Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 30. Musuh Lama (CersilSTN)

15 Juni 2024   14:30 Diperbarui: 16 Juni 2024   08:21 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari telah bangun dari peraduannya. Sinarnya memantul pada dedaunan yang masih basah oleh embun. Ayam hutan tak lagi terdengar kokoknya.

Bonge Kalungkung menebar pandangannya. Tiga orang calon korbannya ternyata masih muda-muda. Namun ia tidak peduli. Baginya siapapun yang membahayakan kelompoknya harus ditebas.

Bonge Kalungkung melangkah maju mendekati calon korbannya. Sembada demikian pula melangkah maju menyongsong lelaki pincang itu. Tangannya memberi isyarat agar kawan-kawannya menjauh. 

Sekar Arum dan Branjanganpun lantas bergeser beberapa langkah, memberi ruang yang longgar untuk arena pertarungan dua pendekar, yang selisih umurnya seperempat abad itu.

"Majulah kalian bertiga. Agar aku cepat selesaikan pekerjaan, mengantar kalian ke alam maut."

"Biarlah aku mencoba menghadapi tuan. Apakah benar tokoh bertangan api yang kesohor di jagat persilatan itu sesuai kenyataan. Atau hanya omong kosong semata."

"Jangan sombong anak muda. Jika kedalaman ilmumu masih dalam tapak itik di atas lumpur rawa-rawa, dalam sekejab nyawamu pasti melayang."

"Kematianku bukan di tangan tuan. Batas hidup dan mati, manusia tidak mampu menentukan."

"Hahaha, hahaha, ihihihih, hehhehheh" Bonge Kalungkung tertawa terbahak bahak. 

Tiga orang di depannya terkejut. Suara Bonge Kalungkung mengandung tenaga sakti yang mengejutkan tiga orang calon korbannya itu. Ia lontarkan aji Gelap Ngampar yang dapat merontokkan jantung lewat tawanya.

Jantung Sembada dan Sekar Arum bergetar sebentar, namun tenaga sakti Aji Naga Angkasa dan Garuda Bersayap Pedang secara otomatis melawan. 

Getaran yang mengalir dari jantung mereka menyebar ke seluruh tubuhnya. Pancaran energi kedua aji itu membangun perisai tak nampak melindungi tubuhnya.

Branjangan yang paling menderita karena suara tawa Bonge Kalungkung. Prajurit sandi itu menekam dadanya dengan kedua tangan. Jantungnya terasa sangat sakit sekali, seperti mau pecah. Mulutnya mendesis desis kesakitan.

Bonge kalungkung heran, ajinya tidak segera membunuh mereka bertiga. Dua orang bahkan mampu bertahan. Iapun lantas mengulangi tawanya yang terbahak bahak.

Akan tetapi tiba-tiba daya sakti tawa itu seolah tertahan oleh angin semilir yang bertiup menyebar bau wangi. Branjangan menghirup udara wangi itu. Iapun heran, kini ia merasakan kembali bisa bernafas dengan lega. 

Bonge Kalungkunglah yang terkejut. Ia tahu ada orang lain yang mencampuri usahanya hendak membunuh tiga orang di depannya itu dengan tawanya.

"He anak demit. Setan. Keluarlah !!! Jangan bersembunyi sambil mengganggu urusanku."

Namun tak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memantul-mantul di pepohonan hutan itu. Berulang kali lelaki pincang itu berteriak-teriak, agar orang yang menyebar udara wangi itu keluar. Namun usahanya sia-sia.

Bonge Kalungkung sangatlah marah.  Tiba-tiba tangannya berubah warna jadi merah  membara. Iapun meloncat dengan cepat ke arah Sembada hendak memukul kepala pemuda itu.

"Nasibmu memang jelek. Kaulah yang mati duluan. Hiaattt"

Namun nasib manusia memang ditentukan oleh kekuatan adi kodrati. Seolah semuanya telah diatur sedemikian rupa, sehingga terasa semua serba kebetulan belaka. Manusia tak mampu memastikan apa yang terjadi sesaatpun yang akan datang.

Sebelum tangan maut Bonge Kalungkung yang membara itu membentur kepala Sembada, sebuah kekuatan yang besar mendorong tubuh pemuda itu ke belakang. 

Selanjutnya terjadilah sebuah benturan ilmu yang dahsyat. Terdengar sebuah ledakan yang keras. Tangan Bonge Kalungkung menghantam dua tangan yang menyilang di atas kepala lelaki  pendek kerdil di depannya.

Lelaki kerdil itu sempoyongan badannya ke belakang, tapi ia masih mampu bertahan untuk berdiri dengan tegak. Sementara Bonge Kalungkung sendiri seperti terpental, badannya melayang di udara, namun dengan lincahnya ia berjumpalitan dan jatuh pada kedua kakinya.

Mata lelaki pincang itu nanar memandang siapa yang berdiri di depannya. Ternyata seorang lelaki kerdil, namun badannya nampak kokoh dan kuat. Lelaki itu sudah lama dikenalnya, sebagai musuh bebuyutan sejak muda.

"Kau Bajang Pasundan. Anak setan demit thethekan. Kau gagalkan usahaku memecah kepala pemuda itu."

"Itu memang pekerjaanku, menggagalkan setiap usahamu bikin kerusakan.  Aku buntuti kau sejak dari sudungmu di lereng Semeru.  Ternyata kau pergi mengunjungi sarang sahabatmu, singa galak yang menakutkan itu. Tentu kalian akan merencanakan sesuatu yang jahat."

"Kau sebut padepokanku sudung ? Aku bukan babi hutan. "

"Lantas aku harus menyebut apa ? Aku tertarik dengan bepergianmu, apa yang akan kalian lakukan ?"

"Itu bukan urusanmu. Apapun yang aku lakukan semua tanggung jawabku."

"Jika yang kau kerjakan tidak merugikan dan membahayakan orang lain, memang itu urusanmu sendiri. Tapi sebaliknya, seperti yang baru saja hendak kau lakukan terhadap murid murid sahabatku ini, tentu itu jadi urusanku pula. Tindakanmu membahayakan, hendak memangkas tunas tunas muda, harapan masa depan." Jawab lelaki kerdil itu sambil menoleh pada Sembada.

Bonge Kalungkung amat marah. Ia benar-benar kesal dengan kelakuan orang kerdil dari tanah Pasundan itu. Ia sering menggangu dan menggagalkan apa yang dikerjakannya. Sejak muda mereka telah bermusuhan. Seperti anjing dan babi hutan  di ladang perburuan.

"Kalau begitu, kaulah yang harus musnah dulu dari muka bumi."

Selesai berucap Bonge Kalungkung meloncat cepat seperti kilat menerjang lelaki yang disebutnya Bajang Pasundan itu.

Tetapi orang kerdil itu ternyata memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna. Tiba tiba tubuhnya melayang terbang di atas kepala lawannya. Dengan manisnya ia turun lagi di tanah tanpa menimbulkan suara apapun.

Bonge Kalungkung membalikkan badannya serta melompat mengirim serangan yang membadai. Dengan mudahnya si kerdil menangkis menolak dan menghindar. Ketika terbuka kesempatan iapun membalas dengan serangan serangan yang membahayakan. Tidak pelak lagi, keduanya segera saling desak mendesak silih berganti dalam pertempuran yang cepat keras dan sengit.

Bagi Sembada dan Sekar Arum, keduanya bisa mengikuti semua gerak kedua tokoh sakti itu bertempur. Mereka bisa mengambil manfaat dengan menyadap setiap gerakan dua pendekar sakti itu untuk memperkaya ilmu mereka.

Namun bagi Branjangan pertempuran itu benar-benar memusingkan kepala. Apa yang tampak di matanya hanya bayangan yang saling berkelebat dengan cepatnya.

Keduanya nampak sama-sama tangguh. Sama sama tidak kelihatan terganggu oleh kekurangan pada jasmani mereka. Bonge Kalungkung meski pincang namun dapat bergerak cepat, secepat badai. 

Demikian juga Bajang Pasundan lawannya, kakinya yang pendek tidak menghambat geraknya, seperti kapuk kering di terjang badai, melayang-layang dengan ringannya.

Ketika Bonge Kalungkung telah mengerahkan puncak ilmunya, tangannya kembali membara, dan menyerang musuhnya lebih dahsyat. Ia bernafsu sekali segera menghabisi lawannya itu.

Namun tiba-tiba pula udara di sekiar arena itu dipenuhi bau wangi lagi. Bau wangi itu  disertai hawa yang semakin lama semakin dingin. Nampak kedua tangan Bajang itu memutih seperti salju. Jika kedua tangan mereka berbenturan terdengar suara seperti logam membara masuk ke dalam air.

Sungguh peristiwa itu sangat menakjubkan bagi tiga orang yang menyaksikannya. Mereka merasa bertambah pengetahuannya tentang berbagai ilmu  kesaktian di muka bumi ini.

Pertempuran itu nampak berimbang. Daya tahan tubuh dua tokoh itu juga mengagumkan. Andai mereka sehari semalam bertempur tanpa makan dan minum kemungkinan mereka mampu melakukannya.

Namun bagi Bonge Kalungkung yang dipikirkan lain. Jika tiga orang yang menonton mereka akhirnya turun ke medan pertempuran, maka keseimbangan pasti berubah. Bukan dirinya yang akan membinasakan lawannya, namun sebaliknya dirinyalah yang akan meregang nyawa.

Maka tiba-tiba lelaki pincang itu melontarkan tubuhnya menjauhi lawan. Sebelum membalikkan badan dan lari dari gelanggang, ia mengumpat kasar.

"Bajang jelek. Anak setan, turunan kuntialanak. Kita lanjutkan kelak pertempuran kita. Aku masih punya urusan penting daripada meladenimu. Sampai jumpa lagi."

Lelaki kerdil itu hanya tertawa lunak mendengar umpatan Bonge Kalungkung. Ia diam saja, tak berusaha mengejar lawannya. Iapun kemudian membalikkan badannya menghadapi tiga orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Sembada segera maju dan melakukan sembah grana. Dua orang temannya juga melakukan hal yang sama. Bajang Pasundan membalasnya dengan sembah dada.

"Terima kasih tuan. Tuan telah membebaskan kami dari kesulitan" kata Sembada.

"Kalian sembrono sekali. Melakukan pengawasan padepokan Lodhaya saat tokoh tokoh sakti berkumpul. Andai kalian ketahuan mereka, akupun tak akan mampu menolong. Sementara menghadapi si pincang Bonge Kalungkung saja nafasku hampir putus. Siapa nama kalian ?"

Tiga orang itu lantas memperkenalkan diri.

"Saya Sembada tuan. Gadis ini adik saya. Namanya Sekar Arum."

"Saya Branjangan, telik sandi pasukan Bala Putra Raja. Pengikut Pangeran Erlangga, menantu almarhum Prabu Darmawangsa di Medang Kamulan."

"Pangeran itu masih hidup ?"

"Masih tuan. Bersama para prajurit yang dipimpin Senopati Narotama. Mereka tinggal di pesanggrahan yang belum boleh kami sebutkan demi keamanan."

Pendekar cebol itu mengangguk-anggukan kepala. Kemudian pandangannya beralih ke Sembada dan Sekar Arum.

"Salamku untuk guru-guru kalian. Kakang Kidang Gumelar dan Nyai Rukmini. Aku sahabat mereka dari tanah Pasundan. Namaku Mang Ogel. Karena tubuhku kerdil Bonge Kalungkung menjulukiku Bajang Pasundan."

"Dari mana tuan tahu kami punya hubungan dengan tokoh-tokoh yang tuan sebutkan ?" Tanya Sembada heran. Karena ia belum pernah bertemu dengan pendekar itu. 

Mang Ogel tersenyum. Bahkan ia tertawa kecil.

"Dari pancaran ajimu. Bukankah kau mewarisi ilmu kakang Kidang Gumelar, Aji Tapak Naga Angkasa. Sedang gadis itu menggunakan Aji Garuda Sakti.  Karena penyalurannya lewat dua pedang, jadi sering disebut Aji Garuda Bersayap Pedang. Ilmu milik Nyai Rukmini.  Meski kalian telah mewarisi ilmu sakti itu, jika kalian  bertemu tokoh sekelas Bogel Kalungkung, kalian perlu hati-hati. Apalagi kini mereka berkumpul di sini."

"Baik tuan. Kami  memang harus lebih berhati hati"

" Naah, salamku untuk  guru-gurumu. Aku belum bisa ketemu mereka. Sampai ketemu lagi.:"

Tiba-tiba Mang Ogel, yang oleh lawannya dijuluki Bajang Pasundan itu lenyap dari pandangan mata. Branjangan menggosok gosok matanya, namun ia tak juga melihat tokoh aneh itu lagi.

"Tubuhnya tidak sempurna, tapi ilmunya tinggi sekali. Bahkan bisa menghilang."kata Branjangan pelan.

Sembada hanya mengangguk membenarkannya.  Namun ia tersenyum dalam hati, bahwa Branjangan berpendapat Mang Ogel bisa menghilang, padahal itu hanya ilmu kecepatan gerak yang tinggi saja. 

Sembada lantas mengajak temannya bergegas meninggalkan tempat itu. 

Sementara Sembada bersama dua kawannya hendak beranjak meninggalkan tempat itu, Bonge Kalungkung telah sampai di balai utama padepokan Lodhaya. Ia tidak bertemu sahabat-sahabatnya di sana, hanya sisa hidangan yang masih banyak di atas meja.

Karena hatinya yang lagi kesal ia lampiaskan perasaannya  dengan menenggak beberapa bumbung tuak. Iapun makan daging rusa bakar yang dioles madu hutan dengan lahapnya.

"Selamat datang Paman Bonge Kalungkung. Paman datang agak terlambat. Ayah dan dua sahabatnya, paman Cucak Arga dan Klabang Gede sedang lelangen di bangsal Madu Branta paman. Jika paman berkenan bisa menyusul kesana." Kata Macan Belang Betina alias Genduk.

Lelaki pincang yang sudah setengah  mabuk itu nanar matanya memandang wanita cantik di depannya. Dengan sedikit sempoyongan ia mendekati wanita putri sahabatnya itu, kemudian merangkul dan menciuminya.

"Lelangen ? Bersenang-senang ? Hahaha bagaimana jika kita juga lelangen bersama."

"Ah  paman sudah tua masih genit juga. Jika kita tidak sedang di sini aku mau saja. Tentu paman masih perkasa. Tapi aku takut ayah marah, dan kakang Kumuda suamiku, Macan Belang Jantan, mengetahui kita. Tentu ia akan ngamuk karena cemburu"

"Jangan takut dengan mereka, aku yang akan menghadapi."

"Jangan paman.  Mari aku antar ke bangsal Madu Branta, paman bisa memilih yang lebih cantik."

Wanita itu segera menuntun lelaki tua mabuk yang tetap merangkul pundak dan menciuminya itu. Setelah mengetuk pintu bangsal, dan pintu terbuka, beberapa wanita cantik segera menyeret mangsa barunya ke dalam. Genduk tersenyum melihat pemandangan itu.

"Dasar lelaki buaya darat. Makin tua makin menjadi." Kata genduk pelan.

Entahlah apa yang terjadi kemudian, biarlah mereka menikmati kesukaannya.

Sementara itu matahari sudah menggelewang ke barat. Angin semilir bertiup, dari selatan. Membawa udara yang sejuk ke halaman padepokan yang terletak di tengah hutan belantara yang lebat dan dikelilingi tanah persawahan yang subur itu.

Para cantrik mulai sibuk lagi membangun panggung bambu yang akan mereka pergunakan untuk memeriahkan pertemuan besar para sakti di padepokan mereka. Sinar matahari tentu tak lagi menyengat kulit mereka, sehingga mereka beramai-ramai menuntaskan kerja mereka yang belum selesai.

Sudah menjadi kesepakatan, ketika tokoh tokoh utama mereka sedang musyawarah tentang rencana besar mereka di balai utama, di halaman padepokan para cantrik menyelanggarakan pertandingan ilmu antar murid perguruan yang hadir.

Tidak saja pertandingan antar murid perguruan besar yang tokoh utamanya telah hadir di padepokan itu, namun acara itu juga dihadiri cantrik-cantrik dari padepokan kecil yang mendukung gerakan mereka.

Berpuluh-puluh batang bambu mereka tebang dari hutan. Dengan kecakapan mereka masing-masing mereka bekerja sama, dalam waktu tiga hari mereka sudah berhasil membangun sebuah panggung yang megah.

Meski kehidupan mereka lebih banyak terisi dengan pengalaman-pengalaman kekerasan dalam berbagai bentuk, perampokan pembegalan perkosaan dan pembunuhan, namun toh mereka masih memiliki selera seni di dadanya. Pangung itu mereka hias dengan aneka dedaunan dan bunga bungaan yang mereka ambil di hutan. Maka berdirilah sebuah panggung yang tidak hanya megah, namun juga indah.

Demikianlah keceriaan tengah memenuhi suasana padepokan itu. Tidak hanya menyenangkan bagi para cantrik, tapi juga menyenangkan bagi tokoh tokoh sakti mereka.

Sementara Sembada dan dua kawannya baru sampai di tempat persembunyian mereka. Setelah memperkenalkan Branjangan kepada dua orang tua yang menunggu goa itu, Sembada mengajak prajurit sandi itu untuk pergi ke sumber air dekat goa persembunyian mereka untuk membersihkan badannya.

"Tunggu. Kalian belakangan saja pergi ke sumber. Aku yang duluan akan mandi." Kata Sekar Arum.

"Baiklah cepat !!. Aku juga sudah gatal-gatal tubuhku." Jawab Sembada.

Sembada lantas mengajak Branjangan duduk di sebuah batu setelah mengambil dua biji ketela bakar dari perapian. Dengan nikmatnya mereka melahap ketela bakar yang agak gosong itu sambil menanti Sekar Arum pulang mandi di sumber air. 

Suara cenggeret nong menemani mereka menghilangkan rasa lapar di perutnya. Suara serangga yang pandai terbang dan getar sayapnya saat hinggap di pepohonan menimbulkan bunyi yang khusus itu, adalah pertanda musim segera berganti. Dari penghujan ke musim kemarau. Dan anginpun mulai berubah arah, serta kandungan uap airnya semakin berkurang. Itulah cakra manggilingan alam karya Hyang Maha Agung yang masih misteri bagi mereka.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun