Jantung Sembada dan Sekar Arum bergetar sebentar, namun tenaga sakti Aji Naga Angkasa dan Garuda Bersayap Pedang secara otomatis melawan.Â
Getaran yang mengalir dari jantung mereka menyebar ke seluruh tubuhnya. Pancaran energi kedua aji itu membangun perisai tak nampak melindungi tubuhnya.
Branjangan yang paling menderita karena suara tawa Bonge Kalungkung. Prajurit sandi itu menekam dadanya dengan kedua tangan. Jantungnya terasa sangat sakit sekali, seperti mau pecah. Mulutnya mendesis desis kesakitan.
Bonge kalungkung heran, ajinya tidak segera membunuh mereka bertiga. Dua orang bahkan mampu bertahan. Iapun lantas mengulangi tawanya yang terbahak bahak.
Akan tetapi tiba-tiba daya sakti tawa itu seolah tertahan oleh angin semilir yang bertiup menyebar bau wangi. Branjangan menghirup udara wangi itu. Iapun heran, kini ia merasakan kembali bisa bernafas dengan lega.Â
Bonge Kalungkunglah yang terkejut. Ia tahu ada orang lain yang mencampuri usahanya hendak membunuh tiga orang di depannya itu dengan tawanya.
"He anak demit. Setan. Keluarlah !!! Jangan bersembunyi sambil mengganggu urusanku."
Namun tak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memantul-mantul di pepohonan hutan itu. Berulang kali lelaki pincang itu berteriak-teriak, agar orang yang menyebar udara wangi itu keluar. Namun usahanya sia-sia.
Bonge Kalungkung sangatlah marah. Tiba-tiba tangannya berubah warna jadi merah  membara. Iapun meloncat dengan cepat ke arah Sembada hendak memukul kepala pemuda itu.
"Nasibmu memang jelek. Kaulah yang mati duluan. Hiaattt"
Namun nasib manusia memang ditentukan oleh kekuatan adi kodrati. Seolah semuanya telah diatur sedemikian rupa, sehingga terasa semua serba kebetulan belaka. Manusia tak mampu memastikan apa yang terjadi sesaatpun yang akan datang.