintu rumah itu. Sembada mengetuk daun pintu yang terukir gambar dedaunan yang indah di depan mereka berdiri.
Sebentar kemudian terdengar langkah kaki di dalam rumah, dan pintupun terbuka lebar. Terlihat seorang wanita menatap Sembada dengan pandangan tercengang. Tiba-tiba ia menubruk sambil menangis.
"Aku kira kau sudah melupakan aku. Tidak mau kembali ke rumahku lagi, Sembada." Kata Mbok Darmi di tengah sedannya.
"Bukankah aku berjanji akan kembali Mbok."
"Kau bilang hanya pergi sebulan. Tapi hampir tiga bulan tak terlihat batang hidungmu. Aku hampir pasrah hidup sebatang kara lagi."
Sembada tertawa. Ia menuntun simbok angkatnya memasuki rumah itu. Setelah duduk di amben bambu dan tangisnya reda ia menatap gadis manis di depannya. Air mata yang deras membasahi pipinya ia usap dengan lengan bajunya.
"Kau antar Sembada sendirian Sekar Sari ? Tidakkah kau ajak calon suamimu, anakmas Handaka ?" Kata Mbok Darmi.
"Dia bukan Sekar Sari, calon isteri Handaka, Mbok. Tapi Sekar Arum, calon isteriku" Kata Sembada sambil tertawa.
"Jangan kau bohongi aku lagi. Meski tua mataku masih bisa melihat jelas. Dia Sekar Sari, calon menantu ki demang Sentika"
Sekar Arum dan Sembada tertawa. Tentu Mbok Darmi belum tahu bahwa Sekar Sari dan Sekar Arum bersaudara.
"Bukan Mbok. Aku adiknya. Namaku Sekar Arum. Saudara kembar Mbokayu Sekar Sari. Kami sama-sama putri Timenggung Gajah Alit. Tempat kedua orang tua kakang Sembada mengabdi." Kata Arum menjelaskan.