Sembada tetap dengan aksinya. Cambuknya terus berputar dan sekali sekali memakan korban. Setiap cambuk itu meledak salah satu prajurit musuh tentu jatuh, dada atau perutnya luka menganga lebar.
Namun ia tidak lagi bergerak kesana kemari, ia menunggu dua orang yang membokongnya dengan serangan pisau. Tentu mereka pimpinan pasukan yang marah karena prajuritnya ia obrak abrik.
Sebentar kemudian dua orang yang ia tunggu hadir dalam lingkaran pertempuran antara dirinya dengan beberapa puluh pasukan lawan.
"Lepaskan dia, biar kami berdua yang ngurus iblis kecil ini" kata Gagakijo berang.
"Selamat datang Gagakijo. Hampir saja kau terlambat. Â Jika tidak pasukanmu sudah aku gilas habis." Â kata Sembada memancing emosi lawan.Â
"Jangan sombong. Kau bukan elang perkasa yang menghadapi anak-anak ayam."
"Memang bukan anak-anak ayam, tapi hanya anak anak Gagak kerdil"
"Sudah tak perlu kita banyak bicara, kita tangkap saja syetan ini segera." Landakabang sudah tidak sabar lagi.
Sejenak kemudian hadirlah lingkaran pertempuran yang dahsyat. Sembada bertempur dengan garangnya, cambuknya meledak ledak memekakkan telinga. Â Ujungnya cambuknya yang terpasang simpul simpul karah baja yang tajam benar benar menakutkan bagi kedua musuhnya. Â Sedikit tersentuh ujung cambuk itu tentu akan meninggalkan luka yang menyakitkan.Â
Sementara itu di baian lain pertempuran masih terus berlangsung. Â Beban pasukan pengawal Majaduwur sudah tidak berat lagi. Â Sebagian besar berhasil dilumpuhkan pendekar bercambuk yang mengagumkan mereka. Â Kini mereka lebih mantap melakukan perlawanan, dan perlahan lahan dapat mendesak pasukan lawan.