Sembada dan Sekar Arum segera melanjutkan perjalanan. Sesuai rencana mereka akan menyembunyikan pusaka-pusaka yang telah mereka ambil dari padepokan Lodhaya terlebih dahulu. Â Ada tempat yang dianggap Sembada tepat untuk itu, sebuah goa yang sering ia pakai berlatih.
Untuk mencapai tempat itu terpaksa Sembada mengajak Sekar Arum lewat jalan melingkar lewat persawahan. Untuk menghindari beberapa gardu penjagaan. Ia harus merahasiakan keberadaan pusaka-pusaka yang akan mereka simpan.Â
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai. Setelah mengikat kuda-kuda mereka pada tanaman perdu, segera keduanya turun ke sungai Tempuran. Tak jauh dari pusaran dua arus air yang bertemu dari dua sungai itu, karena itu di sebut tempuran, terdapat sebuah goa.
Mereka segera masuk pintu goa di lereng tanggul sungai itu. Meski malam sangat gelap, namun mata mereka sangatlah tajam. Selangkah demi selangkah mereka masuk lorong goa itu.
"Ada sebuah ceruk yang cukup dalam di lorong sebelah sana. Kita bisa menyimpan pusaka -pusaka ini dengan aman" kata Sembada.
"Gelap sekali kakang. Kita butuh obor untuk penerangan. Aku belum hafal setiap lekuk goa ini, tidak seperti kakang."
"Baiklah tunggu saja sebentar di sini. Akan aku ambil obor yang biasa aku pakai sebagai penerang tempat di mana aku sering berlatih."
Sembada meninggalkan Sekar Arum. Di sebuah pojok ruangan berlatihnya, ia ambil obor. Sepotong bambu sepanjang lengan itu masih menyimpan minyak jarak di dalamnya. Iapun segera menyalakan obor itu.
Ruangan itu jadi terang. Sembada segera melangkahkan kaki menuju tempat Sekar Arum menunggu.Â
"Itu ceruk goa yang kita cari." Kata Sembada menuding sebuah ruangan di dinding lorong goa. Â Mereka segera menuju ke sana.