Kedua temannya segera mendekati lelaki itu. Ternyata ia pingsan. Sementara Sembada bersiul memanggil kudanya. Hewan itu berhenti merumput dan berjalan mendekati Sembada. Ia langsung naik ke punggung kuda dan menghelanya lewat dekat ketiga orang pemburunya.
Dua orang itu diam saja meski melihat Sembada pergi. Mereka kehilangan nyali melawan karena pemimpinnya dengan mudah di robohkan.
Sembada segera mempercepat lari kudanya. Matahari mulai tenggelam di balik gunung. Ia tidak ingin menginap di perjalanan. Karena ia tahu rembulan akan menggantikan mentari menerangi perjalanannya.
Dalam buaian angin pegunungan yang dingin Sembada menghela kudanya terus menapaki jalan berliku-liku itu. Beberapa kali berhenti untuk memberi kesempatan kudanya istirahat, merumput dan minum. Ia sendiri menikmati keindahan alam dalam tebaran sinar bulan.
"Alangkah indahnya karya Hyang Widhi" bisiknya dalam hati.
Menjelang matahari terbit ia telah memasuki pedesaan miskin di selatan gunung wilis. Pedesaan yang penduduknya kurang mampu memamfaatkan potensi lingkungan untuk meningkatkan hasil lahan pertanian mereka dari sumber air di atas bukit. Kelak jika tugasnya telah usai akan menggerakkan warga desa itu untuk memanfaatkan sumber air. Janjinya dalam hati.
Sebentar kemudian Sembada telah memasuki halaman padepokan. Ia kaget banyak sekali pemuda yang sibuk kerja membersihkan halaman itu. Rupanya jumlah murid gurunya kian bertambah banyak.
Seorang pemuda berbadan gempal menyongsongnya dengan senyum lebar.
"Kakang Sembada pagi sekali kau datang ? Selamat berjumpa lagi kakang." Katanya.
"Kau Sawung Kuning, betapa kekar sekarang tubuhmu."
"Ahhh apa artinya badan kekar tapi kemampuan olah kanuragan tak berkembang "