"Tapi sekarangpun belum terlambat kang. Barangkali rejeki Mbok Darmi baru dibuka sekarang"
"Yah. Benar. Belum terlambat, karena Mbok Darmi belum mati kerobohan rumahnya. Tapi perintah Gusti Senopati benar benar membuat kita malu."
Teman-teman Sambaya diam, merenungi perkataan pemuda itu. Namun segera Sambaya mengalihkan pembicaraan, meski topiknya tetap tentang Sembada.
"Tahu tidak, saat mengintip Gusti Senopati Narotama menjajagi ilmu Sembada aku dan Kartika hampir mati. Namun Sembada menolong kami."
"Benarkah itu kang ?"
"Atas ijin Sembada aku ingin melihat pertemuan ki demang dan Sembada di tanah lapang dekat rawa pandan di dusun kita. Ternyata ki demang tidak sendirian. Ia bersama Gusti Senopati."
"Terus..."
"Kami datang sembunyi-sembunyi. Mengintip mereka di balik pohon Randu Alas yang besar itu. Jarak kami agak jauh, namun karena sinar bulan kami bisa melihatnya. Namun apa isi pembicaraan mereka kami tak mampu mendengar."
"Terus kang..."
"Tahu-tahu Gusti Senopati dan Sembada berhadapan. Tidak lama kemudian mereka bertempur. Sungguh aku baru pertama kali itu melihat pertempuran dua orang berilmu raksasa, maksudku berilmu tinggi. Dahsyaat, dahsyat sekali. Keduanya bisa melayang layang terbang, laksana dua rajawali yang bertarung. Ketika keduanya mendarat, seperti naga dan banteng sedang berlaga."
"Sayang kita tidak ikut melihat..."