Pertempuran itu nampak berimbang. Daya tahan tubuh dua tokoh itu juga mengagumkan. Andai mereka sehari semalam bertempur tanpa makan dan minum kemungkinan mereka mampu melakukannya.
Namun bagi Bonge Kalungkung yang dipikirkan lain. Jika tiga orang yang menonton mereka akhirnya turun ke medan pertempuran, maka keseimbangan pasti berubah. Bukan dirinya yang akan membinasakan lawannya, namun sebaliknya dirinyalah yang akan meregang nyawa.
Maka tiba-tiba lelaki pincang itu melontarkan tubuhnya menjauhi lawan. Sebelum membalikkan badan dan lari dari gelanggang, ia mengumpat kasar.
"Bajang jelek. Anak setan, turunan kuntialanak. Kita lanjutkan kelak pertempuran kita. Aku masih punya urusan penting daripada meladenimu. Sampai jumpa lagi."
Lelaki kerdil itu hanya tertawa lunak mendengar umpatan Bonge Kalungkung. Ia diam saja, tak berusaha mengejar lawannya. Iapun kemudian membalikkan badannya menghadapi tiga orang yang menyaksikan pertempuran itu.
Sembada segera maju dan melakukan sembah grana. Dua orang temannya juga melakukan hal yang sama. Bajang Pasundan membalasnya dengan sembah dada.
"Terima kasih tuan. Tuan telah membebaskan kami dari kesulitan" kata Sembada.
"Kalian sembrono sekali. Melakukan pengawasan padepokan Lodhaya saat tokoh tokoh sakti berkumpul. Andai kalian ketahuan mereka, akupun tak akan mampu menolong. Sementara menghadapi si pincang Bonge Kalungkung saja nafasku hampir putus. Siapa nama kalian ?"
Tiga orang itu lantas memperkenalkan diri.
"Saya Sembada tuan. Gadis ini adik saya. Namanya Sekar Arum."
"Saya Branjangan, telik sandi pasukan Bala Putra Raja. Pengikut Pangeran Erlangga, menantu almarhum Prabu Darmawangsa di Medang Kamulan."