Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 26. Tunaikan Tugas (Cersil STN)

31 Mei 2024   10:09 Diperbarui: 2 Juni 2024   11:14 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah malamnya pamit kepada gurunya, serta adik-adik seperguruannya, pagi-pagi sekali Sembada berangkat tunaikan tugas.  Ia hela kudanya berlari pelan keluar halaman pedepokan, hingga melewati beberapa desa. Setelah masuk jalan bulakan, ia larikan kudanya seperti angin.

Ia ambil jalur jalan selatan. Kata gurunya jalan itu nanti akan langsung masuk daerah lereng Kelud sebelah selatan.  Setelah menyebrang Brantas, jika tidak berhenti di jalan, setengah hari ia akan sampai di desa Wates.

Di desa ini sebaiknya Sembada menitipkan kudanya. Gurunya punya seorang sahabat di desa ini, seorang saudagar kaya raya, bernama Wangsa Jaya, yang bisa dititipi kuda. Asal Sembada memperlihatkan sebuah benda yang dipinjamkan gurunya, sahabatnya tentu percaya.

Benda itu sebuah lencana. Terbuat dari logam perak. Berbentuk bintang dengan dua tombak saling menyilang. Garis tengahnya sepanjang garis tengah jeruk pecel.

"Itu lambang kesatuan prajurit. Aku dan dia dulu satu kesatuan dengannya."

"Baik guru benda ini aku bawa."

"Di sana kudamu aman. Sewaktu-waktu kau butuh lagi kuda itu, dengan cepat kau bisa mengambilnya."

Kini benda itu tersimpan dalam bungkusan kain, bersama beberapa pakaian dan bekal uang dari Senopati Narotama.

Sementara Sembada melarikan kudanya menuju daerah lereng Kelud sebelah selatan, di kademangan Majaduwur, demang Sentika mengumpulkan sebagian warganya. Iapun hendak tunaikan tugas yang disanggupinya dari Senopati Narotama. Membangun rumah Mbok Darmi, yang sudah dianggap berjasa, merawat Sembada selama ini.

Kesanggupan ki demang yang utama sebenarnya bukan karena tugas yang diberikan oleh senapati besar itu. Tetapi lebih karena sesuatu yang lebih mendalam mempengaruhi hatinya. Jika tidak karena kehadiran Sembada dalam perang di padang rumput dekat dengan dusun Wanaasri itu, dirinya bisa jadi korban.  Saat itu ia telah terluka, dan terus terdesak oleh keroyokan Gagak Ijo dan Landak Ireng.

Demikian pula dengan para pengawal, mereka akan lebih banyak yang menjadi banten.  Karena jumlah lawan lebih banyak, setiap pengawal harus melawan lebih dari seorang.

Saat itu ki demang sudah hendak perintahkan memanggil pasukan cadangan. Namun menurut perhitungannya jika pasukan cadangan itu hadir, pasukannya yang tengah bertempur sudah ludes. Karena pasukan cadangan butuh waktu untuk bisa langsung terlibat. Harus mengumpulkan, dan berjalan ke medan.

Untunglah Sembada datang. Dengan cambuk dan ilmu peringan tubuhnya serta kecepatannya bergerak, mampu mengurangi lawan para pengawal dengan cepat. Jika tidak terluka parah, senjatanya tercabut dari tangannya. Para pengawal akhirnya bisa membalik keadaan, semula terdesak musuh, menjadi mendesak musuh.

Gagak Ijo dan Landak Ireng yang tinggal menghabisi ki demang merasa terganggu, mereka lepaskan ki demang dan memburu pendekar bercambuk yang menutup wajahnya dengan ikat kepala itu.

Namun dalam pertempuran dua tokoh golongan hitam itu tidak mampu menandingi pendekar itu. Mereka terluka parah dan melarikan diri dari medan dibantu anak buahnya.

Semua itu diceritakan ki demang kepada sebagian warga yang dikumpulkan. Ditambah cerita penjajakan ilmu yang dilakukan oleh dirinya dan senapati Narotama terhadap pendekar itu. Ki demang mengaku kalah. Sedangkan menurut penilaiannya antara pendekar itu dengan senapati Narotama mereka seimbang.

"Pendekar bercambuk itu adalah Sembada, anak sulung Mbok Darmi. Jika kalian kurang yakin, tanyalah saksi lain yang melihat penjajagan itu, Kartika dan Sambaya."

Para warga mengangguk-anggukkan kepala. Sebagian besar dari merekapun sudah mengira bahwa Sembada bukan pemuda sembarangan. Hal itu nampak dari tubuhnya yang sudah terolah, berotot, tegap dan nampak kuat. Matanyapun bersinar, seperti mata kucing candramawa. Teduh tapi berwibawa.

Kebiasaanya selalu membantu warga yang kerepotan membuat Sembada banyak dikenal. Pribabadinya sopan, siapapun dihormatinya.

Dengan penjelasan ki demang tentang Sembada semua yang diundang merasa mereka harus menghormatinya. Dan berterima kasih telah ikut menyelamatkan kademangan Majaduwur dari kehancuran.

"Nah, bapak bapak sekalian. Tujuan saya mengundang bapak bapak, adalah memenuhi perintah Senopati Narotama, agar saya memperbaiki rumah Mbok Darmi. Tapi saya tidak berniat memperbaikinya, tetapi ingin membangun kembali, agar lebih baik, besar dan megah. Layak sebagai rumah pendekar besar yang telah menyelamatkan kita."

Tanpa diduga ki demang Sentika, semua warga yang diundang menyatakan setuju.

Siang itu mereka berunding membagi tugas. Warga dikelompokkan jadi tiga. Satu kelompok menyediakan kayu untuk tiang-tiang utama, satu kelompok membuat papan kayu untuk dinding, satunya lagi mengumpulkan ijuk pohon aren untuk atap.

Ki demang Sentika berjanji selama kerja bakti ini kebutuhan keluarga mereka akan ki demang cukupi.

Mengingat jenis pohon yang tumbuh di hutan sekitar Majaduwur kebanyakan pohon bendo yang layak buat tiang dan papan, maka diputuskan pohon itulah yang di pilih.

Sementara untuk mencari ijuk bisa masuk hutan sebelah utara Dusun Kedung Cangkring. Ada ribuan pohon aren di sana. Tinggal ijin bekel dusun Kedung Cangkring warga bisa cari ijuk sebanyak banyaknya.

Warga dusun itu sebagian besar membikin gula merah dari nira pohon aren.

Diharapkan kerja awal ini selesai dalam satu bulan. Dalam kerja ini Handaka dan Sekarsari di angkat jadi pengawas. Handaka mengawasi kerja pembuatan tiang, papan dan pengadaan ijuk. Sekarsari mengawasi kerja penyaluran bantuan untuk keluarga warga yang bekerja mengadaan bahan bahan itu.

Handaka dan Sekarsari justru merasa senang ikut dilibatkan ayahnya dalam kerja itu. Handaka tak memiliki lagi perasaan tidak senang kepada Sembada. Ia kini justru sangat hormat padanya.

Pemuda itu kagum dengan kesabaran Sembada. Meski ia telah menuduhnya tanpa dasar namun ia tak mau membalas semua serangannya yang mematikan. Ia hanya menangkis dan menghindar. Jika saat itu ia gunakan ilmu seperti saat perang di padang rumput, dalam waktu singkat ia tentu terkapar.

Handaka menarik nafas panjang.

"Betapa tololnya aku saat itu. Sungguh perbuatan yang memalukan sekali. Aku wajib minta maaf kepadanya kelak jika ia kembali." Katanya dalam hati.

"Apakah kau sanggup jadi pengawas pekerjaan ini Handaka " tiba-tiba ki demang bertanya kepada anaknya.

"Sanggup ayah. Namun aku tidak memiliki keahlian apapun membangun rumah. Aku butuh pendamping." Jawabnya.

"Itu tugas Bekel Majalegi, yang sudah mumpuni hal membangun rumah. Tugasmu mengawasi keselamatan kerja mereka. Jangan sampai ada hal hal yang mengganggu, terutama bagi mereka yang masuk hutan mencari ijuk. Hutan Kedung Cangkring masih liar, ularnya masih banyak, demikian pula macan kumbangnya."

"Kalau begitu akan aku kerahkan sebagian pengawal yang ahli memanah ayah. Untuk mengawal dan mengawasi kerja mencari ijuk."

"Bagus. Itu ide yang baik."

Akhirnya rembug bersama siang itu dianggap telah tuntas. Maka ki demang mengakhiri pertemuan itu.

Warga yang ikut pertemuan bubar pulang ke rumah masing-masing.  Namun ternyata kebanyakan mereka tidak langsung pulang ke rumah, namun mampir dulu ke kedai- kedai. Ketika bertemu sesama warga dusunnya mereka bercerita semua pembicaraan di pertemuan. Maka berita tentang Sembada esok harinya telah menyebar.

Suatu malam, di gardu perondan, di dusun Majalegi terjadi perbincangan hangat.

"Sejak kenal saat baru saja dia datang ke dusun kità, aku sudah mengira Sembada bukan pemuda sembarangan. Badannya tegap berisi. Pandangannya tajam. Matanya seolah bersinar. Seperti mata kucing Candramawa."

"Baru tahu yaa ? Kasihan." Dengan berseloroh Sambaya menimpali.

"Kakang Sambaya jahat. Tidak mau berbagi berita sebagus itu. Apa untungnya menyembunyikan ?" Kata pemuda itu kesal.

"Aku tidak menyembunyikan. Tapi mematuhi perintah ki demang untuk tidak bercerita."

"Apa perlunya ki demang melarang ?"

"Beliau berkata agar Sembada sendiri yang membuka jatidirinya, jika ia merasa perlu."

"Tapi kenapa sekarang ki demang Sentika justru bercerita kepada warga ?"

"Karena terpaksa."

"Terpaksa ?? Aku nggak mengerti kang"

"Ya terpaksa. Ki demang harus jalankan perintah Gusti Senopati Narotama untuk memperbaiki rumah Mbok Darmi. Bukankah ki demang tidak bisa sendirian melakukan tugas itu. Beliau butuh warga. Sementara untuk menggerakkan hati warga butuh alasan yang kuat. Satu-satunya jalan menyingkap jatidiri pemuda itu, dan jasanya bagi warga kademangan Majaduwur."   

"Oohhh begitu ya Kang ? Sekarang aku paham."

"Seharusnya sejak dulu  kita memperbaiki rumah Mbok Darmi, tidak menunggu perintah Gusti Senopati. Semestinya kita malu."

"Kenapa begitu kang ?"

"Coba perhatikan. Mbok Darmi janda miskin, hidup sendiri, rumahnya rusak dan miring. Bila kita peka dan berperikema nusiaan kita seharusnya sudah bertindak."

"Tapi sekarangpun belum terlambat kang. Barangkali rejeki Mbok Darmi baru dibuka sekarang"

"Yah. Benar. Belum terlambat, karena Mbok Darmi belum mati kerobohan rumahnya. Tapi perintah Gusti Senopati benar benar membuat kita malu."

Teman-teman Sambaya diam, merenungi perkataan pemuda itu. Namun segera Sambaya mengalihkan pembicaraan, meski topiknya tetap tentang Sembada.

"Tahu tidak, saat mengintip Gusti Senopati Narotama menjajagi ilmu Sembada aku dan Kartika hampir mati. Namun Sembada menolong kami."

"Benarkah itu kang ?"

"Atas ijin Sembada aku ingin melihat pertemuan ki demang dan Sembada di tanah lapang dekat rawa pandan di dusun kita. Ternyata ki demang tidak sendirian. Ia bersama Gusti Senopati."

"Terus..."

"Kami datang sembunyi-sembunyi. Mengintip mereka di balik pohon Randu Alas yang besar itu. Jarak kami agak jauh, namun karena sinar bulan kami bisa melihatnya. Namun apa isi pembicaraan mereka kami tak mampu mendengar."

"Terus kang..."

"Tahu-tahu Gusti Senopati dan Sembada berhadapan. Tidak lama kemudian mereka bertempur. Sungguh aku baru pertama kali itu melihat pertempuran dua orang berilmu raksasa, maksudku berilmu tinggi. Dahsyaat, dahsyat sekali. Keduanya bisa melayang layang terbang, laksana dua rajawali yang bertarung. Ketika keduanya mendarat, seperti naga dan banteng sedang berlaga."

"Sayang kita tidak ikut melihat..."

"Sungguh dahsyat.  Pertempuran tangan kosong imbang, mereka lanjutkan dengan senjata. Gusti Narotama membawa pedang bercahaya kekuningan, dan Sembada bersenjata cambuk. Saat itulah aku dan Kartika sepakat, bahwa pendekar bercambuk yang menolong pasukan Majaduwur adalah Sembada."

"Terus kang...seru sekali."

"Pertempuran berlanjut. Namun tetap tak ada yang lebih unggul. Sampai ki demang ketakutan keduanya perang tanding sampai akhir, dan siapa yang menanglah yang masih hidup. Akhirnya mereka menghentikan perkelahian."

"Terus kang, apakah selesai begitu saja ?"

"Belum. Gusti Narotama ngajak berlomba ilmu. Tiba tiba ia gerakkan pedangnya kearah dahan besar di atas kami bersembunyi. Dahan itu putus meski terbabat oleh cahaya. Kami terpaku nggak bisa bergerak melihat dahan besar itu melayang jatuh ke arah kami. Kami menjerit sekerasnya."

"Terus kang. Kenapa kakang bisa selamat ?."

"Kami tak tahu kejadiannya. Tiba tiba dahan itu meledak dan terbakar jadi abu dalam sekejab. Perkiraanku Sembadalah orangnya yang menolong kami. Ia tahu bahwa kami juga hadir di sana. Iapun mengenal suara kami, karena terlalu sering kami bercakap"

"Hebat. Dahan Randu itu besar sekali. Sebesar pohon kelapa. Daunnya rimbun hijau. Bisa terbakar dalam sekejab. Bukan ilmu sembarangan."

"Yah. Akhirnya kami dipanggil ki demang. Kami dimarahi. Dan karena itu kami tahu siapa yang menyelamatkan kami. Ki demang yang memberi tahu kami. Dengan hanya menggerakkan ujung cambuknya, keluar sinar biru keputihan. Dan sinar itu menghantam dahan pohon yang tengah melayang jatuh. Terbakarlah ia jadi abu. Kami berdua selamat."

Demikianlah cerita Sambaya kepada teman temannya. Esok harinya cerita itupun telah menyebar ke seluruh desa. Banyak tanggapan dari warga. Dan ceritapun berkembang. Bahwa Sembada dapat terbang. Bersenjata cambuk api. Dan lain sebagainya.

Sementara Sembada sendiri saat itu sudah dua hari menginap di rumah Ki Wangsa Jaya. Lelaki tinggi besar berjambang dan berjenggot lebat itu menahannya untuk tidak melanjutkan perjalanan dulu. Ia tertarik dengan Sembada sejak perkenalan pertama. Ada pemuda berani hendak mengamati padepokan Singa Lodhaya.

Tapi dalam hati lelaki itu bukan itu alasan sebenarnya. Ia ingin memperkenalkan Sembada dengan anak gadisnya. Jika mereka berjodoh, alangkah senang hatinya punya menantu tampan, sopan dan mungkin berilmu tinggi.

"Kau berani mengamati padepokan lodhaya seberapa tinggi ilmumu anak muda ?. Kalau kau hanya murid Menjangan Gumringsing lebih baik jangan. Kecuali kau punya guru lebih sakti. Dan kau telah mewarisi semua ilmunya."

"Lantas bagaimana paman ?"

"Kau tinggal di sini beberapa saat. Tugasmu tugas berat. Tidak harus besok selesai. Butuh waktu dan perhitungan panjang."

Demikianlah siasat Ki Wangsa Jaya untuk menahan Sembada di rumahnya. Ia berharap gadis semata wayangnya, Gendis Manis, tertarik dengan pemuda pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun