Setelah malamnya pamit kepada gurunya, serta adik-adik seperguruannya, pagi-pagi sekali Sembada berangkat tunaikan tugas. Â Ia hela kudanya berlari pelan keluar halaman pedepokan, hingga melewati beberapa desa. Setelah masuk jalan bulakan, ia larikan kudanya seperti angin.
Ia ambil jalur jalan selatan. Kata gurunya jalan itu nanti akan langsung masuk daerah lereng Kelud sebelah selatan. Â Setelah menyebrang Brantas, jika tidak berhenti di jalan, setengah hari ia akan sampai di desa Wates.
Di desa ini sebaiknya Sembada menitipkan kudanya. Gurunya punya seorang sahabat di desa ini, seorang saudagar kaya raya, bernama Wangsa Jaya, yang bisa dititipi kuda. Asal Sembada memperlihatkan sebuah benda yang dipinjamkan gurunya, sahabatnya tentu percaya.
Benda itu sebuah lencana. Terbuat dari logam perak. Berbentuk bintang dengan dua tombak saling menyilang. Garis tengahnya sepanjang garis tengah jeruk pecel.
"Itu lambang kesatuan prajurit. Aku dan dia dulu satu kesatuan dengannya."
"Baik guru benda ini aku bawa."
"Di sana kudamu aman. Sewaktu-waktu kau butuh lagi kuda itu, dengan cepat kau bisa mengambilnya."
Kini benda itu tersimpan dalam bungkusan kain, bersama beberapa pakaian dan bekal uang dari Senopati Narotama.
Sementara Sembada melarikan kudanya menuju daerah lereng Kelud sebelah selatan, di kademangan Majaduwur, demang Sentika mengumpulkan sebagian warganya. Iapun hendak tunaikan tugas yang disanggupinya dari Senopati Narotama. Membangun rumah Mbok Darmi, yang sudah dianggap berjasa, merawat Sembada selama ini.
Kesanggupan ki demang yang utama sebenarnya bukan karena tugas yang diberikan oleh senapati besar itu. Tetapi lebih karena sesuatu yang lebih mendalam mempengaruhi hatinya. Jika tidak karena kehadiran Sembada dalam perang di padang rumput dekat dengan dusun Wanaasri itu, dirinya bisa jadi korban. Â Saat itu ia telah terluka, dan terus terdesak oleh keroyokan Gagak Ijo dan Landak Ireng.