Demikian juga seluruh pengawal kademangan Maja Dhuwur, ditambah lelaki-lelaki tua yang masih suka menonton adu ketangkasan berkelahi. Semuanya memenuhi halaman kademangan yang luas itu.
Sembada dan Sekar Arumpun tidak ketinggalan. Mereka hadir dalam acara itu pula. Namun mereka mengambil tempat agak jauh di belakang agar tidak dikenali oleh para pengawal.
Arum mengenakan pakaian khususnya, sebagaimana sering ia pakai saat mengembara bersama gurunya; celana dan baju hitam, caping bambu dan cadar hitam. Sepasang pedang bergantung saling silang dalam warangka di punggungnya.
"Kenapa kau pakai pakaian itu ? Tidakkah justru akan menarik perhatian para pengawal."
"Aku sengaja ingin menarik perhatian. Jika Mbokayu Sekar Sari naik panggung aku akan menjajagi ilmunya."
"Aahhh, sejak dulu kau suka aneh-aneh saja."
"Hehehe. Cara ini lebih cepat aku dikenal warga kademangan sebagai saudara kembar Mbokayu Sekar Sari."
"Terserahlah. Asal tidak kebablasan perang tanding."
"Tentu tidak."
Demikianlah, mereka berdua telah berdiri di bawah pohon beringin di halaman kademangan itu. Dari sana mereka bisa menyaksikan panggung yang telah terang benderang. Setiap sudut panggung itu telah di pasang obor yang cukup besar. Apinya yang bergerak-gerak tertiup angin menambah suasana lebih mengasyikan.
Sebentar kemudian ki demang Sentika naik panggung. Beliau sesorah di depan warganya, bahwa acara ini diselenggarakan sekedar sebagai selingan. Bukan untuk mencari siapa yang lebih jago di kademangan ini. Gladen perang yang telah dilakukan rutin setiap hari jangan sampai kendor, maka butuh acara selingan yang bisa meningkatkan gairah kembali.