Sebentar kemudian mereka telah sampai di depan balai kademangan. Â Ki demang Sentika telah menunggu di depan balai itu. Di belakangnya berdiri beberapa orang pengawal.
Ketika ia melihat lelaki yang dikawal oleh empat orang pengawal  bersenjata pedang terhunus itu ia menarik nafas panjang. Seolah ia mengeluarkan semua beban kecemasan di hati.  Apalagi melihat lelaki itu membawa bendera kecil putih di tangannya. Semua kegelisahannya hilang lenyap.
"Selamat malam ki demang. Hormat saya untuk ki demang" kata utusan itu, sambil membungkukkan badan.
"Terima kasih. Ki sanak. Â Aku terima salam hormatmu. Kami semua gelisah mendengar kuda berlari kencang di malam gelap ini. Tentu kau sudah tahu sebabnya. Â Kademangan Majaduwur baru saja digoncang prahara yang mendebarkan."
"Saya mohon maaf ki demang kehadiran saya mendatangkan kegelisahan di hati warga kademangan ini. Â Tapi saya tak punya pilihan, karena harus mengenban tugas dari Gusti Senopati Narotama untuk saya sampaikan kepada ki demang"
"Gusti Senopati Narotama ? Pesan apakah itu ? " tanya ki demang.
"Pesan ini sedikit rahasia. Â Maka saya diperintah untuk bisa menyampaikan kepada ki demang saja. Orang lain belum boleh tahu."
"Oh, baiklah, baiklah. Aku juga lupa menyilahkan kamu masuk balai kademangan dulu. Maafkan aku."
"Marilah ikut aku naik ke pendapa."
Ketika ki demang balik badan serta melangkahkan kakinya masuk pendapa, caraka itu mengikutinya di belakang. Ki demang memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal tidak mengikutinya menemui caraka itu di pendapa.Â
"Silahkan duduk ki sanak" ki demang menyilahkan tamunya.