Di tempat persembunyian, Sembada mendapat keterangan jika Padepokan Lodhaya akan menyelenggarakan pertemuan para sakti golongan hitam. Tokoh-tokoh golongan itu akan berkumpul di padepokan ini saat purnama naik bulan ini. Sebagian tokoh utama itu sudah datang, dan menghuni pesanggrahan yang telah dipersiapkan untuk masing masing perguruan.
"Kita tunggu pertemuan mereka, sebelum kita mengambil kembali payung keramat itu." Kata Ki Ardi.
"Apakah tidak terlambat Kek ? Mungkin penjagaannya akan semakin mereka rapatkan. Karena banyak tamu yang akan hadir." Kata Sekar Arum.
"Saat pertemuan itu barangkali benar, mereka akan lebih waspada. Karena di antara golongan hitam sendiri tidak sepenuhnya saling percaya" jawab Ki Ardi. "Baru jika semua tamu sudah pulang, penjagaan tentu mengendor." Sambungnya.
"Apalagi kau baru saja bikin gara-gara Arum. Kau lukai cantrik-cantrik padepokan itu. Tentu mereka berfikir, padepokan mereka telah diawasi mata mata. Mereka akan lebih waspada." Kata Nyai Rukmini.
"Aku marah guru, mereka melecehkanku."
"Itulah sebabnya, aku sering bilang, kau masih perlu belajar banyak bersabar. Agar nalarmu bisa kau gunakan untuk meninjau kemungkinan lebih jauh."
"Baik guru."jawab Arum sambil menundukkan kepala.
"Apakah Ki Ardi sudah tahu di mana pusaka itu disimpan ?" Tiba-tiba Sembada bertanya.
"Belum. Aku belum sempat berpikir tentang itu. Aku lebih tertarik dengan rencana pertemuan mereka. Pasti mereka akan membangun kesepakatan untuk melakukan sesuatu. Mereka mencuri payung keramat itu tentu dilandasi oleh pikiran, bahwa mereka kelak akan merebut kekuasaan. Untuk itu mereka perlu menyusun kekuatan, sekaligus mencari landasan untuk menopang kelangsungan kekuatan itu. Saat itulah yang membahayakan." Ki Ardi menjelaskan sikapnya.
Sembada mengangguk-anggukkan kepala. Pikirannya selama ini hanya berpusat pada upaya mengambil kembali payung keramat Tunggul Naga. Sama sekali tidak pernah berpikir tentang rencana besar golongan hitam, terkait usahanya mengumpulkan benda-benda pusaka itu.
"Benar Ki Ardi. Itulah sebabnya murid murid utama mereka menggalang kekuatan merebut kademangan Majaduwur. Rupanya kademangan yang subur itu hendak digunakan sebagai landasan kekuatan mereka. Namun upaya itu telah gagal."
"Yah, upaya itu telah kau gagalkan. Tapi bukan berarti mereka lantas berhenti. Mungkin mereka dulu tidak memperhitungkan keberadaanmu."
"Bukan aku yang menggagalkan Ki, tapi semua pengawal kademangan."
"Yah. Meski kaulah yang mengambil peranan menentukan. Tanpa kehadiranmu beserta seluruh kemampuanmu pasukan pengawal itu pasti ludes duluan. Mereka akan terlambat andai memanggil pasukan cadangan sekalipun. Aku melihat sendiri perang di padang ilalang itu, dari awal hingga akhir."
Sembada diam tak dapat mengelak.
Ia mengingat kembali peristiwa saat itu. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Hendak membinasakan setiap musuh yang dihadapi. Termasuk Gagak Ijo dan Klabang Ireng yang menghadangnya. Namun niat itu ia urungkan, karena tujuan awalnya ia terjun sekedar mengurangi beban berat para pengawal. Bukan membunuh musuh sesuka hatinya.
"Namun Ki Ardi, sekarang saat yang tepat mencari tahu di mana pusaka itu disimpan. Jika kelak ada kesempatan kita tak perlu bingung mencarinya." Kata Sembada.
Ki Ardi mengangguk-angguk. Iapun lantas memandang Nyai Rukmini. Wanita pendekar itu rupanya juga setuju dengan gagasan Sembada.
"Aku sepakat dengan pendapatmu Sembada. Tapi caranya bagaimana ?. Penjagaan ketat sekali, setiap jengkal tanah dijaga cantrik padepokan. Kita kesulitan masuk tanpa diketahui." Kata wanita itu.
"Aku ingin melihat keadaan padepokan itu. Sebelum memutuskan cara memasukinya, untuk mencari tempat di mana pusaka itu disembunyikan." Kata Sembada.
"Aku ikut kakang Sembada. Aku bisa jadi petunjuk jalan. Karena aku telah dua kali mengelilinginya." Kata Sekar Arum.
"Ahhh, niatmu bukan jadi petunjuk jalan, Sekar. Tapi hanya ingin selalu dekat dengan Sembada." Nyai Rukmini meledeknya.
"Ahh guru. Jangan membuatku malu."kata Sekar Arum merah mukanya. Sembada tersenyum melihatnya.
"Baiklah Arum. Daripada aku mencari-cari jalan sendiri, lebih baik ada petunjuk jalan. Kita bisa saling tukar pendapat untuk membuat perencanaan nanti." Kata Sembada.
Sekar tersenyum lega. Keinginannya selalu dekat dengan Sembada, sebagaimana telah ditebak isi hatinya oleh Nyai Rukmini, mendapat respon pemuda itu.
Akhirnya mereka membuat kesepakatan apa saja yang akan mereka lakukan malam itu.
Sementara itu di balai utama padepokan Lodhaya, ki Singa Maruta yang lebih tersohor dengan julukan Singa Lodhaya, tengah menemui tamunya.  Mereka adalah Cucak Arga guru Gagak Ijo dan Klabang Gede guru Klabang Ireng. Ketiganya sedang menunggu kedatangan teman mereka pendekar pincang dari lereng Semeru  Bonge Kalungkung.
Seorang wanita yang juga berpakaian pendekar tengah memimpin beberapa cantrik untuk menghidangkan suguhan bagi para tamunya. Ia adalah Macan Belang betina anak tunggal ki Singa Maruta, yang pernah terluka dadanya oleh pedang Sekarsari dalam pertempuran di padang ilalang kademangan Majaduwur.
Rupanya luka di dada yang cukup dalam itu kini sudah sembuh. Terbukti ia sudah mampu bergerak bebas dan memimpin para cantrik.
"Tuaknya mana, Genduk ?" Singa Maruta bertanya pada anaknya.
"Sebentar ayah. Cantrik-cantrik kerjanya lamban sekali ini."jawab Macan Betina yang sehari-hari dipanggil Genduk oleh ayahnya.
Wanita itu bergegas pergi ke dapur padepokan. Dengan suara agak keras ia menanyakan tentang tuak kegemaran ayahnya. Â Kepala dapur segera menghadap dan memberi laporan.
"Baru mengambil tuak simpanan Den Ayu. Tuak di dapur bukan tuak kegemaran Ki Singa. Ia hanya penghangat untuk para cantrik"
"Beri tahu cantrik yang betugas agar cepat bekerja"
"Baik den Ayu"Â
Kepala dapur bergegas laksanakan perintah.
Sebentar kemudian beberapa kendi berisi tuak dibawa para cantrik memasuki balai utama. Ki Singa Maruta berbinar matanya, tuak aren yang telah lama ia peram dalam gentong di bawah tanah kini telah siap mereka nikmati. Bersama daging rusa dan daging babi hutan hasil buruan mereka yang matang dibakar.
"Kakang Cucak Arga dan Kakang Klabang Gede, mari kita nikmati bersama hidangan ini. Adhi Bonge Kalungkung tak perlu kita tunggu, ia punya kesukaan sendiri."Â
Tanpa harus dipersilahkan dua kali, dua tokoh sakti sahabat Ki Singa Maruta itu melahap hidangan yang disajikan. Bersama tuan rumah mereka menikmati daging rusa dan daging babi hutan yang dibakar. Permukaan daging yang dioles madu lebah hutan itu alangkah nikmat mereka rasakan.
Demikian juga tuak aren yang telah diperam berminggu-minggu dalam gentong di bawah tanah itu alangkah nikmatnya. Bumbung demi bumbung telah mereka tenggak, hingga kesadaran mereka sedikit demi sedikit telah hilang.
Ki Singa Maruta tiba-tiba berdiri. Ia mengajak kedua temannya untuk pindah tempat.
"Marilah ikut aku. Ada hidangan untuk kalian yang tidak kalah nikmat."
Meski ketiganya sudah gontai jalannya, sepecak demi sepecak mereka melangkah. Ki Singa Maruta mengajak temannya ke sebuah bangunan khusus di belakang balai utama padepokan.Â
Ki Singa menarik tali yang mengelawer di depan pintu bangunan itu. Terdengar genta logam berbunyi. Sebentar kemudian nampak seorang wanita membuka pintu, dan mempersilahkan para tamunya masuk.
Tiga lelaki yang telah berusia setengah abad lebih itu menerobos pintu. Â Beberapa wanita cantik segera menyambut dan mengerubuti mereka, dan menuntun masing masing lelaki itu memasuki kamar. Wanita wanita genit itu riuh cekikikan membuka pakaian lelaki-lelaki tua setengah mabuk itu.
Dan entah apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Sembada dan Sekar Arum telah berhasil menerobos hutan Lodhaya. Mereka mendekati tempat di mana padepokan lodhaya berada. Sembada tercengang menyaksikan betapa padepokan itu besar sekali.
Sebuah bangunan besar berada di tengah bangunan-bangunan kecil yang berderet-deret melingkarinya. Halaman yang sangat luas berada di antara bangunan besar dan deretan bangunan-bangunan itu. Bangunan besar itu tentu balai utama, tempat tinggal ki Singa Maruta. Sedang deretan bangunan kecil-kecil yang jumlahnya puluhan itu tempat para cantrik.
Terdapat beberapa gardu penjagaan yang ditunggu beberapa cantrik di beberapa tempat. Terutama di setiap lorong jalan masuk padepokan itu. Kecil kemungkinan orang asing masuk tanpa di ketahui. Karena akan cepat dikenali sebab pakaian mereka tentu berbeda. Semua cantrik hanya memakai cawat putih, dan bersenjata pedang.
Di belakang bangunan itu terhampar sawah dengan tanaman padi. Padepokan itu ternyata mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Terbukti tanaman padi tumbuh subur di sawahnya.
Semua bisa disaksikan Sembada dari atas sebuah pohon. Gelapnya malam di padepokan itu dihalau banyaknya obor yang menyala di sana.
Setelah selintas mengamati padepokan lodhaya dari sisi barat, Sembada dan Sekar Arum bergeser ke arah selatan. Mereka segera bersembunyi di balik pohon, ketika terdengar suara kerumunan orang berteriak-teriak marah. Pelan-pelan mereka mendekat, sambil tetap berusaha berlindung di balik pepohonan.
Nampak gerombolan orang itu menggiring seorang lelaki asing menuju gardu perondan. Sembada segera mengenali lelaki pesakitan itu adalah prajurit telik sandi. Kelihatan dari ciri warangka keris gayaman yang ia pakai, serta letak memakainya. Lelaki itu tak lagi mampu melawan karena kedua tangannya terikat.
"Kita bebaskan dia."bisik Sembada dekat telinga Sekar Arum. Gadis itu mengangguk.
"Pancing sebagian cantrik meninggalkan kerumunan." Bisiknya lagi. Sekar Arum tanggap. Ia segera menyusup sedikit menjauh dari Sembada. Dari tempatnya yang baru ia tertawa agak keras.
Rupanya para cantrik mendengar tawa seseorang. Segera mereka menghunus pedang dan merunduk-runduk menuju asal suara tawa itu. Hanya dua orang yang menjaga tawanan dengan pedang terhunus pula.
Tanpa disadari dua cantrik penjaga tawanan, sembada pelan menghampirinya. Dengan kecepatan gerak yang tinggi Sembada meloncat. Dengan sentuhan tangan pada leher masing masing dua orang cantrik tiba tiba lemas dan jatuh ke tanah.
Segera Sembada melepas tali yang mengikat tangan tawanan itu. Kemudian mengajaknya menyusup ke dalam gerumbul pepohonan hutan. Mereka bersembunyi sebentar di balik pohon.
Dengan menirukan suara burung kedasih Sembada memanggil Sekar Arum. Sesaat kemudian gadis itu telah datang.
"Kenapa tergesa gesa memanggilku ? Aku ingin menghajar mereka dulu. Karena isyarat suara burung nggak jadi kulakukan." Katanya Sekar Arum kecewa.
"Nggak perlu. Mereka hanya cucurut yang nggak banyak berperan. Kita biarkan mereka hidup."
"Kemana kita ? "
"Kita lanjutkan pengamatan. Ki sanak masih kuat ?"
"Masih tuan. Terima kasih telah membebaskan kami. Semula aku sudah pasrah, tak berpengharapan hidup lagi."
"Kamu prajurit sandi dari mana ?"
"Saya prajurit sandi pasukan bala putra raja. Kami pengikut Gusti Senopati Narotama."
"Sudah aku duga, sejak kulihat jenis warangka kerismu dan cara kau membawanya, menggantung di depan perut."
"Siapakah tuan berdua ?"
"Kami anggota pengawal kademangan Majaduwur."
"Apakah tuan bernama Sembada ?"
"Benar, aku Sembada. Dan ini adikku Sekar Arum. Dari mana kamu tahu."
"Semua prajurit sandi tahu. Gusti Senopati Narotama sendiri yang memberi tahu, bahwa tuan utusan beliau. Jika bertemu kami diminta untuk membantu tuan. Tapi saya yang tuan tolong."
"Berapa orang yang dikirim ?"
"Sepuluh orang. Namun kami bergantian menyusup kemari."
"Sudahkah kalian tahu di mana kira-kira pusaka disimpan ?"
"Kami agak curiga ada tempat yang dijaga agak ketat, tuan. Dari timur padepokan nampak beberapa cantrik bersenjata lengkap. Kecuali pedang mereka membawa busur kemana mana."
"Tunjukkan padaku tempat itu."
"Mari tuan, kita menyusup menjauh sedikit dari tempat ini. Baru kita menuju ketimur padepokan."
Ketiga orang itu lantas mengendap-endap dan menerobos hutan itu menjauh dari gardu penjagaan. Baru mereka berusaha mengarahkan langkah mereka mengikuti petunjuk pasukan sandi itu.
Ketika telah sampai prajurit sandi itu mengangkat tangan mengarahkan telunjuknya ke suatu tempat di belakang balai utama padepokan. Di sana ada pohon besar, di bawahnya nampak ada sebuah gumuk, bukit kecil mungkin dari batu cadas, yang dijaga beberapa orang. Para cantrik itu membawa busur di pundaknya dan pedang menggantung di pinggang mereka. Sebagian duduk di gardu kecil dekat gunung kecil itu, sebagian mondar mandir di depan gumuk batu itu.
"Benar. Penjagaan ketat itu mengisyaratkan kita, itu tempat penting. Kemungkinan ada lubang di bawah gumuk untuk menyimpan pusaka yang mereka curi. Busur-busur itu adalah alat pengirim pesan, mereka tentu menyimpan panah sendaren. Panah yang bisa meraung di udara."
Sekar Arum dan prajurit sandi itu mengangguk-angguk.
"Sebuah kerja yang sangat sulit untuk membuktikan kebenaran sangkaan tuan. Kita pasti ketahuan bila menyusup kesana."
"Tapi temuan ini sudah cukup bagi kita sekarang. Kita pikirkan dan renungkan bersama di tempat persembunyian kita, apa yang harus kita lakukan. Sambil menunggu pertemuan para sakti yang tentu hendak bermusyawarah tentang rencana besar mereka."
"Aku bagaimana tuan ? Apa yang harus aku kerjakan ?"
"Jangan panggil aku tuan. Panggil namaku saja, Sembada. Dan kau, siapa namamu ?"
"Saya Branjangan tuan. Eh Sembada."
"Kau ikut kami dulu Branjangan. Kita musyawarahkan bersama rencana kita. Hubungi kawan-kawanmu, agar kita nanti tidak bertindak sendiri-sendiri."
"Baiklah Sembada, aku ikut kalian."
Mereka lantas meninggalkan tempat itu, hendak kembali ke tempat persembunyikan mereka. Temuan yang mereka dapatkan hendak mereka jadikan bahan musyawarah. Bagaimana cara membuktikan dugaan mereka.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Sembada segera maju dengan penuh waspada. Lelaki pendatang itu tentu berilmu tinggi. Ia mampu meredam suara kelesat kakinya bergesekan dengan tanah saat berjalan.
"Apa yang akan kalian rencanakan ? Tingkah laku kalian mencurigakan. Memata-matai padepokan sahabatku. Tentu kalian hendak merencanakan suatu yang jahat." Lelaki itu menegur.
"Apa pedulimu dengan tingkah kami ? Kita tak punya persoalan apa-apa." Jawab Sembada.
"Anak-anak setan. Jelas aku peduli. Jika ada orang yang membahayakan padepokan Lodhaya. Karena Singa Maruta pemiliknya adalah sahabatku."
"Siapakah tuan ? Mengaku-aku sahabat Singa Lodhaya."
"Bonge Kalungkung, si pendekar pincang dari Lereng Semeru. Apakah kau pernah dengar."
Sembada terkejut. Ia pernah mendengar nama tokoh ini dari gurunya. Tataran ilmunya setara Singa Maruta, guru Macan Belang. Juga setara Cucak Arga, guru Gagak Ijo. Ia harus berhati hati.Â
Tidak seperti sahabat-sahabatnya, yang memiliki cantrik dan padepokan, Bonge Kalungkung selamanya sendirian. Ia selalu hadir membantu sahabat-sahabatnya itu jika mereka tengah melakukan pekerjaan yang besar.
Namun tokoh ini memiliki kekejaman yang tidak kalah dengan para sahabatnya. Ia tega membunuh siapapun yang tidak disukainya. Tidak menutup kemungkinan ia akan menghukum mereka bertiga dengan tangan mautnya.
Tapi Sembada bertekad menghadapinya apapun yang terjadi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H