Menjelang senja Sembada pamit kepada Mbok Kanthi untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya Mbok Kanthi keberatan, ia ingin mengambil Sembada anak angkat, menggantikan anaknya yang telah tiada, juga menemani hidupnya yang kini sebatang kara.Â
Namun terpaksa ia merestui Sembada meninggalkan dirinya. Karena ia sedang menjalankan tugas berat dari gurunya yang tak mungkin ia lalaikan. Dengan berlinang air mata Mbok Kanthi melepas Sembada meninggalkan rumahnya.
"Kalau ada kesempatan tengok aku Sembada. Biar aku tetap merasa tidak sendirian hidup." Minta Mbok Kanthi.
"Ya Mbok. Aku berjanji. Hendak kemari jika waktuku longgar." Jawab Sembada.
Akhirnya Sembada meninggalkan rumah itu. Ia larikan kudanya dengan cepat, ia ingin sampai padepokan Cemara Sewu sebelum pagi.
Memasuki desa ketiga setelah bekas kotaraja, tiga orang yang kehilangan buruannya, yang kini sedang di kedai melihat Sembada lewat. Mereka bergegas membayar minuman yang mereka pesan dan tergesa-gesa mengejar Sembada.
Ketika Sembada mendengar tiga kuda berlari kencang lewat  jalur yang dilaluinya, ia meminggirkan kudanya dan mengurangi kecepatannya.
Namun ketika dekat dan ketiga kuda itu berbalik arah setelah melewati dirinya ia sedikit terkejut. Apalagi ketiga orang itu menyatakan diri telah memburunya.
"Kemana saja kamu, ingin bersembunyi dari kami ya ? Tiba-tiba menghilang. " kata salah satu dari mereka yang paling tua.
"Kenapa aku harus bersembunyi, aku hanya mampir ke suatu tempat." Jawab Sembada.
"Baik. Sekarang turunlah dari kudamu, dan serahkan kepada kami. Kau tidak cocok menunggang kuda sebaik itu."
"Mengapa aku harus menyerahkan kudaku kepada kalian. Tidak. Aku tidak mau."
"Kau jangan keras kepala anak muda. Kami bertiga. Sehebat apapun ilmumu kau tak akan mampu melawan kami."
"Aku tidak takut. Matipun aku rela mempertahankan milikku."
"Benar-benar keras kepala. Kalian jaga dia jangan sampai lari , akan aku beri pelajaran anak bengal ini." Katanya kepada kedua kawannya.
Lantas lelaki itu turun dari kudanya, serta mencabut golok di pinggangnya. Sembadapun turun dari kuda dan melepas kudanya begitu saja. Dengan cambuk kuda Sembada menghadapi lawannya.
Lelaki itu sedikit tersinggung.
"Jangan sombong anak muda. Kau hadapi golokku dengan cambuk kuda?."
"Dengan cambuk ini aku bisa membunuhmu."
Lelaki itu marah. Dengan hatinya yang panas ia menyerang Sembada. Serangannya keras dan cepat seperti air bah melanda anak muda itu. Namun Sembada dengan mudahnya memunahkan setiap serangan.
Perkelahian itu berlangsung cukup lama. Sembada hanya menangkis dan menghindar. Namun lelaki itu ternyata tidak memiliki ketahanan tubuh yang tinggi. Ketika ia berhenti dari serangannya, tanpa ia duga kaki Sembada melandanya dengan tendangan yang keras kearah perutnya. Seperti daun tertiup angin tubuh lelaki itu melayang, dan jatuh tidak bangkit lagi.
Kedua temannya segera mendekati lelaki itu. Ternyata ia pingsan. Sementara Sembada bersiul memanggil kudanya. Hewan itu berhenti merumput dan berjalan mendekati Sembada. Ia langsung naik ke punggung kuda dan menghelanya lewat dekat ketiga orang pemburunya.
Dua orang itu diam saja meski melihat Sembada pergi. Mereka kehilangan nyali melawan karena pemimpinnya dengan mudah di robohkan.
Sembada segera mempercepat lari kudanya. Matahari mulai tenggelam di balik gunung. Ia tidak ingin menginap di perjalanan. Karena ia tahu rembulan akan menggantikan mentari menerangi perjalanannya.
Dalam buaian angin pegunungan yang dingin Sembada menghela kudanya terus menapaki jalan berliku-liku itu. Beberapa kali berhenti untuk memberi kesempatan kudanya istirahat, merumput dan minum. Ia sendiri menikmati keindahan alam dalam tebaran sinar bulan.
"Alangkah indahnya karya Hyang Widhi" bisiknya dalam hati.
Menjelang matahari terbit ia telah memasuki pedesaan miskin di selatan gunung wilis. Pedesaan yang penduduknya kurang mampu memamfaatkan potensi lingkungan untuk meningkatkan hasil lahan pertanian mereka dari sumber air di atas bukit. Kelak jika tugasnya telah usai akan menggerakkan warga desa itu untuk memanfaatkan sumber air. Janjinya dalam hati.
Sebentar kemudian Sembada telah memasuki halaman padepokan. Ia kaget banyak sekali pemuda yang sibuk kerja membersihkan halaman itu. Rupanya jumlah murid gurunya kian bertambah banyak.
Seorang pemuda berbadan gempal menyongsongnya dengan senyum lebar.
"Kakang Sembada pagi sekali kau datang ? Selamat berjumpa lagi kakang." Katanya.
"Kau Sawung Kuning, betapa kekar sekarang tubuhmu."
"Ahhh apa artinya badan kekar tapi kemampuan olah kanuragan tak berkembang "
"Ahh tentu tidak. Gerak gerikmu memperlihatkan padaku, ilmumu meningkat pesat."Â
"Biarlah kuda kakang kubawa ke kandang. Kakang bisa langsung menemui guru di sanggar pamujan"
"Baiklah terima kasih"
Sembada melepas kudanya, dan segera dibawa Sawung Kuning ke kandang.
"Besar sekali kudamu kakang. Kuda yang sangat bagus."Â
Sembada hanya tertawa  merespon ucapan Sawung Kuning, adik seperguruannya.
Sembada segera masuk padepokan. Setelah melewati gapura ia menyebrang halaman dalam. Kemudian belok lewat jalan setapak yang kanan kiri jalan ditanami bunga melati dan sedap malam. Juga beberapa pohon kanthil ada disana. Jika musim berbunga seluruh isi padepokan berbau wangi.
Beberapa sanggar ia lewati, sampailah di bangunan besar Sasana Pustaka. Di belakang bangunan inilah Sanggar pamujan gurunya. Tak seorangpun boleh masuk sanggar ini kecuali untuk hal hal khusus.
Bangunan itu paling tinggi dari seluruh bangunan yang ada di pedepokan. Dan satu-satunya rumah panggung di sana.
Sembada naik lewat tangga depan, kemudian duduk bersila di depan pintu. Ia menunggu gurunya melakukan puja rutinnya setiap pagi.
Beberapa saat kemudian lelaki kurus itu bangkit dari duduknya. Kemudian berjalan keluar meninggalkan beberapa dupa yang masih menyala, asap wangi membubung dan menyebar kemana mana.
Ketika ia melihat seorang pemuda sedang bersila di depan pintu lelaki itu tersenyum.
"Sepagi ini kau datang ?" Tanyanya.
"Benar guru. Saya membawa kuda. Sebelumnya salam hormat saya untuk guru." Kata Sembada sambil menguncupkan kedua tangan di depan hidung. Ia lakukan sembah grana.
"Salam hormatmu aku terima. Cahaya mukamu nampak berbeda dari dulu. Tentu banyak hal telah kau peroleh. Mari ikut aku ke dalem agung."
"Sendika guru."
Sembada mengikuti gurunya menuju rumah mungil yang anehnya sejak dulu disebut Dalem Agung. Rumah itu tempat kediaman Ki Menjangan Gumringsing, guru Sembada.
"Duduklah. Â Aku masih punya tuak Aren sedikit. Â Bisa untuk penghangat pagi ini. "
"Baik guru " Â Jawab Sembada. Â Lantas ia naik amben bambu satu-satunya di ruangan itu. Â Kemudian duduk bersila menunggu gurunya sibuk sendiri menyiapkan minuman dalam bumbung bambu.
"Sinar wajahmu berubah Sembada. Â Nampak lebih bercahaya. Â Tentu telah banyak yang kau dapat dalam pengembaraanmu yang sebentar ini. Â Tapi meski terbilang sebentar sudah lebih tiga tahun kau meninggalkan padepokan."
"Ah. Â Tentang diriku aku rasa tidak banyak perubahan. Â Namun memang sudah cukup lama aku meninggalkan padepokan guru."
"Bagaimana dengan tugasmu ? Â Adakah kau berhasil memastikan keberadaan Sekarsari ?"
"Sudah guru. Â Namun aku tidak berani mendekatinya. Â Hanya bisa mengamati dia dari jauh. Â Dia benar di Kademangan Majaduwur."
"Mengapa demikian ?"
"Ia sudah di calonkan sebagai menantu ki Demang Sentika. Â Dijodohkan dengan anak lelakinya bernama Handaka. Â Sementara hubunganku dengan anak lelaki itu kurang baik."
"Mengapa begitu ?"
"Aku sendiri tidak tahu. Â Berawal dari usahaku membantu mereka terlepas dari keroyokan berandal di hutan Waringin Soban, sikap lelaki itu terasa kurang baik padaku."
"Mungkin dia tersinggung. Â Kau nimbrung usaha mereka sendiri lepas dari kesulitan."
"Tidak guru. Â Ia mencurigaiku komplotan brandal. Â Usahaku membantu dianggap pura-pura saja, Â demikian juga berandal yang lari dari medan."
"Bagaimana sikap ki demang padamu ?"
"saat aku bentrok dengan anak lelakinya di halaman  kademangan ia penasaran denganku.  Ia mengenal jurus-jurus olah kanuragan yang aku pakai.  Bahkan iapun pernah menjajagi ilmuku di suatu tempat.  Untunglah datang Ki Kidang Gemelar.  Beliau menghentikan usaha ki demang menjajagi ilmuku lebih jauh."
"Kau ketemu uwakmu Kidang Gumelar ?"
"Ya guru. Â Semula aku mengenalnya sebagai ki Ardi. Seorang pedagang kayu bakar. Â Aku bertemu pertama kali di kotaraja saat aku mampir melihat-lihat keadaan di sana. Â Namun rupanya ia membututi perjalananku. Â Kami bertempur di hutan larangan dekat kota raja. Â Kemudian beliau berhasil menjebakku di sebuah goa. Â Sebulan aku di kurung di goa itu."
"Sebulan ?"
"Benar guru, sebulan. Â Tapi dalam goa sudah tersedia lengkap bahan makanan. Â Goa itu dindingnya terlukis gambar semua jurus ilmu kita guru. Â Bahkan petunjuk untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmu kita. Â Aji Tapak Naga Angkasa."
"Dan kau mempelajarinya ?"
"Benar guru, sampai tuntas"
"Ternyata benar dugaanku. Cahaya wajahmu adalah pancaran aji Tapak Naga Angkasa. Berarti kau sudah mampu pisah raga dan sukma."Â
"Benar guru. Bahkan saya memperoleh warisan cambuk pusaka Naga Geni dari ki Kidang Gumelar"
Tiba-tiba Ki Menjangan Gumrising memeluk Sembada sembari menepuk-nepuk punggung anak muda itu. Beberapa kali mencium kening Sembada dengan air mata yang berjatuhan.
"Aku bangga denganmu Sembada. Seperti Ki Kidang Gumelar kau kelak akan menjadi tokoh pendekar legendaris di negeri ini. Pangestuku untukmu."
"Terima kasih guru."
"Bagaimana dengan tugasmu kedua. Apakah kau sudah memperoleh informasi tentang Songsong Tunggul Naga, payung keramat pusaka Medang yang hilang ?"
"Sudah guru. Dari Gusti Senopati Narotama. Kami bertemu di kademangan Majaduwur. Setelah beliau menjajagi ilmuku, beliau perintahkan aku mengambil pusaka itu. Menurut para telik sandi pusaka itu berada di padepokan Lodhaya, di lereng Kelud sebelah selatan."
"Syukurlah, tugasmu telah kau tunaikan melebihi yang aku harapkan."
"Kedatanganku ke padepokan berkaitan dengan tugas dari Senopati Narotama itu guru. Saya mohon petunjuk tentang padepokan Lhodhaya."
"Pekerjaan yang sangat berat. Padepokan itu muridnya banyak sekali. Tidak puluhan, tapi ratusan. Seharusnya itu diselesaikan prajurid segelar sepapan, tidak dibebankan kepada orang perorang. Meskipun orang itu dianggap berilmu tinggi, pendekar tangguh."
"Itulah guru yang membuatku ragu."
"Tapi bisa di siasati dengan ilmu. Jumlah murid yang besar itu bisa dikendalikan daya kekuatannya dengan ilmu sirep. Sehingga tidak menganggu.. Â Tinggal menghadapi gembong-gembongnya saja. Tapi harus pasti di mana pusaka disimpan, sehingga kita bisa langsung mengambilnya. Tidak terlalu lama mencari sehingga sirep kita pudar."
"Saya sudah punya bekal ilmu sirep guru. Pemberian ki Demang Semtika."
"Bagus. Tinggal butuh Aji Pameling, agar kau bisa komunikasi dengan kawan kawan yang membantu."
"Tak ada kawan yang membantu guru."
"Ada. Adikmu Sekar Arum bersama gurunya kini sedang mengamati daerah itu juga."
"Siapa gurunya guru ?"
"Dua tahun lalu ia dan ibunya diboyong Nyai Rukmini ke padepokannya di gunung Arjuna."
"Nyai Rukmini, baru saja mereka ketemu ki Kidang Gumelar di desa kecil dekat kota raja."
"Tentu mereka mengambil pedang kembar. Jika demikian Nyai Rukmini  berhasil menurunkan ilmu garuda bersayap pedangnya kepada adikmu. Sekar Arum."
"Ooo jadi gadis yang bersama pendekar wanita dan ki Ardi itu adalah Sekar Arum."
"Nah Sembada kau memang harus melengkapi ilmumu dengan Aji Pameling. Sehingga kau bisa berhubungan dengan adikmu, dan Nyai Rukmini. Mungkin uwakmupun ikut pula melawat ke sana."
"Baiklah guru. Aku bersedia belajar ilmu itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H